Mohon tunggu...
Difa Zahra
Difa Zahra Mohon Tunggu... Freelancer - Student

Undergraduate Law Student

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Transformasi Sosial dalam Normal Baru: Menangkal Krisis

22 Juni 2020   20:33 Diperbarui: 29 Juli 2020   16:56 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wabah penyakit sudah tidak asing lagi bagi umat manusia, setidaknya sejak 430 SM di Athena. Pernah dengar perang Peloponnesia? Ya, wabah yang terjadi pada saat perang tersebut cukup banyak memberikan sumbangsih atas kekalahan Athena dari Sparta[1].  

Kemudian pada abad ke-17 sampai 19 awal, Flu Kuning yang dibawa oleh nyamuk menyerang Amerika Utara dan Eropa. Wabah ini berdampak pada kekalahan pasukan Napoleon Bonaparte akibat resistansi pasukannya yang lemah terhadap wabah tersebut, membuat penduduk Haiti yang imun tubuhnya lebih kuat berhasil merebut kemerdekaannya sendiri dari tangan koloni[2]. Haiti pun merdeka pada tahun 1804. 

 Kemudian, wabah ternak Rinderpest yang menyerang Ethiopia pada tahun 1889 pun cukup membuat kacau peradaban manusia dan hewan ternak kala itu. Bagaimana tidak? Wabah tersebut menunjukkan dampak signifikan penyakit hewan terhadap dinamika peradaban manusia. Mulanya, wabah tersebut mengakibatkan kepunahan besar-besaran hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba. 

Namun, lama-kelamaan hewan liar seperti antelop, gazelle, jerapah, dan lebih dari 40 spesies lainnya pun turut mengalami kepunahan. Tanpa hewan ternak untuk membajak ladang dan menyuburkan tanaman melalui fesenya, tanah Ethiopia menjadi mati. Berhentinya panen dan rusaknya putaran ekosistem membuat penduduk Ethiopia putus asa mencari makanan. 

Akibatnya, orang-orang mulai memakan daun, akar, kulit sapi yang membusuk, mayat dan feses hewan, hingga orang-orang mulai meninggalkan tanah Ethiopia karena praktik kanibalisme yang mulai menjadi alternatif opsi untuk mereka bertahan hidup. Diperkirakan jumlah kematian manusia sampai pada angka setengah hingga dua pertiga[3].

 Wabah penyakit—apapun tingkatannya, telah mengajarkan sekaligus menyeleksi umat manusia. Ia membicarakan resistansi psikologis dan imun tubuh yang dimiliki suatu kelompok. 

Kelompok yang lebih kuat bertahan adalah kelompok yang dapat memanfaatkan bencana menjadi momentum untuk memberontak, bangkit, dan membangun kembali peradaban mereka.

 Krisis merupakan kesempatan untuk melakukan reformasi radikal. Saya menyebutnya radikal karena kita dapat melakukan perubahan fundamental untuk menghadapi tantangan yang ada. Meluruskan prioritas dan mengidentifikasi masalah sehingga dapat mencapai keberhasilan penanggulangan pandemi ini. 

Agar dapat bertahan, tentu masyarakat perlu melakukan penyesuaian kebiasaan yang akan membentuk budaya baru.

Awal Juni 2020 pemerintah Indonesia telah mengumumkan wacana new normal. New normal sendiri merupakan penyesuaian perilaku dalam menjalankan aktivitas normal namun dengan menerapkan protokol kesehatan sebagai pencegahan penularan COVID-19[4]. 

Uniknya, new normal ini kemudian menjadi jawaban dari pertanyaan ‘seberapa dinamis dan kuat ketahanan kebudayaan yang dimiliki masyarakat Indonesia?’. New normal membentuk peradaban baru ketika kedisiplinan menjadi transformasi sosial yang harus dilakukan secara kolektif dan kooperatif. 

Pandemi ini telah mengajarkan kita bahwa segala aktivitas normal yang sediakala dilakukan seharusnya turut memperhatikan sisi fungsional dan situasionalnya. Misalnya, tradisi pulang kampung menjadi tidak diperlukan jika situasi sedang tidak memungkinkan, sehingga kita akan menoleh pada fungsi fundamental dari ‘pulang kampung’ itu sendiri. 

Hal ini menjadi bukti nyata bagaimana transformasi sosial hasil dari sebuah masalah dapat merubah kebudayaan yang ada. Meningkatkan imunitas rupanya tidak hanya melalui resistansi kesehatan, namun juga sosial budaya yang memerlukan tindakan kolektif dan kooperatif.

Dalam masa krisis, pola berpikir masyarakat harus diubah dari yang tadinya selalu berpikir untuk menunda dan menyerah, menjadi bergerak dan akselerasi. 

Masyarakat harus diajak untuk dapat mengkalkulasi vitalitas dan potensi dalam dirinya sendiri dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada. Hal tersebut pun akan membentuk budaya baru yang saya sebut sebagai disiplin baru.

New normal merupakan konstruksi sosial yang akan membangun struktur kesadaran dan pengetahuan. Bagi mereka yang memiliki privilege, bersenang-senanglah karena tidak ada lagi batasan untuk belajar hanya karena tidak dapat berkumpul secara fisik. 

Manusia tidak dapat membuat timeline akan kapan sebuah bencana terjadi maupun berakhir. Hal yang dapat dilakukan manusia adalah meresponsnya dan mencari cara untuk mengatasi masalah yang ada. 

Dengan hidup yang kini sudah serba terinstrumentalisasi melalui teknologi dan inovasi, manusia seperti diberikan hint untuk menemukan solusi bagi masalahnya sendiri. Kini saatnya kita menyadari kemewahan yang ada dan mengolahnya untuk saling membangun dan membantu agar terus lahir peradaban baru yang jauh lebih kuat menghadapi bencana yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

History, Pandemics That Changed History, (2020), diakses pada tanggal 12 Juni 2020 melalui https://www.history.com/topics/middle-ages/pandemics-timeline

Katadata, Pemerintah Catat 1,65 Juta Pekerja Terkena PHK Akibat Pandemi Corona, (2020), diakses pada tanggal 13 Juni 2020 melalui https://katadata.co.id/berita/2020/04/13/pemerintah-catat-165-juta-pekerja-terkena-phk-akibat-pandemi-corona

Kompas, Sering Disebut-sebut Apa Itu New Normal?, (2020), diakses pada tangga; 13 Juni 2020 melalui https://www.kompas.com/tren/read/2020/05/16/164600865/sering-disebut-sebut-apa-itu-new-normal-

Morens David, et. al., Global Rinderpest Eradiction: Lessons Learned and Why Humans Should Celebrate Too, (2011), diakses pada tanggal 13 Juni 2020 melalui https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3144172/

Orange Caroline, Yellow Fever Was Just as Important As Toussaint L’Ouverture in the Haitian Revolution, (2018), diakses pada tanggal 12 Juni 2020 melalui  https://medium.com/@caroline_67183/yellow-fever-was-just-as-important-as-toussaint-louverture-in-the-haitian-revolution-caf5b644a6d2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun