Mohon tunggu...
Diella Dachlan
Diella Dachlan Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan

When the message gets across, it can change the world

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melacak Jejak Peradaban di Lereng Gunung Pulosari Pandeglang (2)

16 Mei 2019   07:47 Diperbarui: 16 Mei 2019   08:05 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teka-teki narasi ini muncul ketika kami mengunjungi Banten Girang di Kota Serang pada awal Februari 2019. Ada jejak temuan arkeologi dan narasi berdasarkan beberapa babad tentang Gunung Pulosari. Terdorong rasa penasaran, kami mendatangi Gunung Pulosari (1.364 m) di Kabupaten Pandeglang pada bulan April 2019.

Secara tak sengaja kami menemukan potongan narasi antara Kerajaan Banten Girang dengan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Sriwijaya, lalu terakhir dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran (1357 -- 1579) sebelum kerajaan ini runtuh dan babak baru Sejarah Islam di Banten dimulai.

Pulosari tempat Raja Terakhir Pakuan Pajajaran?

Pucuk Umun Pulasari, yang juga dikenal sebagai Raga Mulya atau Prabu Surya Kencana (1567 -- 1579), adalah raja terakhir Kerajaan Pakuan Pajajaran, yang bermukim di lereng Gunung Pulosari. Literatur menyebutkan bahwa sejak raja sebelumnya, yaitu Prabu Nilakendra atau Tohaan Majaya (1551-1567), keraton Pakuan Pajajaran yang diduga berada di daerah Batutulis, Kota Bogor, mulai ditinggalkan. Sebagian penduduknya mengungsi ke pelosok sekitar kota, sebagian lagi mengikuti rajanya ke Pulosari, sedangkan sisanya bertahan di dalam kota bersama-sama pasukan yang ditugaskan untuk mempertahankannya.

Dari kunjungan ke Banten Girang, tampaknya Raga Mulya pun sempat berada di sini. Di sisi Sungai Cibanten yang melewati Banten Girang, kita akan menemukan sebuah gua kuno buatan manusia dengan adanya bukit kecil dari tanah. Penduduk sekitar menyebutkan bahwa gua ini adalah tempat Raga Mulya bersemadi (Guillot et al, 1996, hal 28).

Ada interpretasi bahwa Kerajaan Banten Girang kemungkinan merupakan kerajaan di bawah kekuasaan Kerajaan Pakuan Pajajaran. Bekas Kerajaan Banten Girang masih dapat kita kunjungi di pinggir Kota Serang, Banten, atau sekitar 10 kilometer dari pesisir. Berbagai penemuan arkeologi lintas zaman yang juga menyiratkan hubungan dengan Negara lain seperti Cina, Thailand dan Vietnam bisa kita lihat di museum Banten Girang.  Referensi tentang penelitian, temuan arkeologi dan interpretasi Kerajaan Banten Girang ada di bagian akhir tulisan.

Tapi mengapa Raga Mulya memilih Pulosari dan Banten Girang menjadi tempat bermukimnya, saya belum menemukan referensi yang lebih lengkap. Sedikit jejak narasi ada di legenda Kadu Hejo di dekat Gunung Pulosari.

 "...itu adalah peninggalan seorang raja yang datang ke tempat itu tanpa membawa mahkota. Ia kemudian memerintah sebagai raja pandita, tetapi akhirnya dikalahkan oleh pasukan Banten yang datang menyerang kerajaannya" tulis Saleh Danasasmita, dkk di buku Sejarah Jawa Barat Penelusuran Masa Silam (2018, hal 320).

Kalau Gunung Pulosari menjadi gunung keramat bagi Kerajaan Banten Girang, ternyata itu sudah sejak masa jauh sebelumnya.

Arca Sanghyang Dengdek di kaki Gunung Pulosari (Dok: Bimo Tedjokusumo)
Arca Sanghyang Dengdek di kaki Gunung Pulosari (Dok: Bimo Tedjokusumo)

Irisan dengan Kerajaan Sunda dan Sriwijaya

Jejak arkeologi berupa lima buah arca bergaya Hindu di kawah Gunung Pulosari tampaknya berasal dari masa jauh sebelum Raga Mulya. Hal ini merupakan kesimpulan Friedriech, ilmuwan Belanda pada tahun 1850 yang meneliti penemuan arca bergaya Hindu tersebut.

