Mohon tunggu...
Difta adit
Difta adit Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN SGD Bandung

Silent pilgrimage

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Siklus Sejarah dan Tesis Kemunduran Islam Ahmet T Kuru

26 Desember 2023   15:10 Diperbarui: 26 Desember 2023   15:29 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam diskursus sejarah, kajian mengenai kemunduran Islam amat banyak dibahas oleh para sejarawan dan akademisi baik dari kalangan muslim maupun orientalis. Masing-masing akademisi yang mengangkat wacana historis akar penyebab kemunduran Islam memiliki sudut pandang yang berbeda terkait kemunduran Islam yang berlangsung selama berabad-abad.

Memandang gerak sejarah yang dinamis sebagaimana roda yang berputar. Banyak dari para filosof sejarah yang telah melahirkan teori sejarah untuk memandang berbagai peristiwa sejarah yang relevan. Teori Siklus Sejarah, merupakan teori yang dilahirkan oleh beberapa filosof mengenai proses lahir-runtuhnya sebuah peradaban. Ibnu Khaldun (1332-1406 M) menganggap bahwa laju sejarah sejalan dengan siklus yang terjadi di masyarakat. Dimana masyarakat berusaha untuk melakukan pembangunan, emningkatkan perekonomian, teknologi, dan sektor lainnya. Hingga pada akhirnya, manusia sendiri yang akan menghancurkan hasil pembangunannya tersebut.

Pandangan mengenai teori siklus lain yang datang dari Oswald Spengler (1880-1936 M) yang memiliki pandangan filsafat sejarah bahwa; setiap peradaban besar mengalami proses kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses perputaran itu memakan waktu sekitar seribu tahun. Spengler memandang keruntuhan Eropa berdasarkan keyakinannya bahwa gerak sejarah ditentukan oleh hukum alam yang disebut nasib (Schickshal).

Memandang laju sejarah bak sebuah roda yang berputar, lahir sebuah fakta historis yang bertolak belakang ketika Eropa Barat berada dalam masa kegelapan (Dark Age), dunia islam dalam masa keemasan yang ditandai dengan dunia intelektual dan perekonomian yang produktif. Lalu sebagaimana sebuah siklus, beberapa abad berlalu Eropa Barat mulai memasuki era pencerahan Renaissance, Aufklarung, dan Revolusi Industri yang merupakan fajar cerah dunia barat. Sementara dunia Islam diselimuti kegelapan stagnansi intelektual dan ekonomi, hantaman kolonialisme, dan imperialisme menjadi tonggak awal kemunduran sebuah peradaban yang pernah cemerlang di suatu belahan dunia.

Tesis menarik lahir dari seorang akademisi Turki Ahmet T. Kuru yang menulis sebuah buku berjudul "Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan". Dalam buku ini, Kuru mengupas akar historis penyebab kemunduran Islam yang menjadi sebuah pertanyaan lama, dengan jawaban baru.

Di dalam buku ini, kuru memaparkan tiga tesis umum yang paling signifikan menyebabkan kemunduran Islam.

Pertama, Islam. Para Orientalis barat memandang bahwa Islam merupakan agama yang tidak kompatibel dengan kemajuan. Argumen ini ditentang oleh Kuru sebagai argumen yang problematik. Sebab merupakan fakta sejarah bahwa Islam pernah berjaya dan memberikan banyak sumbangsih melalui berbagai aktor intelektual Muslim kepada dunia yang saat ini masih di konsumsi masyarakat Eropa dan dunia.

Kedua, Kolonialisme dan Imperialisme. Argumen ini lahir sebagai anggapan bahwa kolonialisme dan imperialisme merupakan sumber semua masalah yang terjadi di dunia Islam. Kuru di dalam bukunya menjelaskan permasalahan dalam tesis ini bahwa, jika di tinjau secara kronologis penjajahan barat dimulai sekitar abad ke-18. Sementara masyarakat muslim sudah mengalami stagnasi intelektual dan ekonomi sehingga Kuru menilai bahwa permasalahan sudah dimulai sebelum kolonialisme dimulai. Selain itu masalah internal dunia islam dinilai kuru sebagai faktor utama mudahnya dunia Islam di Intervensi asing. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa "Penjajahan ada, disebabkan oleh lemahnya dunia Islam".

