Wabah penyakit sudah tidak asing lagi bagi umat manusia, setidaknya sejak 430 SM di Athena. Pernah dengar perang Peloponnesia? Ya, wabah yang terjadi pada saat perang tersebut cukup banyak memberikan sumbangsih atas kekalahan Athena dari Sparta[1]. Â
Kemudian pada abad ke-17 sampai 19 awal, Flu Kuning yang dibawa oleh nyamuk menyerang Amerika Utara dan Eropa. Wabah ini berdampak pada kekalahan pasukan Napoleon Bonaparte akibat resistansi pasukannya yang lemah terhadap wabah tersebut, membuat penduduk Haiti yang imun tubuhnya lebih kuat berhasil merebut kemerdekaannya sendiri dari tangan koloni[2]. Haiti pun merdeka pada tahun 1804.Â
 Kemudian, wabah ternak Rinderpest yang menyerang Ethiopia pada tahun 1889 pun cukup membuat kacau peradaban manusia dan hewan ternak kala itu. Bagaimana tidak? Wabah tersebut menunjukkan dampak signifikan penyakit hewan terhadap dinamika peradaban manusia. Mulanya, wabah tersebut mengakibatkan kepunahan besar-besaran hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba.Â
Namun, lama-kelamaan hewan liar seperti antelop, gazelle, jerapah, dan lebih dari 40 spesies lainnya pun turut mengalami kepunahan. Tanpa hewan ternak untuk membajak ladang dan menyuburkan tanaman melalui fesenya, tanah Ethiopia menjadi mati. Berhentinya panen dan rusaknya putaran ekosistem membuat penduduk Ethiopia putus asa mencari makanan.Â
Akibatnya, orang-orang mulai memakan daun, akar, kulit sapi yang membusuk, mayat dan feses hewan, hingga orang-orang mulai meninggalkan tanah Ethiopia karena praktik kanibalisme yang mulai menjadi alternatif opsi untuk mereka bertahan hidup. Diperkirakan jumlah kematian manusia sampai pada angka setengah hingga dua pertiga[3].
 Wabah penyakit—apapun tingkatannya, telah mengajarkan sekaligus menyeleksi umat manusia. Ia membicarakan resistansi psikologis dan imun tubuh yang dimiliki suatu kelompok.Â
Kelompok yang lebih kuat bertahan adalah kelompok yang dapat memanfaatkan bencana menjadi momentum untuk memberontak, bangkit, dan membangun kembali peradaban mereka.
 Krisis merupakan kesempatan untuk melakukan reformasi radikal. Saya menyebutnya radikal karena kita dapat melakukan perubahan fundamental untuk menghadapi tantangan yang ada. Meluruskan prioritas dan mengidentifikasi masalah sehingga dapat mencapai keberhasilan penanggulangan pandemi ini.Â
Agar dapat bertahan, tentu masyarakat perlu melakukan penyesuaian kebiasaan yang akan membentuk budaya baru.
Awal Juni 2020 pemerintah Indonesia telah mengumumkan wacana new normal. New normal sendiri merupakan penyesuaian perilaku dalam menjalankan aktivitas normal namun dengan menerapkan protokol kesehatan sebagai pencegahan penularan COVID-19[4].Â
Uniknya, new normal ini kemudian menjadi jawaban dari pertanyaan ‘seberapa dinamis dan kuat ketahanan kebudayaan yang dimiliki masyarakat Indonesia?’. New normal membentuk peradaban baru ketika kedisiplinan menjadi transformasi sosial yang harus dilakukan secara kolektif dan kooperatif.Â