Arca-arca ini menggambarkan Siwa Mahadewa, Durga, Betara Guru, Ganesa dan Brahma serta sebuah lapik berhiaskan seekor naga. Lapik dan ke-lima arca ini ditemukan di dekat kawah Gunung Pulosari dan sempat menghiasi taman Asisten Residen Belanda dan dikenal dengan nama "arca-arca Caringin".

Arca dan lapik ini sudah dipindahkan ke Museum Bataviaasch yang sekarang menjadi Museum Nasional, Jakarta.  Pada akhir April 2019 saya mencari-cari jejak arca-arca Caringin ini di Museum Nasional, tetapi belum dapat secara presisi menemukannya.

"Sudah pasti bahwa benda-benda antik ini tidak berasal dari Kerajaan Pakuan Pajajaran, karena apa yang kita miliki dan ketahui tentang kerajaan ini menunjukkan Pajajaran jauh ketinggalan dalam bidang ilmu dan seni. Begitu pula dengan benda-benda antik dari Majapahit yang jauh ketinggalan dibandingkan benda-benda dari zaman sebelumnya" demikian kesimpulan Friedriech (Guillot, 2008, hal 17).

Lebih lanjut Friedrich mengajukan hipotesis tentang adanya kerajaan Hindu di Banten sebelum zaman Pajajaran. Dugaan lainnya adalah adanya pendatang Hindu yang pernah menetap di daerah ini, mendirikan kerajaan makmur yang kekayaannya berasal dari perniagaan di Selat Sunda.

Dua abad setelah hipotesa awal Friedriech, Claude Guillot menawarkan hipotesa baru.

"Kerajan yang dicari Friedrich ini nampaknya bernama Sunda dan didirikan pada tahun 932, di bawah naungan Sriwijaya. Ibu kotanya terletak di Banten Girang dan wilayahnya terbentang di seluruh pesisir yang membatasi Laut Jawa, dari Bogor sampai ke Gunung Pulasari, yang menjadi gunung keramat negara baru ini" tulis Guillot (2008, hal 20).

"Setelah jatuhnya kerajaan di Jawa Tengah sekitar tahun 930 M, para elitnya kebanyakan pindah ke Jawa Timur, tetapi sekelompok kecil, yang mungkin berasal dari Sunda di Jawa Tengah, dengan alasan tidak diketahui, memilih untuk pergi ke Jawa Barat yang saat itu berada dalam kekuasaan Sriwijaya. .........." tulis Claude Guillot (2008, hal 22-25). Ia melanjutkan

"Pada tahun 932, mereka mendirikan sebuah kerajaan yang tunduk yang dinamakan Sunda, tepat di wilayah kerajaan Taruma yang punah lebih dari dua setengah abad sebelumnya. Mereka membawa serta kebudayaan dan kepercayaannya. Bersamaan dengan didirikannya ibu kota (Banten Girang?), mereka membangun sebuah candi Siwa di atas Gunung Pulasari".

Tentang awal berdirinya Kerajaan Banten Girang, ada dugaan bahwa hal ini berhubungan dengan Prasasti Kebon Kopi II (yang hilang sejak tahun 1940-an) di daerah Ciampea, Bogor. Interpretasi dari isi prasasti tersebut berkaitan dengan penyerahan kerajaan Sunda, yang diduga berkaitan dengan pendirian kerajaan Banten Girang pada awal abad ke-10. Membahasnya di sini akan terlalu panjang.  

Namun, Guillot mencatat ada kesesuaian waktu yang "mencolok mata" antara isi prasasti, Banten Girang dan Kerajaan Sunda. Selain itu ada kesesuaian waktu antara masa didirikannya Kerajaan Sunda dengan punahnya kerajaan di Jawa Tengah. Pemusnahan ibu kota kerajaan Jawa terjadi sekitar tahun 1016, yang merupakan tindakan pembalasan tentara Sriwijaya terhadap serangan Jawa pada sekitar tahun 992-993. Setelah abad ke-11, tidak lagi ditemukan jejak apapun dari pengaruh Jawa di Banten Girang (hal 20-21).

