Tahun 2013. Kami menitipkan Tarum kepada kenalan warga di sana dan kalau ke Cisanti, kami menyempatkan diri untuk menengoknya. Tapi malang, kondisinya belakangan kritis, kering kerontang dan daunnya hilang dimakan ternak. Mengimpor Tarum kembali dari Yogya agak sulit.
Sekali lagi, Tuhan mengirimkan Tarum kepada kami. Kali ini lewat Pak Ruhimat, pegawai Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC). Rupanya diam-diam selama ini beliau ikut “teracuni” ide menanam Tarum kembali di Citarum.
Akibat terlalu girang, sore itu juga kami berangkat ke Cisanti. Kami menanam satu pohon Tarum di Kampung Pejaten Komplek, desa Tarumajaya, sekitar 700 meter dari mata air Pangsiraman. Sedangkan 1 pohon lagi kami tanam di dekat mata air Pangsiraman dan 2 pohon di Desa Cibeureum. Kali ini kami menitipkan pada warga yang rumahnya dekat situ dan menitipkan uang perawatan sekedarnya untuk menyiram dan membuat pagar bambu di sekeliling tanaman Tarum.
Seperti apa tanaman Tarum di hulu Citarum ini sekarang? Sejak tahun 2014, saya belum lagi berkunjung ke sana. Jika ada teman yang kebetulan sedang berwisata ke sana, boleh ya tolong titip kabar dan juga titip doa agar Sungai Citarum dapat pulih bersih dan sehat kembali.
Catatan: Ini adalah sebuah narasi lama, ketika bekerja pada sebuah lembaga donor di program Citarum terpadu yang melibatkan 6 kementerian pada periode 2009-2014. Kisah kecil sederhana yang terdorong rasa penasaran dan keinginan untuk mengembalikan Tarum di aliran Sungai Citarum.
Tulisan: Diella Dachlan
Foto: Ayu Kuke Wulandari, Ng Swan Ti, Diella Dachlan
Referensi:
Ci Tarum, Kawasan Penghasil Pewarna Alami, T.Bachtiar, 2012, Cita-Citarum
Citarum dalam Perspektif Sejarah, A.Sobana Hardjasaputra, 2007, Universitas Padjajaran