Sanghyang Dengdek dan Sanghyang Heuleut
Bimo dan saya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan ojek. Kedua supir ojek yang kami tumpangi tidak mengetahui lokasi keberadaan arca. Namun, nama Sanghyang Dengdek membuat mereka akhirnya membawa kami ke desa terdekat dengan nama tersebut di Kecamatan Saketi. Lokasinya sekitar 6 kilometer dari Desa Cilentung ke arah Menes.
Kami melewati jalan bebatuan yang memotong hutan. Dari petunjuk warga yang kami temui, sampailah kami ke lokasi arca pertama: Sanghyang Dengdek. Tidak ada juru pelihara siang itu. Arca tersebut nyaris tidak terlihat karena terbebat kain putih yang menyelubungi.
"Buka saja kain penutupnya, tetapi nanti tolong dipasang lagi ya" kata Ibu Eli, warga yang rumahnya dekat sekali dengan lokasi arca. Arca sudah berada di bangunan bercungkup dengan keramik putih dan pagar kawat di sekelilingnya dengan tanda plang cagar budaya.
Keberadaan arca ini ternyata  sudah diketahui dari catatan  Pleyte (1913), lalu penelitian arkeologi pada tahun 1970-an, Tinggi arca ini yaitu 95 cm, dengan keliling badan 120 cm dan keliling kepala 20 cm dan terbuat dari batu andesit (Hatmadji, 2005, hal 47).  Laporan penelitian yang berjudul "Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang" (1996),  menyebutkan keberadaan arca primitif ini menyiratkan lokasi ini adalah bekas pemujaan.
Arca ini memiliki bagian kepala, lengan dan bentuk kelamin laki-laki, namun tidak begitu jelas. Bentuknya agak kasar. Arca semacam ini termasuk tipe Polinesia dan  biasanya akan menyandang nama "Dewa" yang dipuja. Untuk Sanghyang Heuleut, orang menyebutnya dengan nama  "Si bungkuk yang terpuja" karena bentuk arcanya secara alami agak membungkuk. (Guillot et al, 1996).
Pada Sabtu, 20 April 2019, kami membuka selubung arca dari balutan kain kafan putih. Hanya terlihat bagian besar seperti kepala (berupa batu bundar, tidak terlihat bekas pahatan mata, hidung dan mulut), bagian bahu yang berbentuk agak kotak. Kami tidak membuka selubung bagian bawah arca. Selubung putih ini nampaknya disematkan oleh para peziarah. Di dekat arca pun tercium wangi bekas bakaran dupa.
Ibu Eli menawarkan kami untuk melihat arca ke-dua, yaitu Sanghyang Heuleut. Sayang sekali catatan saya hilang untuk nama lokal yang disematkan warga kepada dua arca ini. Berbeda dengan Sanghyang Dengdek yang terletak di pinggir jalan, lokasi Sanghyang Heuleut terletak di tengah kebun warga. Kami harus melewati sungai kecil untuk mencapainya. Â Tidak ada cungkup pelindung dan lantai keramik di lokasi ini. Sanghyang Dengdek hanya dilindungi oleh pagar kawat keliling dan plang situs bertuliskan cagar budaya.
"Pelindung" arca masa kini adalah balutan kain kafan putih yang nyaris melindungi sekujur arca yang begitu kami buka selubungnya, ternyata sebuah menhir. Tingginya yaitu 139 cm. Belakangan, kami baru tahu kalau kedua arca ini secara geografis berada di antara dua aliran sungai, yaitu Sungai Cisirah Agung dan Sungai Cisata (Hatmadji, 2005, hal 47). Hal ini lagi-lagi masih konsisten dengan berbagai peninggalan purba di seputar Gunung Salak, yang kalau tidak berada di antara dua lembah, terletak di sisi sungai atau dua aliran sungai, seperti Prasasti Pasir Muara dan Prasasti Ciaruteun di Ciampea.
Sayang sekali karena keterbatasan waktu dan cuaca yang semakin mendung gelap, mengharuskan kami untuk segera berlalu dari lokasi menarik ini.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pandeglang pada tahun 2013 menyebutkan bahwa setidaknya adal 202 benda cagar budaya di Kabupaten Pandeglang. Benda cagar budaya tersebut termasuk 96 situs, 20 bangunan dan 86 makam keramat. Alangkah baiknya, jika dinas berwenang turut melengkapi lokasi-lokasi peninggalan sejarah budaya ini dengan informasi. Sehingga ada informasi yang akurat bagi pengunjung yang ingin tahu.