Mohon tunggu...
Diella Dachlan
Diella Dachlan Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan

When the message gets across, it can change the world

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Cipir, Onrust, Kelor: Sekali Dayung, Kisah 3 Pulau Terjejaki

1 Mei 2017   20:55 Diperbarui: 2 Mei 2017   15:37 23590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satu-satunya bata ber-cap yang kami temui hari itu (30/4/17) di jajaran makam yang diduga awak Kapal Tujuh

Pulau Onrust bikin penasaran. Ini sejak membaca kisah tentang Kartosuwiryo, pendiri DI TII dan menelusuri cerita di makam serdadu Jerman Megamendung.   Konon serdadu Jerman yang berada di Indonesia pada masa pemerintahan Nazi pernah ditahan di pulau ini. Selain itu, pulau ini juga menjadi polemik tentang keberadaan makam Kartosuwiryo yang ditembak mati pada 5 September 1962. Meski versi lain menyebutkan makamnya ada di Pulau Ubi yang kini terendam oleh laut.

Panorama Pulau Kelor dari pantai
Panorama Pulau Kelor dari pantai
Paket Perjalanan Sehari Tiga Pulau

Kabar baiknya. Kini banyak operator jasa perjalanan untuk perjalanan  sehari mengunjungi 3 pulau, yaitu Pulau Cipir, Onrust dan Kelor.  Ketiga pulau ini ditambah dengan Pulau Bidadari masuk ke dalam Taman Arkeologi Onrust yang ditetapkan tahun  1972 oleh pemerintahan Ali Sadikin, gubernur Jakarta pada masa itu. Pulau Bidadari yang identik dengan resort itu sayang tidak masuk dalam paket wisata ini.  Pulau-pulau ini berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Akhir April (30/4/17), kami bergabung dengan operator perjalanan tiga pulau. Harganya cukup bersahabat di kantong yaitu Rp 75,000/orang untuk 3 pulau itu.

Titik kumpul rombongan adalah di Muara Kamal, Penjaringan, Jakarta Utara.Hati-hati, jangan sampai tertukar dengan Muara Angke.  Untuk menuju ke sana, kami naikTrans Jakarta  dari Blok M dan turun di halte Harmoni. Lalu ganti rute dariHarmonimenuju Kali Deres dan turun di halte Rawa Buaya. Dari Rawa Buaya, kami berganti mode angkutan dengan mobil carry berpelat hitam yang melayani rute ke tempat pelelangan ikan Muara Kamal. Biayanya sekitar 10 ribu per orang.

Jam 9 tepat,  rombongan bertolak ke Pulau Cipir. Jumlah peserta sebanyak 30 orang  tampaknya memadai dengan kapasitas perahu nelayan "Rahmat" yang kami tumpangi. Setelah 30 menit menikmati angin laut dan panorama gedung-gedung tinggi Jakarta dari kejauhan dan melewati bagan-bagan ikan, kami tiba di pulau pertama yaitu Pulau Kelor.

Sisa Benteng Martello di Pulau Kelor

Seperti namanya yang mengingatkan kita pada ungkapan "dunia tak selebar daun kelor", pulau Kelor ini memang tak lebar. Kalau lari keliling pulau, belum 5 menit sudah sampai ke titik awal, saking kecilnya.

Bagian dalam sisa benteng Martello di Pulau Kelor
Bagian dalam sisa benteng Martello di Pulau Kelor
Sisa benteng Martellomenjadi daya tarik utama pulau ini. Benteng yang dibangun dari bata merah bentuknya dirancang melingkar. Ada 4 jendela dan lubang meriam di bawah masing-masing jendela. Benteng ini dibangun oleh Belanda pada tahun 1850, sebagai sistem pertahanan laut Kota Batavia atau Jakarta. Tadinya, selain di Pulau Kelor, benteng Martello ini juga ada di Pulau Bidadari dan Pulau Onrust. Tapi sekarang sudah hancur an tnggal sisa-sisanya. Jadi jejak benteng Martello yang masih tersisa lumayan utuh ya di Pulau Kelor ini. Meskipun dari keterangan, benteng dengan lebar 14 meter ini adalah yang terkecil dibanding dengan benteng di dua pulau lainnya.

Kami mengagumi ketebalan benteng Martello yang katanya dirancang untuk anti meriam ini. Ukuran batanya cukup besar yaitu 27 x 10 dengan tebal 5 cm.

Di bagian dalamnya masih ada sisa anak tangga dan ruang kecil yang sepertinya tempat persembunyian. Benteng ini fotogenik sekali. Tak heran kalau para pengunjung berlomba-lomba ber-swa foto mengabadikan setiap sudutnya. Pengunjung juga diperingatkan untuk tidak naik-naik ke atas benteng agar situs tua ini tetap terjaga.

