Pertama, aku ingin mewujudkan sesuatu yang mungkin akan disimpan sebagai pusaka suci oleh "si kecil Max" dan saudara perempuannya ketika orangtua mereka sudah mati kelaparan.
Dan kedua, aku akan dibaca! Ya, aku akan dibaca! Aku akan dibaca oleh para negarawan yang wajib memperhatikan tanda-tanda zaman, oleh para sastrawan yang juga harus mengintip buku yang menyatakan begitu banyak keburukan ini....." (Max Haveelar, Multatuli, hal 461-462)
Tulisan Max Havelaar/Multatuli/Douwes Dekker ini bagaikan ramalan yang segera menjadi nyata.
Tokoh emansipasi Indonesia RA Kartini (1879-1904) hingga Jose Rizal pemimpin pemberontakan revolusioner di Filipina juga termasuk ke dalam mereka yang terinspirasi oleh tulisan Mr.Dekker. Bahkan Soekarno (1901-1970) menggunakannya dalam pledoi Indonesia Menggugat (Desember, 1930). WS.Rendra menerbitkan buku puisi "Orang-Orang Rangkasbitung" (1993) di zaman yang berbeda.
Begitu kereta kembali tiba di Jakarta, saya kembali mencari Multatuli, ke toko buku dan mencari Max Havelaar. Ini akan menggenapi perkenalan hari ini dengan Tuan Dekker, lewat kisahnya yang sudah lintas abad menginspirasi. Ah, betapa masih relevannya topik tentang korupsi dan kemiskinan di negeri ini hingga hari ini.
 Tulisan: Diella Dachlan
Foto: Bimo Tedjokusumo, Diella Dachlan
 Referensi:
Multatuli, 1868, Max Havelaar, Bandung, Qanita, 2018.
Terjemahan Bahasa Inggris: Max Havelaar: Or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company terbitan Edinburgh, Edmonston & Douglas, 1868