Mohon tunggu...
Difa Giantara
Difa Giantara Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa

Suka nulis, sama suka kamu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Demi Celurit, Batu, dan Mistar Pelajar

3 Juli 2024   17:32 Diperbarui: 3 Juli 2024   17:53 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tawuran pelajar, sumber: https://mediaindonesia.com/megapolitan/538805/hendak-tawuran-remaja-bersajam-dibekuk-polisi

Namun Ihsan mengakui bahwa pendekatan militeristik saja tidak cukup. "Mereka butuh figur. Role model yang bisa mengarahkan," tambahnya. "Sayangnya, banyak dari mereka yang justru mengidolakan seniornya yang jago tawuran."

Ilham membenarkan pernyataan Serda Ihsan. Ia mengaku bahwa kultur senioritas dan warisan "tradisi" dari alumni menjadi faktor kuat yang melanggengkan budaya tawuran. "Senior-senior suka cerita soal 'kejayaan' mereka dulu. Kita yang junior jadi pengen ngerasain juga," ungkapnya.

Yang lebih mengkhawatirkan, aksi tawuran kini semakin terorganisir. Ilham menceritakan bagaimana mereka memanfaatkan media sosial untuk koordinasi dan provokasi. "Ada grup khusus di WhatsApp, Instagram juga dipake buat pamer 'prestasi'," jelasnya. "Makin banyak korban, makin bangga."

Ilham mengaku bersyukur bisa lepas dari lingkaran setan tawuran. Namun, luka fisik dan psikis yang ia alami masih membekas. "Saya masih sering mimpi buruk," akunya. "Kadang terbangun tengah malam, lihat luka di tangan masih kadang ingat".

Ilham kini aktif sebagai mahasiswa dan sudah meninggalkan dunia kelam saat sekolah, kini ia mulai sadar bahwa apa yang sudah dilakukannya di masa lalu tidak ada manfaatnya dan lebih banyak keburukannya. 

Serda Ihsan menambahkan bahwa diperlukan sanksi yang lebih tegas bagi pelaku tawuran. "Mungkin sudah saatnya mereka diperlakukan sebagai pelaku kriminal, bukan sekadar kenakalan remaja," tegasnya. "Tapi tentu dengan tetap memperhatikan aspek pembinaan."

Senja semakin pekat di langit Jakarta. Ilham beranjak pulang, meninggalkan sisa-sisa masa lalu yang kelam. Celurit, batu, dan mistar yang dulu menjadi kebanggaannya kini hanya menyisakan trauma dan penyesalan.

Namun di tengah kegelapan, selalu ada secercah harapan. Bahwa suatu hari nanti, tangan-tangan muda yang dulu menggenggam senjata akan beralih menggenggam pena, kuas, atau peralatan kerja yang membangun, bukan menghancurkan. Bahwa celurit akan kembali ke sawah, batu akan menjadi fondasi bangunan, dan mistar akan kembali ke kelas-kelas, mengukur pengetahuan, bukan melukai sesama.

Kisah Ilham mungkin hanya satu dari ribuan narasi serupa yang tersembunyi di balik headline berita tawuran pelajar. Namun, setiap kisah adalah pengingat bahwa di balik aksi kekerasan yang mengerikan, ada jiwa-jiwa muda yang merindukan arahan, perhatian, dan kesempatan untuk membuktikan diri dengan cara yang benar.

Malam telah turun di Jakarta. Lampu-lampu kota bersinar terang, menerangi jalan-jalan yang dulu menjadi arena pertempuran. Kini, jalan-jalan itu menanti untuk dilalui oleh langkah-langkah pasti generasi muda yang memilih perjuangan yang lebih bermakna: melawan kebodohan dan kekerasan dengan ilmu dan kreativitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun