Mungkin dikalangan masyarakat, kata-kata “Disleksia” tidak begitu populer. Bahkan cenderung banyak yang tidak mengerti. Dan sangat disayangkan ketika seorang pengajar, baik guru maupun dosen tidak tahu apa itu disleksia. Padahal, peran seorang pengajar bagi penderita disleksia sangatlah penting. Di sini, kita akan mulai berbicara tentang, apa itu disleksia.
Disleksia adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami gangguan pada pendengaran dan penglihatan. Secara umum, disleksia bisa diartikan sebagai, gangguan dalam aktifitas membaca dan menulis. Bisa juga diartikan penurunan kemampuan otak dalam menerjemahkan suatu informasi, baik itu visual, maupun auditorial. Hal ini terjadi karena ada kelainan pada saraf otak. Di sini kita bisa mengartikan, bahwa para penderita disleksiamengalami kelainan pada saraf otak, sehingga mereka tidak mudah menerjemahkan sebuah informasi, yang mereka tangkap melalui indra penglihatan maupun pendengaran. Bahkan dalam beberapa kasus para penderita disleksia mengalami gangguan dalam hal berbicara. Tetapi, bedakan arti ini dengan buta, tuli, bahkan bisu. Para penderita disleksia bisa melihat, dan mereka pun bisa mendengar, mereka juga bisa bebrbicara. Hanya saja mereka tidak bisa menangkap dengan benar sebuah informasi yang didengar dan dilihat, dan mereka mengalami kebingungan dalam hal berbicara.
Pada umumnya, para penderita disleksia yang masih bersekolah, tidak akan dengan mudah menangkap apa yang guru ajarkan pada mereka. Mereka juga akan mengalami kesulitan dalam membaca dan menulis. Dalam hal menulis, mereka akan menempatkan huruf bahkan kata dalam susunan yang terbalik. Bahkan cenderung acak-acakan. Di dalam hal membaca, mereka bisa saja melompati sebuah kata dan huruf. Sehingga mereka tidak bisa membaca dengan ejaan yang benar.
Ada dua faktor yang bisa menyebabkan disleksia. Faktor pertama adalah keturunan. Dalam hal ini, bukan hanya gen ayah dan ibu saja yang bisa mempengaruhi. Gen seorang kakek, nenek, bahkan buyut pun bisa mempengaruhi. Disleksia keturunan ini akan diderita sepanjang hidup. Bahkan mungkin akan bisa bersifat genetik. Sehingga anak dan cucunya bisa saja mengidap disleksia. Dan yang kedua adalah disleksia yang disebabkan karena gangguan ataupun perubahan cara berpikir otak kiri.
Beberapa tanda-tanda awal disleksia bawaan adalah telat berbicara, artikulasi tidak jelas dan terbalik-balik, kesulitan mempelajari bentuk dan bunyi huruf-huruf, bingung antara konsep ruang dan waktu, serta kesulitan mencerna instruksi verbal, cepat, dan berurutan. Tanda-tanda ini sebenarnya sangat mudah untuk dikenali. Tetapi, dengan ketidakpedulian orang tua, pengajar, dan lingkungan sekitar akhirnya para penderita disleksia cenderung dianggap “anak bodoh”. Pernyataan bodoh untuk penderita disleksia sangatlah tidak tepat. Karena di beberapa studi, ditemukan bahwa para penderita disleksia memiliki tingkat kecerdasan IQ di atas rata-rata. Bahkan, jika kini kita masih beranggapan bahwa Albert Einstein adalah orang jenius, kita tidak bisa menyingkirkan sebuah fakta bahwa dia adalah pengidap disleksia. Mungkin hanya sebagian orang saja yang mengetahui fakta itu, tetapi dari fakta tersebut, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa penderita disleksia adalah anak yang bodoh. Karena pada kenyataannya mereka adalah orang yang cukup jenius. Hanya saja faktor lingkungan yang menyebabkan mereka dicap bodoh.
Di sinilah peran seorang pengajar sangat penting. Ya, bagi penderita disleksia, pengajar benar-benar sangat penting. Mereka membutuhkan sebuah metode khusus untuk belajar. Ironisnya, para pengajar di Indonesia tercinta ini tidak begitu peduli. Bahkan pengajar yang begitu potensial bagi penderita yaitu orang tua, cenderung menutup diri tentang fakta ini. Para orang tua bahkan terkadang merasa malu, mereka malu karena cap bodoh yang diberikan oleh lingkungan pada anaknya yang tanpa mereka ketahui sebabnya.para pengajar di sekolah pun bersikap sama. Mereka tidak lagi mempedulikan pengidap disleksia, mereka hanya menangani anak-anak yang dianggap pintar dan berpotensi untuk menjuarai suatu lomba agar reputasi sekolah terangkat. Mereka hanya mengerti kalau anaknya tidak begitu bisa membaca dan menulis. Pada akhirnya, para orang tua pun akan mengambil inisiatif yang sama dengan para guru, untuk tidak mempedulikan anak “Istimewa” ini. Sehingga akhirnya penderita akan terlantar. Sungguh sangat disayangkan, jika saja mereka mengerti bagaimana penanganan untuk penderita disleksia, maka para anak jenius pun akan lahir kembali dari para penderita disleksia.
Maka mulai dari saat ini, kita harus lebih peduli pada para penderita disleksia. Kita harus membuka mata selebar mungkin, agar para penderita disleksia bisa mengembangkan potensi mereka. Setidaknya kita harus bisa menerima keadaan mereka. Jangan langsung memberikan cap bodoh pada mereka. Mereka tidaklah bodoh, yang bodoh justru orang tua dan guru yang tidak mempedulikan mereka. Mereka adalah jenius dalam keahlian mereka. Hanya saja mereka tidak bisa mendapatkan kelayakan dalam belajar. Sehingga bakat tersebut terbuang percuma karena tidak di kembangkan. Sungguh kerugian besar ketika kita membuang orang-orang jenius ini.
Sudah saatnya kita membuka mata untuk disleksia.
sumber :
www.rumahbunda.com
www.wikipedia.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H