DI MYANMAR, penyadapan telepon itu hal biasa. Itu diceritakan Phyo (bukan nama sebenarnya). Laki-laki berumur 25 tahun itu lahir dan besar di Yangon. Dia berasal dari keluarga relatif kaya sehingga terlindungi dari hiruk-pikuk kekerasan politik di Myanmar.
Namun Phyo mengingat beberapa peristiwa menonjol saat dia masih kanak-kanak. "Ketika berbicara melalui telepon, Anda bisa mendengar suara lain. Misalnya televisi atau suara orang yang sedang bercakap-cakap. Mereka adalah aparat militer yang mengawasi Anda," ujarnya.
"Tidak terlalu menakutkan sebenarnya bagi kami yang lahir dalam situasi semacam ini," bebernya.
Tetapi ketika militer melancarkan kudeta 1 Februari, orangtuanya melarang dia menggunakan telepon. Phyo lahir tahun 1995. Atau tiga tahun setelah diktator militer Than Shwe berkuasa. Phyo menyebut tahun kelahirannya sebagai "puncak kekuasaan militer setelah revolusi tahun 1988".
Di sekolah, kata Phyo, kurikulum diatur sedemikian rupa. "Guru dilarang mengajarkan topik-topik sensitif. Di negara lain, pendidikan mungkin membuat Anda menjadi memiliki sikap kritis. Tetapi di sini kami disuruh membaca dongeng-dongeng agama," ucapnya.
"Atau Anda akan belajar bahwa raja-raja Myanmar benar-benar hebat sampai semua jengkal tanah mereka diambil Inggris."
Meski demikian, Phyo mengaku terhindar dari pergolakan politik di negaranya sampai usia 12 tahun. Sebelum Revolusi Saffron yang dimotori para biksu meletup pada tahun 2007.
Myanmar telah lama dianggap sebagai negara paria di bawah kekuasaan junta militer dari tahun 1962 hingga 2011. Demokratisasi mulai dihembuskan pada 2010, salah satunya berkat perjuangan Aung San Suu Kyi.
Tetapi kekejaman militer belum sepenuhnya berhenti. Operasi militer di Negara Bagian Rakhine pada tahun 2017 telah mengakibatkan lebih dari setengah juta Muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh. PBB menyebut operasi militer ini sebagai 'pembersihan etnis'.
Myanmar saat ini tengah menghadapi gugatan Mahkamah Internasional atas tuduhan melakukan genosida. Di sisi lain, Mahkamah Pidana Internasional juga menggelar penyelidikan atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Para aktivis menuding Suu Kyi 'tidak berbuat' untuk menghentikan pemerkosaan, pembunuhan, dan kemungkinan genosida. Suu Kyi menolak untuk mengutuk militer yang masih kuat di negara itu. Atau setidaknya mengakui adanya laporan perihal kekejaman.