Betapa tidak sadarnya kita, ketika membeli terdapat sebuah pola yang cenderung aktif. Pola tersebut telah mengendap dalam kesadaran kita dalam berbagai bentuk makna simbolik. Parade iklan yang terus-menerus diulang dalam media sosial membuat kita memaknai KFC itu gaul, Marlboro itu macho, dan sebagainya. Bayangkan saja jika sebagian temanmu menjadi sepasang sepatu Adidas yang sedang berjalan.
Ternyata sebuah produk dibeli hanya berdasarkan makna simboliknya saja. Makna simbolik tersebut pada akhirnya melebur dalam diri. Secara perlahan namun kejam menggeser identitas diri. Maka anda akan segera menjadi apa yang anda konsumsi.
Bukankah menakutkan sekali misalnya ketika kamu bertemu dengan seorang teman. Dia bilang baru pulang dari Pizza Hut. Kemudian dia bercerita banyak hal tentang bagaimana rapinya toko itu mengemas makanan. Terlebih dia bercerita pula tentang suasana di tempat itu yang benar-benar membuat nyaman. Lalu kamu bertanya, “Bukannya kamu tadi pamit cari makan ya? Gimana kenyang apa tidak makan di sana?”
Pastilah temanmu takkan memikirkan hal itu. Bisa jadi yang sebenarnya dia cari hanyalah atribut dari sebuah tempat yang telah dicitrakan berlebihan dalam iklannya. Bahkan makna simbolik citra itu akan menjadi dirinya. Dia yang berharap status sosialnya terangkat oleh ilusi iklan. Dalam artian yang paling sederhana, dia mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari golongan kelas atas yang terbiasa mengkonsumsi komoditas itu.
Pada intinya dia tidak sedang mengkonsumsi substansi material dalam Pizza Hut, akan tetapi substansi simbol kelas Pizza Hut. Maka dia takkan peduli seberapa lezat, mengenyangkan, dan mahalnya makanan itu. Karena yang penting lobang-lobang kepesimisan diri tertutupi dengan kasta baru.
Membuat kita mencandu hasrat
Atas nama percepatan ekonomi, mega mesin kapitalis senantiasa menderu dan siap melindas apa saja yang membuat dia terhambat. Karena globalisasi atau wajah lain dari kapitalisme internasional girang sekali menaklukan negara lain dengan cara ekspansi di jalur pasar. Maka dari itu mereka akan senantiasa mengacaukan irama laju kehidupan yang sebenarnya belum terlalu rapi.
Salah satu celah yang dimainkan oleh pasar adalah karena tak ada batas bagi pemenuhan kebutuhan hasrat. Konsumen dibuat untuk patuh secara terus-menerus dan berlaku kelipatan untuk mengkonsumsi makna simbolik dalam komoditas. Objek yang dikonsumsi tersebut menjadi medium untuk menyatakan identitas diri. Konsumen dibuat bangga pada status sosial, prestise atau wibawa yang dimainkan oleh sisi yang lain dari komoditas. Kemudian konsumen diatur untuk merayakan makna-makna simbolik sekaligus melupakan nilai fungsi dari sebuah komoditas. Maka pasar mengkonstruksi perubahan dari nilai guna ke arah nilai tanda. Otomatis semakin lenyaplah batas antara realitas dengan fantasi.
Wacana untuk giat mengkonsumsi merupakan salah satu jenis penipuan massa. Diam-diam aneka ragam bayangan dalam bentuk citra ditanam dalam komoditas. Pantaslah jika iklan menjadi tangan panjang yang tak tampak dalam mengendalikan selera massa. Pada akhirnya mereka akan mengkonstruksi cara berpikir kita. Karena bagi mereka, kepulan arus asap pabrik produksi harus berbanding lurus dengan daya keinginan mengosumsi yang tinggi.
Kepuasan hampa mempengaruhi persepsi kita melalu sistem syaraf tubuh. Tiap personal akan mudah diatur pola hidupnya. Kehidupan akan berubah menjadi panggung drama dan kita memainkan skenario yang telah disiapkan oleh tuhan pasar. Menjadi masyarakat sakhau yang tenggelam dalam budaya konsumsi.
Bagi Yasraf Amir, dalam era kekinian terjadi dromologi atau percepatan informasi dan pencitraan di dalam media. Pada saat yang bersamaan terjadi pula pendangkalan makna. Misalnya saja sebuah iklan yang mengatakan jika, “Orang pintar harus minum tolak angin”. Bukankah secara tidak langsung iklan tersebut juga mengatakan jika orang-orang pintar adalah orang yang sakit-sakitan. Sedangkan orang-orang bodoh adalah mereka yang mungkin sedang sehat. Menjemukkan sekali, mana ada hubungannya obat masuk angin dengan tingkat intelektual seseorang.