Rumahnya sudah hancur. Tembok luarnya sudah menampakkan bata besar produksi abad sebelumnya. Bagian dalam rumah ini berplafon tinggi, dengan plafon dari masa yang lebih baru, namun juga hancur. Beberapa inkubator bayi menempati salah satu ruangan, sedikit mengingatkan pada adegan film horor dengan cahaya yang remang. Yang cukup melegakan ada tulisan "Cagar Budaya Rumah Multatuli" di rumah ini serta kabar burung bahwa pemerintah akan memugar rumah ini. Semoga.
Sisa hari itu kami berjalan kaki memutari seputaran alun-alun. Kami menemukan TK dengan tulisan "Holand Inlander School", serta rumah tua asri bergaya Belanda. Kami juga mengunjungi makam pahlawan Sirna Rata di dataran agak tinggi dengan deretan makam dan topi baja terbuat dari semen. Ada beberapa makam bertuliskan "Tak Dikenal". Kami mengirimkan doa untuk mereka semua.
Latar belakang makam ini adalah sebuah bangunan tower air bertuliskan "Water Turn (1931)" yang bentuknya melingkar dengan batu hitam dan dinding putih di bagian atasnya. Lalu kami berjalan mengitari Balong Ranca Lentah.
Seandainya bisa mengusulkan ke pemerintah daerah. Alangkah baiknya jika di seputar balong atau danau ini ada tanaman lada, kayu manis dan kopi sebagai komoditi dagang unggulan Banten dulu. Lumayan untuk membantu edukasi, apalagi relevan dengan kehadiran museum Multatuli.
Kami beristirahat di Kopi Rangkasbitung yang menyajikan kopi Arabica dan Robusta serta kopi racikan lokal cap Kupu-Kupu. Setelah itu kami menuju kembali ke pasar untuk ke toko Beromosari membeli Sate Bandeng, tumis kulit tangkil dan kikil, serta mencicipi kue khas Banten bernama jojorong yang terbuat dari tepung beras dengan gula merah cair di dalamnya dalam keranjang daun kecil. (Catatan: makannya enak pakai sendok kecil).
Sore itu hujan deras turun di Rangkasbitung. Kepayahan dengan bungkusan plastik berisi penganan, kami berlari ke Stasiun untuk mengejar kereta jam 16.10. Separuh badan basah kuyup. Hujan masih sangat deras ketika kereta kami meninggalkan stasiun, meninggalkan Rangkasbitung dengan benak masih terus memikirkan Tuan Dekker, Adipati Lebak dan Banten hari ini.
Tuan Dekker tidak pernah lagi kembali ke Lebak. Setelah kembali ke Eropa, ia meneruskan karirnya sebagai penulis hingga 17 tahun kemudian. Karyaf terkenal lainnya selain Max Havelaar adalah Ideen, kumpulan 1.300 koleksi teks panjang dan pendek dari berbagai subjek yang menjadi perdebatan publik saat itu. Eduard Douwes Dekker kemudian pindah ke Jerman dan meninggal di Kota di Kota Ingelheim pada 19 Februari 1887.
 Tuan Dekker juga pasti tidak akan pernah menyangka kalau Februari 2018, Bupati Lebak meresmikan museum dengan nama penanya. Bulan yang sama, namun 131 tahun setelah kematiannya.
 "Ya. Aku. Multatuli, "yang telah banyak menderita", aku mengambil alih pena. Aku tidak meminta maaf atas bentuk bukuku, kurasa itu bentuk yang tepat untuk mencapai tujuanku. Tujuan ganda.