Mata air di Situs Cihunjuran di kaki Gunung Pulosari. Di sini penduduk setempat menyebutnya sebagai salah satu tempat petilasan kerajaan Salakanagara (Dokpri)
Mata air di Situs Cihunjuran di kaki Gunung Pulosari. Di sini penduduk setempat menyebutnya sebagai salah satu tempat petilasan kerajaan Salakanagara (Dokpri)

Candi Siwa di Pulosari Tersohor Sampai Majapahit

Lalu bagaimana dengan jejak Candi Siwa di Gunung Pulosari? Lagi-lagi ada kesamaan waktu antara pendirian Candi Siwa di Pulosari dan pendirian istana kompleks Banten Girang, yaitu pada awal abad ke-10, yang menunjukkan ada hubungan di antara keduanya (hal 18). Catatan menarik untuk disimak adalah keberadaan candi Siwa di Pulosari ini pulalah yang membuat gunung ini cukup dikenal di Kerajaan Majapahit.

Selain arca-arca bergaya Hindu, di kaki Gunung Pulosari terdapat jejak temuan berupa arca Polinesia, punden berundak dan menhir. Ketika berkunjung ke Pulosari pada April 2019 lalu, kami sempat mengunjungi beberapa di antaranya.

Melihat bentuk arca dan menhir yang sederhana, kami setuju dengan sikap skeptis Guillot dan rekan-rekannya, yang tidak percaya bahwa keberadaan benda-benda tersebut yang membuat gunung ini tersohor. Para peneliti ini kemudian mengajukan argumen bahwa tentunya ada tempat pemujaan lama yang berada di atas gunung. Namun, menemukannya sama sekali tidak mudah.

 "Kami sia-sia saja mencari bekas bangunan di atas Gunung Pulasari. Selain tempat-tempat keramat biasa, satu-satunya tempat pemujaan lama yang masih ada terdapat di Desa Sanghyang Dengdek" tulis Guillot.

Keberadaan Candi Siwa Kuno bergaya Jawa di atas Gunung Pulosari ini juga disebutkan dalam naskah Tantu Panggelaran bahwa ada sebuah gunung yang jauh dari daerah Jawa dan gunung tersebut disamakan dengan Gunung Kailasa, tempat kediaman Siwa.  Gunung Kailasa ini sekarang kita kenal sebagai Gunung Pulosari.

Namun, sepertinya 'candi' di Pulosari berbeda dengan candi yang memiliki bentuk bangunan dan arca-arca gaya Hindu sebagaimana yang ada di Jawa. Namun, hal ini akan perlu penelitian lebih lanjut.

Menurut Sunan Gunung Jati, Gunung Kaliasa atau Pulosari itu merupakan wilayah Bhramana Kandali. Hal ini disebutkan oleh Sajarah Banten XVII-4. (Guillot et al, 1996, hal 98 -- 106). Di atas gunung itu hidup delapan ratus (domas, angka "keramat" di daerah Sunda) ajar-ajar yang dipimpin oleh Pucuk Umun.

Dari segi  kesesuaian waktu, antara kedatangan Hasanudin yang merupakan putera Sunan Gunung Jati dari Cirebon ke Banten untuk meyebarkan agama Islam dan menaklukkan kerajaan Banten Girang yaitu pada awal abad ke-16, sepertinya Pucuk Umun yang dimaksud di sini adalah Raga Mulya, Raja Pajajaran.

Saat itu, Hasanudin hanya singgah sebentar di Banten Girang dan langsung menuju Gunung Pulosari. Rupanya penting bagi Hasanudin untuk 'menaklukkan secara batin' negeri yang mereka incar ini.

Sebuah tradisi yang mengakar kuat di Jawa dan tercermin dalam Serat Centhini, menyebutkan bahwa jika suatu masyarakat atau golongan rakyat berpindah agama, maka para pemimpin agama-lah yang pertama-tama memeluk agama baru, seolah-olah mereka merupakan golongan pendeta yang mantap, apapun ajaran yang dianut mereka (Guillot et al, 1996, hal 98-106).

Gua kuno yang dipercaya sebagai tempat semedi Raga Mulya di Banten Girang (Dokpri)
Gua kuno yang dipercaya sebagai tempat semedi Raga Mulya di Banten Girang (Dokpri)

Sesuai dengan tradisi ini, Hasanudin berupaya mengislamkan golongan ajar-ajar itu. Konon, Hasanudin tinggal di Pulosari selama lebih dari 10 tahun. Sajarah Banten mencatat keberhasilan Hasanudin lewat kisah kemenangan dalam adu ayam melawan para ajar.  Baru sesudah kemenangannya di bidang agama, Hasanudin berani melancarkan serangan militer atas pusat politik Banten Girang.