Ketiga, Persekutuan Ulama-Negara. Dalam bukunya, Kuru amat menggaris bawahi hal ini sebagai faktor terpenting kemunduran dunia Islam. sebelum membahas hal ini lebih lanjut. Kuru menyoroti relasi antar kelas sosial yang berbeda pada waktu itu. Yaitu; kelas politik, kelas intelektual, dan kelas ekonomi. Pada masa keemasan Islam antara abad ke-8 sampai ke-12 terdapat intelektual yang sangat dinamis baik dari golongan ulama seperti Abu Hanifah maupun filosof seperti Ibnu Sina, al-Farabi, bahkan Ibnu Haytham. Selain itu, umat Islam juga memiliki kelas pedagang yang sangat dinamis yang bisa disebut borjuis. Kelas pedagang ini yang menyokong para ulama dan ilmuan islam dalam berinovasi dalam hal-hal tertentu yang hingga saat ini masih digunakan di negara-negara barat seperti Cek dan elemen-elemen sistem perbankan lainnya. tetapi pada pertengahan abad ke-11relasi kelas ini mulai berubah.

Sekitar abad ke-7 dan 11 sebagian besar ulama adalah sosok independen dan bukan bagian dari birokrasi pemerintah. Kuru menyebutkan hal ini terjadi karena setelah nabi muhammad dan keempat khalifah yang memiliki karisma personal dan otoritas religius, pelopor pembangunan sebuah "negara" pertama dalam sejarah Islam adalah Muawiyah pendiri dinasti Umayyah. Dan dinasti Umayyah dinilai didirikan berdasarkan peesekusi terhadap anggota keluarga Nabi dan termasuk pembunuhan cucu Nabi, Hussain. itu sebabnya Syiah mendelegitimasi dinasti Umayyah secara total dan juga golongan Sunni tidak mengakui legitimasi para pemimpin Umayyah. Fakta historis yang dapat membuktikan hal ini adalah nasib naas yang menimpa empat imam madzhab utama aliran sunni. Hanafi, Maliki, Syafi`I, dan Hambali yang depersekusi otoritas negara. Pada saat itu, penguasa negara hanya memiliki akses yang terbatas untuk mensakralkan otoritas mereka. Mereka tidak pernah berhasil mengklaim posisi kekuasaan meraka suci sebagaimana yang terjadi di Eropa dimana raja mengklaim dririnya suci dan sebagai utusan tuhan setidaknya sampai abad ke-11.

tetapi pada abad ke-11 terjadi perubahan dalam berbagai aspek. Sistem ekonomi mulai berubah dari ekonomi pasar moneter ke sistem iqta yang bersifat semi-feodal, di mana negara mengontrol lahan, pajak atas lahan, dan mengendalikan perekonomian secara umum.

Secara politik, struktur negara menjadi semakin militeristik. negara dan kerajaan militer seperti Dinasti Ghaznawi di India Utara dan Dinasti Seljuk di Asia tengah menegaskan pada penaklukan dan peran militer dalam struktur kenegaraan.

Selain perubahan ekonomi dan politik, dalam hal ini militer, Juga terdapat perubahan dalam sektor keagamaan. pada pertengahan abad ke 11 dua khalifah Dinasti Abbasyiah yaitu al-Qadir dan al-Qaim, seorang ayah dan anak yang mendeklarasikan akidah sunni melalui Manifesto Baghdad (1011 M). mereka mengumumkan bahwa filosof muslim yang lebih rasionalis adalah kafir (para filosof rasionalis) beberapa aliran Syiah terutama aliran ismailiyah adalah kafir. dan muslim yang tidak menjalankan shalat lima waktu adalah kafir. dan Deklarasi ini menandakan berdirinya ortodoksi Sunni. Hal ini merupakan reaksi penguasa Dinasti Abbasyiah pada waktu itu terhadap dinasti Syiah dan otoritas politik yang sudah menguasai Mesir dibawah Dinasti Fatimiah, di beberapa bagian semenanjung Arab dibawah dinasti Qaramithan, Suriah bagian utara dibawah orang-orang hamdani, iran dan juga irak termasuk baghdad dibawah dinasti buwaihi.

