Baru pertama ini saya melihat ratusan atau bahkan ribuan ikan nila di kali. Meskipun tidak sejernih air selokan yang ada di Jepang, menurut saya, Kali Gajah Wong tetap memiliki nuansa negara yang dijuluki “Negeri Matahari Terbit” tersebut. Rasanya menyenangkan ketika saya berjalan sembari melihat ke samping dan menunduk, kemudian mendapati puluhan ikan berenang mengikuti langkah kaki saya. Perut saya geli melihat betapa aktifnya ikan-ikan di dalam air. Warna belang putih, hitam, dan oranye membuat ikan-ikan tampak lucu dan manis.
Saya berjongkok untuk melihat lebih dekat. Sebagian besar dari mereka mungkin melarikan diri karena ketakutan, namun masih tersisa beberapa ekor yang berenang gelisah ke kanan dan ke kiri di depan saya. Saya pun menoleh ke samping, seorang anak kecil memegang gelas bening berisi pakan ikan. Ia lalu menyebarkan segenggam pakan tersebut ke air, seketika para ikan nila berkerubung untuk melahap beberapa butir pakan ikan yang terapung di permukaan air. Bukan hanya anak kecil itu, melainkan beberapa orang juga berdiri di tepi kali sambil menyebarkan pakan ikan. Mereka tertawa riang setelah melihat reaksi ikan-ikan tersebut. Tanpa sadar saya pun tersenyum.
“Mau coba?”
Teman saya, yang mengajak saya ke tempat ini, menyodorkan satu gelas plastik transparan berisi pakan ikan. Saya ingin mencobanya, tetapi saya menggeleng pertanda menolak karena itu adalah miliknya. Saya tahu dia baru saja membeli pakan ikan tersebut dari warung terdekat yang memang sengaja menjual pakan ikan bagi pengunjung. Saya hanya tidak ingin merampas kesenangan orang lain.
Saya cukup terkejut karena segelas pakan ikan tergolong murah–sekitar Rp2000. Namun demikian, saya cukup kesulitan mencari uang senilai dua ribu rupiah di kantong baju saya. Bahkan di dompet saya tidak ada uang sepeser pun.
“Apa bisa QRIS?”
Saya bertanya penuh harap. Kalau dipikir-pikir, saya tidak melihat kode QR pembayaran di sepanjang jalan melewati puluhan ruko yang berjejer. Penjual tampak tersentak, kemudian menggeleng. Ia langsung tahu bahwa saya baru pertama kali datang ke sini. Ini memalukan. Syukurlah, saya bisa menemukan beberapa uang koin yang tersembunyi di dalam tas. Sepertinya tempat ini tidak terlalu ramah untuk pengunjung cashless.
Dengan melempar segenggam pakan ikan, para ikan nila langsung asyik berebutan di bawah kaki saya. Mereka semua tampak lahap. Entah doyan makan atau memang tidak pernah diberi makan. Saya cukup penasaran dari mana mereka tumbuh besar selain berasal dari pengunjung yang memberi mereka pakan. Tempat ini bahkan tidak pernah sepi semenjak dua jam saya berdiam di tepi kali. Selalu ada orang-orang yang mana silih berganti melemparkan pakan.
Di seberang saya, seorang pria dengan anak laki-lakinya, memegang alat pancing sambil bercengkerama tentang cara menangkap ikan. Samar-samar saya mencium aroma asin, gurih, dan manis yang berasal dari warung depan. Aroma rempah-rempah yang menguap ke udara mengingatkan saya dengan masakan ibu di rumah, benar-benar menggoda saya untuk memakan satu ekor saja nila goreng.
Ini sangat ironi saat saya memberi makan para ikan nila dan pada saat yang bersamaan, saya juga ingin memakan mereka. Setelah bertanya dengan beberapa penjual di sana, saya mendapat penjelasan bahwa ikan-ikan di sini memang boleh dimakan tapi harus melewati aturan yang berlaku. Seperti yang dilakukan oleh pasangan ayah-anak tadi, mereka membayar untuk memancing sehingga hasil tangkapan mereka nantinya adalah apa yang akan mereka makan.
Tiba-tiba, saya merasa sedih. Saya pun berjongkok lagi di tepi kali dengan memegang gelas plastik transparan yang sudah kosong, sembari memandang para ikan berkerubung di bawah sana dan memikirkan nasib mereka. Mereka berkumpul gelisah di dalam bayangan saya seolah mengharap beberapa butir pakan ikan. Akan sangat menyedihkan jika di antara ikan-ikan ini ada sebagian ekor yang tidak berhasil merebut pakan.
Saya menjulurkan ujung telunjuk ke permukaan air. Sensasi dingin menyelimuti kulit. Beberapa ekor nila tampak ragu-ragu memperhatikan jari tangan saya, kemudian dengan gerakan secepat kilat mereka menggigit kulit saya. Itu sedikit mengejutkan. Saya menganggapnya sebagai kecupan perpisahan. Saya tahu cepat atau lambat, ikan-ikan di sini akan dimakan oleh orang-orang yang ada di sini dan menggantinya dengan ikan-ikan yang baru.
Matahari semakin tinggi dan panasnya semakin terik. Teman saya, mulai mengomel karena saya terlalu lama melihat ikan sedangkan dia telah menghabiskan beberapa tusuk sate. Saya melihat bekas mangkuk dan piring di depannya dan hampir semuanya kosong melompong. Saya yakin kuliner di sini sangat enak sehingga teman saya rela menghabiskan begitu banyak menu di sini satu per satu dengan sabar. Dia bertanya penasaran mengapa saya tidak mencoba sedikitpun jajanan yang dijual. Tentu saja, saya tidak akan mengatakan bahwa saya tidak memiliki uang tunai. Saya harap di lain hari bisa pergi ke sini lagi dan mencicipi ikan nila goreng bersama-sama. Entah kenapa harapan saya begitu kontradiksi dengan perasaan sedih yang baru saja saya alami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H