Novel Max Havelaar terbit pada tahun 1860 dan segera sangat populer, membuat penulisnya menjadi sangat terkenal. Novel ini kuat dengan pesan anti-kolonialisme, menginspirasi pembacanya, termasuk tokoh-tokoh terkenal. Salah satunya adalah sastrawan Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) yang menyebutnya sebagai "Kisah yang 'membunuh' kolonialisme".
Museum Multatuli menempati bekas bangunan Kewedanan Rangkasbitung dengan luas hampir 2000 meter. Pengunjung tidak perlu membayar untuk masuk. Cukup mengisi buku tamu. Di samping museum ada perpustakaan dengan nama yang diambil dari tokoh novel Multatuli, yaitu Saidjah Adinda. Patung kedua tokoh dan penulisnya itu berada di samping museum, menjadi objek foto yang sangat instagrammable. Selain itu, ada pula pendopo tak berdinding di depan museum untuk berbagai kegiatan.
Saya pribadi menyukai konsep museum ini yang cukup rapi dan tematik. Ada tema sejarah datangnya kolonialisme ke Indonesia, Multatuli dan karyanya, sejarah Lebak dan Banten (termasuk adanya replika Prasasti Cidangiang peninggalan Kerajaan Tarumanagara), serta perkembangan Rangkasbitung kini. Ada kesan kuat bahwa ada campur tangan dingin Sejarawan di sini, karena museum lebih berasa terkonsep rapi. Tidak sekedar asal-asalan, kumuh dan sama sekali tidak mengundang untuk didatangi.
Namun berbeda dengan museumnya, perpustakaannya menurut saya mengecewakan. Saya kesulitan mencari referensi dan literatur bagus tentang Sejarah Banten yang amat kaya. Koleksi bukunya dominan dengan buku-buku agama dan buku literatur pelajaran sekolah.
Sepertinya bukan tanpa sengaja Tuan Dekker memilih nama pena "Multatuli". Bahasa Latin artinya adalah "yang telah banyak menderita", nama yang sepertinya ia pilih untuk menggambarkan berbagai kejadian dramatis yang ia alami. Meskipun bentuknya novel, Tuan Dekker pernah menantang kolega sebangsanya untuk membuktikan cela pada fakta-fakta yang ia sajikan (pada Kongres Internasional di Amsterdam, 1863).
Lewat suratnya ia juga menggugat Raja Willem III.
"Kepada Anda saya bertanya dengan kepercayaan. Apakah kerajaan Anda ingin membuat lebih dari tiga puluh juta rakyat Anda dianiaya dan dilakukan atas Nama Anda?"
Bagian ini juga menghiasi dinding museum Multatuli, nyaris dua abad setelah kematiannya. Kami membaca bundel replika tulisan Tuan Dekker itu sambil bertanya-tanya. Bagaimana bisa orang yang sedang begitu  marah dan kecewa bisa menulis dengan pilihan kata tertata dan tulisan yang tetap rapi?
Mengenal Multatuli lewat literatur, film dan kini museum membuat kami melangkah menuju ke bekas rumah Tuan Dekker. Kini sisa rumah dinas Tuan Dekker berada di dalam komplek RSUD Dr.Adjidarmo (dulu Holand Indische Reglemen, 1925)
Kabar baiknya. Meski melewati bagian UGD, nampaknya satpam dan petugas RS sudah hafal kalau orang penasaran dengan rumah Multatuli, sehingga tidak ada kesulitan untuk masuk dan melihat-lihat.