Seruan para khalifah Abbasiyah untuk menyatukan seluruh penganut aliran sunni dalam sunni ortodoks ini diterima dengan baik oleh Dinasti Seljuk. para prajurit nomaden Seljuk datang ke Baghdad dan mendirikan kekuasaan Sunni di Baghdad. mereka menggunakan sistem iqta untuk mengontrol ekonomi dan untuk memberikan lahan kepada para komandan militer. Kemudian perdana menteri mereka Nizamul Mulk mulai membangun sistem madrasah sehingga dengan ortodoksi sunni baru ditambah kerajaan militer, kelas pedagang menjadi termarjinalkan. mereka tidak lagi didukung oleh para kaum intelektual muslim. Kaum intelektual muslim mulai didukung oleh negara terutama dengan sistem madrasah yang madrasah Nizamiyah di bawah naungan otoritas politik.

 Kuru menyebut, seorang tokoh intelektual penting Islam yaitu, al-Ghazali juga berkontribusi dalam pembentukan sistem persekutuan ulama-negara. Dia menulis buku yang menyerang para filosof filsafat seperti tahafut al falasifa. Ia juga menyerang sejumlah aliran Syiah.

Dapat diketahui bahwa Ghazali merupakan tokoh yang sangat kompleks dan memiliki karya yang monumental, tetapi ada aspek dari warisan pemikirannya sangat anti-intelektual.

pada akhir bagian bukunya tahafut al-falasifa, ghazali mengajukan pertanyaan hipotetis "dapatkah para filosof seperti Farabi, Ibnu Sinna dianggap murtad dan pengikutnya dapat dihukum mati?" dan dia menjawab "ya". Karena tiga alasan. Pertama, filsuf seperti al-Farabi, Ibn Sina dan yang lainnya mengklaim bahwa dunia atau alam semesta secara material itu kekal. Kedua, kebangkitan setelah mati itu bersifat rohani bukan dengan tubuh manusia. Ketiga, tuhan mengetahui hal-hal makro besar namun tidak memperdulikan detail. jadi karena ketiga klaim ini, menurut Ghazali dan pemahaman filsafatnya, para filosof ini pun divonis murtad.

Dan setelah itu ortodoksi Sunni menggunakan fatwa Ghazali dan fatwa ulama lainnya untuk menghukum para filosof dan menyatakan mereka murtad. Ini menjadi alat penindasan politik untuk menghukum siapapun yang memiliki pandangan yang bersebrangan yakni oposisi. Walhasil, filsuf dipandang sebagai profesi yang buruk. setelah abad ke 12 orang mulai takut disebut filsuf. Pola pikir anti-intelektual ini terus berlanjut selama berabad-abad hingga saat ini. jadi tentu saja telah terjadi banyak transformasi dan perubahan setelah abad ke-11. Tetapi secara umum, aliansi negara-ulama mulai terbentuk setelahnya, ulama menjadi bagian dari birokrasi negara yang berkolaborasi dengan kekuatan militer. Lalu  muncullah reaksi terhadap para filosof dan intelektual lainnya, dan menjadi seorang filosof dan intelektual mulai dianggap sebagai seorang yang tidak cukup soleh dan bukan muslim yang baik. Dan pemahaman yang seperti ini menyebabkan stagnansi di dalam kehidupan intelektual di dunia Islam, itulah mengapa dunia Islam menghadapi berbagai masalah sampai sekarang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun