Ketika kita membicarakan kesehatan, sering kali yang terlintas adalah layanan medis seperti rumah sakit, dokter, dan obat-obatan. Namun, ada satu komponen penting yang tidak kasatmata namun sangat memengaruhi, yaitu kelembagaan atau institusi yang menopang sistem kesehatan itu sendiri. Pada Hari Kesehatan Nasional ini, mari kita menyoroti pentingnya peran kelembagaan dalam memastikan layanan kesehatan yang merata, berkelanjutan, dan berkualitas bagi seluruh masyarakat Indonesia, hingga ke pelosok negeri.
Dalam perspektif ekonomi kelembagaan, kesehatan masyarakat tidak hanya bergantung pada jumlah anggaran atau ketersediaan tenaga medis semata, tetapi pada bagaimana sistem kelembagaan dibangun untuk mengelola, mendistribusikan, dan mengoptimalkan sumber daya tersebut. Institusi memainkan peran dalam menetapkan aturan formal dan informal, insentif, serta norma yang menentukan cara berbagai aktor dalam sektor kesehatan berinteraksi, mulai dari pemerintah, penyedia layanan kesehatan, hingga masyarakat umum.
Negara-negara dengan kelembagaan kesehatan yang kuat, seperti Jepang, berhasil membangun sistem yang memungkinkan distribusi tenaga medis secara merata ke seluruh wilayahnya. Rasio dokter di Jepang mencapai 26,1 per 10.000 penduduk, jauh di atas Indonesia yang hanya memiliki 7 dokter per 10.000 penduduk. Rasio ini bukan sekadar angka; tetapi juga mencerminkan keberhasilan kelembagaan dalam merancang sistem rekrutmen dan insentif untuk mendorong penyedia layanan kesehatan melayani di daerah terpencil. Institusi yang baik akan mengintegrasikan insentif finansial serta jenjang karier yang memungkinkan tenaga medis untuk berkembang, meskipun bekerja di wilayah yang jauh dari pusat kota. Ini adalah hasil dari kerangka kelembagaan yang mengakomodasi kebijakan insentif yang berkelanjutan dan mendorong pemenuhan kebutuhan tenaga medis yang lebih merata.
Negara dengan rasio tenaga kesehatan yang lebih tinggi cenderung memiliki sistem tata kelola yang memungkinkan pendistribusian tenaga medis ke seluruh wilayah. Dokter dan perawat yang tersedia di seluruh wilayah menunjukkan upaya tata kelola yang baik. Ini penting agar layanan kesehatan dapat diakses secara merata oleh semua penduduk. Salah satu langkahnya adalah perencanaan tenaga kerja yang strategis. Contohnya, program pelatihan tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan populasi. Dengan demikian, sistem kesehatan dapat memenuhi permintaan layanan di berbagai daerah secara lebih efisien.
Di Indonesia, distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata menjadi salah satu tantangan besar dalam pelayanan kesehatan. Ketidakmerataan ini disebabkan oleh beberapa faktor kelembagaan, termasuk kurangnya insentif bagi tenaga medis untuk bekerja di daerah terpencil. Laporan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada saat Public Hearing RUU Kesehatan Bersama Dinkes Seluruh Indonesia menyatakan bahwa insentif bagi tenaga kesehatan di daerah terpencil belum menjadi perhatian utama pemerintah.
Pengawasan regulasi yang kurang efektif turut memperburuk ketimpangan distribusi tenaga kesehatan. Tanpa pengawasan yang memadai, tenaga kesehatan yang ditempatkan di daerah terpencil mungkin tidak menerima dukungan atau insentif yang layak, seperti tunjangan khusus, fasilitas pendukung, atau kesempatan pengembangan karier yang memadai. Hal ini membuat upaya untuk menarik tenaga medis ke daerah terpencil menjadi sulit, yang akhirnya berdampak pada akses dan kualitas layanan kesehatan di wilayah-wilayah tersebut.
Alokasi anggaran kesehatan yang besar tidak akan optimal tanpa adanya sistem kelembagaan yang mengarahkan penggunaan dana secara transparan dan tepat sasaran. Jepang, yang mengalokasikan 11,00% dari PDB-nya untuk sektor kesehatan, berhasil meningkatkan angka harapan hidup hingga 84,5 tahun pada 2021. Sementara itu, Indonesia, dengan alokasi anggaran sebesar 3,42% dari PDB, hanya mencapai angka harapan hidup 68,3 tahun. Perbedaan ini menunjukkan bahwa alokasi dana perlu diimbangi dengan bagaimana institusi merancang dan mengeksekusi kebijakan agar dana tersebut memberikan dampak nyata.
Dalam pandangan ekonomi kelembagaan, institusi yang kokoh dalam pengelolaan anggaran sangat penting untuk mencapai tujuan kesehatan masyarakat. Kelembagaan yang baik memastikan adanya transparansi, pengawasan, dan akuntabilitas dalam setiap proses alokasi dana. Melalui pengawasan yang lebih ketat, sistem ini mencegah penyalahgunaan anggaran kesehatan. Dana pun dapat langsung dialokasikan ke sektor prioritas. Di Indonesia, kelembagaan masih perlu diperbaiki untuk menjamin alokasi dana lebih tepat sasaran, terutama untuk kebutuhan dasar kesehatan di daerah dengan akses terbatas.
Pada tahun 2021, Indeks Cakupan Layanan Kesehatan Universal (UHC) Indonesia hanya mencapai 54,78, lebih rendah dari Thailand (81,98), Jepang (83,49), dan Singapura (88,51). Jepang dan Singapura, yang memiliki kelembagaan kesehatan yang kuat, mampu menyediakan cakupan yang luas dengan regulasi jelas dan insentif bagi tenaga medis di daerah terpencil. Hal ini memungkinkan distribusi tenaga kesehatan yang merata dan menurunkan biaya transaksi bagi masyarakat dalam mengakses layanan. Indonesia masih menghadapi tantangan dalam pengelolaan kelembagaan kesehatan. Ketidakmerataan distribusi tenaga medis dan infrastruktur, terutama di daerah terpencil, serta biaya transaksi yang tinggi, seperti biaya pengawasan dan penegakan regulasi, membuat akses kesehatan tidak merata. Untuk meningkatkan cakupan UHC, Indonesia perlu memperkuat kelembagaan kesehatan, dengan regulasi yang lebih baik, pengelolaan anggaran yang transparan, dan insentif yang mendukung distribusi tenaga medis yang lebih merata.
Ekonomi kelembagaan juga memandang Universal Health Coverage (UHC) bukan sekadar pencapaian angka cakupan, tetapi sebagai kerangka kelembagaan yang harus terintegrasi dengan baik ke dalam sistem pelayanan kesehatan. Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan cakupan layanan kesehatan universal melalui program-program seperti BPJS Kesehatan, yang dirancang untuk memperluas akses kesehatan secara merata di berbagai wilayah. WHO mencatat bahwa Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan cakupan layanan kesehatan universal (Universal Health Coverage/UHC). Pada tahun 2025, diproyeksikan bahwa 39,3 juta penduduk Indonesia akan mendapatkan cakupan layanan esensial tanpa mengalami kesulitan finansial.