Nantinya di Banten Girang, kita akan mempelajari tokoh penting bernama Ki Jong dan Agus Jo yang pertama kali memeluk agama Islam dan setia pada Raja Islam pertama yaitu Hasanudin. Ki Jong merupakan punggawa penting Kerajaan Pakuan Pajajaran yang ditugaskan di Banten Girang. 

Nantinya dengan bantuan "orang dalam" di ibu kota Pakuan Pajajaran, mereka membuka jalan bagi Pasukan Banten yang menerobos masuk Parit Pakuan Pajajaran untuk menyerang ibu kota, mengakhiri kisah kerajaan Pakuan Pajajaran pada tahun 1579. Hingga saat ini, kita bisa melihat dan ziarah ke makam Ki Jong dan Agus Jo di Banten Girang.  

Kerajaan Tua Nusantara di Banten : Berawal di Laut, Berakhir di Gunung 

Tidak jelas apa yang terjadi dengan Raga Mulya setelah penaklukan tersebut. Apakah beliau terbunuh? Apa yang beliau lakukan setelah penyerangan Banten ke Pakuan Pajajaran di Bogir pada tahun 1579? Di mana beliau dipusarakan? Semoga berikutnya, ada pencerahan literatur tentang hal ini.

Namun, ada catatan yang sangat menarik untuk disimak dari penelusuran literatur ini.

Di Teluk Lada, Banten, disebutkan pernah ada sebuah kerajaan tua bernama Salakanagara. Keberadaannya masih timbul tenggelam, dan belum memiliki jejak peninggalan yang pasti. Namun, keberadaan kerajaan ini sudah pernah dikabarkan oleh utusan Cina dan para saudagar Arab yang berdagang ke India yang 'disadap' oleh ahli ilmu bumi Mesir bernama Claudius Ptolemeus dalam bukunya Geographia pada sekitar tahun 150 M.

Sedangkan, berita dari Cina pada masa Dinasti Han (sekitar tahun 132 M) menyebutkan adanya Raja Yeh-tiao yang diduga sama dengan Yawadwipa atau Yabadiu, dan nama Tiao-pien diduga sama dengan Dewawarman, yang diduga adalah Raja Salakanagara (130 -- 168 M). Perkiraan waktu Kerajaan Salakanagara ini yaitu antara 130 -- 455 Masehi.

Anehnya, baik Kerajaan Salakanagara dan Kerajaan Pakuan Pajajaran, keduanya memiliki jejak peninggalan sejarah yang masih samar-samar. Selain dua prasasti (Batutulis dan Kabantenan) dari masa Pakuan Pajajaran dan keberadaan kerajaan Salakanagara berdasarkan berita dari Cina dan Mesir, sisanya  bisa dibilang masih terselubungi misteri.

Tetapi sangat menarik untuk dicatat bahwa dua kerajaan tua di Jawa Barat ini berawal dari Teluk Lada dan berakhir di Gunung Pulosari. Berawal di laut dan berakhir di gunung. Kedua lokasi ini sekarang sama-sama masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.

Semoga akan ada penggalian dan penelitian sejarah baru untuk terus mengungkapkan dua kerajaan tua ini.  

 

Teks: Diella Dachlan

Foto: Bimo Tedjokusumo, Diella Dachlan

Tulisan terkait:

Jejak Peradaban di Lereng Pulosari - (Bag 1)

Referensi:

Guillot, C., Nurhakim, L., Wibisono, S., Adhyatman, S., franaise d'Extrme-Orient, ., & Nasional, P. P. A. (1996). Banten sebelum zaman Islam: kajian arkeologi di Banten Girang (932?-1526). Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Guillot, C. (2008). Banten-Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Kepustakaan Populer Gramedia.

Dachlan, Diella., & Tedjokusumo, Bimo. (2018). Jejak: Wisata Menelusuri Jejak Peradaban Masa Lalu di Seputar Jabodetabek. Penerbit Epigraf.

Danasasmita, S., Iskandar, Y., & Atmadibrata, E. (1984). Sejarah Jawa Barat: Rintisan Penelusuran Masa Silam. Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat, Pemerintah Propinsi Daerah Tiongkat I Jawa Barat.

Danasasmita, S. (2003), Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Kiblat Utama, Bandung

Danasasmita, S. (2014), Mencari Gerbang Pakuan. Kiblat Utama, Bandung

Danasasmita, S., Iskandar, Y., & Atmadibrata, E. (2018). Sejarah Jawa Barat: Penelusuran Masa Silam. Penerbit Padasan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun