ombak berubah warna dari kelabu menjadi biru, dedaun dari hijau zaitun kusam menjadi hijau zamrud cemerlang, juga warna pasir, awalnya hitam lembap, lalu berubah menjadi coklat berkilauan seperti bertabur mutiara. itu dulu. sewaktu matahari gampang kita temukan. kini musim hujan. tak lagi seperti itu, sayang.
nyaris di tiap paginya kabut menang mutlak. kita melulu temukan kekalahan
matahari. gumpalan putihnya memenuhi teras langit bagian timur. tak ayal, kelopak bunga pula dengan kaca jendela kamar masih dipenuhi butiran embun sewaktu kita buka mata. begitu juga dengan sore hari, kita selalunya kehilangan semburat jingga di langit barat. yang ada dingin. sangat dingin.
barangkali kini waktunya aku mengulang mimpi. seperti musim yang sudah terlewati. dalam mimpi itu, kita bermimpi mandi di derasnya hujan, mengumpulkan kembang melati yang dironce ala pengantin, lantas kukalungkan pada leher jenjangmu. hei! masih di mimpiku juga, aku lihat pelangi yang memancar indah di basah tubuhmu. begitu, kau sungguh nampak ayu, sayang.
****
"hallo, engkau masih di situ mendengarkan cerita ini, sayang?"
samar kudengar isak dari seberang yang kemudian disusul dengan suara berulang tanda terputusnya saluran telefon "tuuuttt... tuuttt.... tuuutttt...."
di meja ini, kopi kopi la minita tarrazu ala costa rica terasa lebih cepat dingin dari biasanya.
DIEN MAKMUR
12.12.12
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H