Mohon tunggu...
Diella Dachlan
Diella Dachlan Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan

When the message gets across, it can change the world

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Mencari Jejak Multatuli di Rangkasbitung

25 Juli 2018   12:49 Diperbarui: 26 Juli 2018   12:50 2053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kereta ke Rangkasbitung jam 8 nanti. Cepat antri tiket karena kami sedang ada perbaikan sistem" kata petugas di Stasiun Kebayoran Lama. Antrian hari itu (21/7/18) mengular. 

Empat petugas sibuk membantu calon penumpang di gate yang menampakkan "jeroan" kabel berwarna-warni. Belakangan kami tahu bahwa hari itu hingga tiga hari berikutnya hampir seluruh stasiun Commuterline di Jabodetabek mengalami masalah yang sama akibat perbaikan sistem.

Hanya perlu 10 menit kereta dari Stasiun Tanah Abang tiba di Stasiun Kebayoran. Kereta melewati total 18 stasiun dari Tanah Abang hingga Stasiun Rangkasbitung. Ketika tiba, kereta sudah penuh oleh wisatawan berikut ransel-ransel besarnya.

"Biasanya sih mereka mau ke Sawarna atau Baduy" bisik seorang laki-laki berumur sekitar 30-an di sebelah kami. Dari Rangkasbitung, wisatawan bisa mengambil angkutan umum ke Ciboleger dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Sedangkan ke Pantai Sawarna yang letaknya di selatan akan perlu sekitar 3-4 jam.

Stasiun Rangkasbitung dulu dan sekarang| Foto bawah: Museum Multatuli
Stasiun Rangkasbitung dulu dan sekarang| Foto bawah: Museum Multatuli
Tapi tujuan kami hari itu hanya ingin mencoba rute Jakarta-Rangkasbitung dengan biaya Rp 8.000 rupiah saja atau Rp 16.000 pulang pergi. Selain itu kita juga ingin melihat jejak Multatuli di kota ini.


Jalur kereta ini sudah tua. Pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta Batavia-Rangkasbitung pada bulan Juli 1900. Setahun setelahnya atau akhir 1901, jalur kereta malah sudah menghubungkan Rangkasbitung-Muncang dan Sajira. Kini, ke-tiga daerah tersebut adalah kecamatan di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Apakah jalur kereta di sana masih ada?

Terlambat nyaris 30 menit dari total perjalanan yang seharusnya 2 jam, kami tiba di Stasiun Rangkasbitung pada jam 10.20. Perjalanan relatif nyaman dan menyenangkan dengan pemandangan sawah (serta perumahan baru yang dibuka. Ah...).

Berkenalan dengan Multatuli

"Nama saya Eduard Douwes Dekker, sejak 1838 menjadi PNS di Hindia Timur dan udah sekitar 3 tahun memohon pengunduran diri saya. Karena saya tidak sejalan dengan cara daerah tersebut dikelola"

Satu bundel berisi replika tulisan tangan Douwes Dekker di musem Multatuli ini menjadi awal perkenalan yang baik, bagi mereka yang belum mengenal Multatuli.

Malam sebelum ke Rangkasbitung, saya sempat menonton film "Max Havelaar" (1976) di Youtube, karena belum membaca novelnya. Melihat Haveelar, saya seperti melihat Tuan Dekker sendiri. Baru belakangan saya tahu, bahwa novelnya adalah pengalaman pribadinya ketika bertugas singkat sebagai Asisten Residen di Lebak.

Eduard Douwes Dekker lahir di Amsterdam tahun 1820. Ketika berumur 36 tahun, (tepatnya pada 21 Januari 1856), ia pindah ke Lebak dan menerima jabatan sebagai Asisten Residen. Penugasan singkat, penuh drama tentang korupsi, kolonialisme dan kemiskinan itu kemudian membuat Tuan Dekker terinspirasi untuk menuangkannya dalam bentuk novel. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun