Oleh Difa Kusumadewi
Tidak sedikit orang awam memercayai bahwa pelaku terorisme mengalami gangguan mental, gangguan kepribadian, atau psikopat sadis yang mengalami trauma dalam hidupnya. Teori psikoanalisis bahkan beranggapan bahwa tindakan sadis yang mereka lakukan disebabkan karena adanya represi seksual akibat banyaknya larangan perilaku seksual dalam ajaran agama yang mereka anut. Namun jika mengamati keempat pelaku Bom Bali I dan sejumlah mantan pelaku teror lain, seperti yang dihasilkan dari penelitian Profesor  Sarlito kepada mereka, ditemukan bahwa teori represi seksual dan gangguan kejiwaan tersebut tidak tepat.
Penelitian yang dilakukan oleh Profesor Sarlito Wirawan Sarwono terhadap para pelaku terorisme di Indonesia mengungkapkan bahwa mereka adalah orang biasa yang bahkan diantaranya dapat terbilang cerdas, namun mempunyai ideologi dan pemikiran yang berbeda. Mereka menganggap bahwa ideologi yang mereka yakini adalah satu-satunya yang benar dan ideologi orang lain adalah salah dan harus diperangi. Di luar pemikiran mereka tentang ideologi yang mereka percaya, mereka adalah orang-orang normal yang memiliki keluarga, mencintai keluarga, setia kawan, dan bekerja seperti masyarakat normal lainnya. Ideologi Islam garis keras yang mereka anut setara dengan ideologi garis keras manapun, seperti kamikaze Japang pada Perang Dunia II, ideologi fasisme NAZI pada era Hitler, dan sebagainya.
Sebagian pelaku terorisme lain bahkan hanya kerabat, bertetangga, pernah mengikuti pendidikan pesantren tertentu atau hanya kebetulan membantu membawa barang yang kemudian diketahui ternyata bahan peledak.
Profesor Sarlito beserta tim dari Program Kajian Ilmu Kepolisian, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia pernah bereksperimen dengan mempertemukan mantan pelaku bom dan para korban bom. Hasil yang didapatkan sangat mengejutkan, mereka saling memaafkan dan duduk bersebelahan sambil bercengkrama saat makan siang. Bahkan anak-anak mereka bermain bersama. Hal ini merupakan bukti bahwa pelaku teroris juga merupakan manusia biasa yang memiliki empati sama seperti manusia lainnya.
Pelaku Bom Bali Ali Imron bahkan menyesali keterlibatannya dalam Teror yang ia lakukan di Bali. Pada saat itu tugasnya adalah untuk merakit bom dan mengoordinasikan eksekusi. Ali Imron tidak menyesali tindakannya di Afghanistan, namun berbeda dengan Bom Bali. DI Afghanistan ia merasa bahwa tindakannya direstui oleh Allah sehingga dilindungi. Namun pada teror Bom Bali, ia dikejar dan ditangkap polisi, yang berarti tindakannya tidak direstui dan dilindungi oleh Allah. Ia berharap dapat menyatakan maaf secara langsung kepada kerabat korban dan menulis buku mengenai penyesalannya.
Apa motivasi terlibat dalam terorisme?
Dari penelitian yang dilakukan oleh Profesor Sarlito beserta tim dari Program Kajian Ilmu Kepolisian Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Setiap orang yang terlibat dalam terorisme memiliki motivasi masing-masing. Beberapa ada yang hanya membantu teman, terpengaruh, meyakini ideologi Islam garis keras secara sepenuhnya, sampai aktualisasi diri.
Banyak dari mereka berawal dari rasa ingin tahu dan keinginan untuk belajar Islam lebih jauh, sehingga mereka bergabung dengan kelompok Islam di sekolah, perguruan tinggi, pengajian, pesantren atau organisasi Islam lainnya. Mereka kemudian mendengarkan ceramah dari ustadz mereka yang menyampaikan ajaran jihad di Ambon, Poso, dan Afghanistan, di mana umat Islam dibunuh oleh orang yang mereka anggap kafir.
Namun ada pula pelaku teror yang mempunyai motivasi balas dendam kerena keluarga atau kerabatnya dibunuh oleh umat agama lain pada konflik Ambon dan Poso. Mereka mempercayai bahwa umat Muslim selalu menjadi korban umat Kristiani namun pihak kepolisian dan pemerintah tidak bertindak tegas.
Terlepas dari apapun motifnya, kesamaan mereka adalah bahwa mereka ingin memperbaiki keadaan di dunia. Keadaan dunia sekarang dianggap tidak adil, penuh maksiat, dan tidak sejalan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, jihad dianggap penting untuk memperbaiki keadaan, dan jihad yang mereka pahami adalah memerangi non-Musim, dan Muslim yang tidak mempraktikkan Syariah Islam.
Pengikut garis keras yang kemudian bergabung dengan gerakan teroris mudah dipengaruhi oleh para imam seperti Imam Samudra, Noordin M Top, dan  pemimpin radikal lainnya karena pemikiran yang dangkal dan struktur kognitif mereka yang sederhana. Beberapa dari mereka memiliki pendidikan terbatas dan hampir tidak ada pengalaman di luar komunitasnya.
Bagaimanapun terdapat motif implisit seperti kebutuhan atas identitas diri, kebutuhan untuk diakui, dan kebutuhan atas harga diri. Kebanyakan dari pelaku terorisme berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Mereka membutuhkan status untuk meningkatkan penghargaan atas diri mereka dari pengakuan atas kelompok tertentu. Bagi mereka, status mereka akan lebih diakui jika mereka bergabung dengan kelompok radikal dan berjuang menjadi pahlawan yang menegakkan Syariah Islam. Hal inilah yang menyebabkan pelaku melakukan bom bunuh diri untuk menaikkan status sosialnya dalam kelompok dengan menjadi pahlawan yang mengorbankan dirinya.
Terlepas dari pemahaman radikalnya, mereka adalah manusia normal yang berkeluarga, berkomunitas, memiliki kebutuhan ekonomi, dan membutuhkan pengakuan diri. Dari tinjauan psikologi yang dilakukan oleh  Kajian Ilmu Kepolisian Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Mereka tidak terindikasi memiliki sindrom skizofernik, psikopat, dan tidak memiliki tanda-tanda neurotik. Hanya satu atau dua orang saja yang mengalami gangguan kejiwaan. Yang membedakan mereka dengan orang lain hanyalah pemikiran radikal dan lingkungan yang mendukung mereka mendapatkan kebutuhan eksistensi diri yang diberikan oleh kelompok radikal.
Artikel ini telah dipublikasikan di Surat Rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H