Mencari Jejak Kartosuwiryo dan Serdadu Jerman di Onrust

Berikutnya adalah pulau yang paling ditunggu-tunggu: Pulau Onrust.  Jaraknya kurang dari 10 menit berperahu dari Pulau Kelor.  Kami akan berada di pulau ini selama 3 jam. Waktu yang amat singkat bagi kami untuk menyesap sejarah panjang selama 350 tahun pulau ini.

Kami mulai dengan mengunjungi reruntuhan karantina haji, museum arkeologi, lalu menelusuri ujung pulau untuk melihat komplek pemakaman Belanda dan berakhir di makam yang berada di ujung pulau.

Sisa bak mandi dan wc rumah karantina haji di Pulau Onrust
Sisa bak mandi dan wc rumah karantina haji di Pulau Onrust
Yang paling terkenal di komplek makam Belanda ini adalah makam Maria van de Velde (1693-1721). Ada beberapa versi cerita tentang Maria ini, tetapi rata-rata adalah versi kisah cinta yang tragis.

Makam Maria van De Velde di Pulau Onrust
Makam Maria van De Velde di Pulau Onrust
Yang menarik hari itu ketika Bimo melihat sebuah bata ber-cap di komplek pemakaman pribumi yang diduga sebagai awak kapal yang memberontak. Dari sebanyak bata yang kami temui di pulau ini, baru satu bata ini yang capnya terlihat sangat jelas.

Satu-satunya bata ber-cap yang kami temui hari itu (30/4/17) di jajaran makam yang diduga awak Kapal Tujuh
Satu-satunya bata ber-cap yang kami temui hari itu (30/4/17) di jajaran makam yang diduga awak Kapal Tujuh
Di ujung pulau terdapat makam bertuliskan "Makam Keramat". Apakah ini makam Kartisuwiryo?. Dua penjaga pulau yang kami temui menolaknya. "Makam Kartosuwiryo bukan di pulau ini. Katanya dulu pernah dipindahkan ke Pulau Ubi yang sudah tenggelam" kata penjaga pulau yang lupa saya catat namanya itu. Pulau Ubi katanya letaknya masih dekat dengan Pulau Onrust, namun tak jelas di sebelah mananya, karena sudah tertutup air sepenuhnya.

Sepertinya polemik tentang makam Kartosuwiryo akan terus berlanjut. Ah, sejarah selalu menyimpan misteri dalam narasinya.

Makam keramat yang masih misterius. Makam ini berbeda dengan makam-makam
Makam keramat yang masih misterius. Makam ini berbeda dengan makam-makam
Setelah makan siang, rombongan baru bergerak. Kami dengan senang hati kembali menyususuri pulau untuk yang kedua kali. Bersama rombongan, kami mengunjungi penjara yang gerbangnya dikunci.  Penjara ini tidak bisa diakses bebas. Kita harus didampingi oleh penjaga pulau yang memegang kuncinya.

Bekas penjara Pulau Onrust yang sudah direnovasi
Bekas penjara Pulau Onrust yang sudah direnovasi
Gambaran para tawanan di bekas penjara Pulau Onrust. Sempat bikin kaget awal melihat mereka
Gambaran para tawanan di bekas penjara Pulau Onrust. Sempat bikin kaget awal melihat mereka
Di sini kami menemukan sedikit cerita tentang serdadu Jermanyang pernah berada di Indonesia pada masa pemerintahan Adolf Hitler. Ceritanya tidak terlalu banyak. Hanya tulisan di dinding ruangan pertama dari tiga ruangan di bekas penjara tersebut.

Awak kapal Tujuh Provinsi atauDe Zeven Provincien,yang memberontak tahun 1933 juga pernah dipenjarakan di sini dan makam awaknya masih dapat kita temui di ujung pulau.

Sedikit catatan pengamatan tentang penjara ini. Ini terlepas dari rapi dan indahnya bekas penjara ini setelah direnovasi,  dan sedikit pun tidak mengurangi rasa hormat terhadap upaya yang dilakukan. Tapi saya agak kehilangan jejak "rasa penjara".  Cerita penjara memang bukan cerita yang sumringah, tapi saya rasa inilah salah satu daya tarik cerita yang dapat dikemas bagi wisatawan yang menggemari sejarah, termasuk untuk merasakan suasana yang suram.

Onrust: Pulau Kecil dengan Sejarah Besar 3.5 Abad

Di museum arkeologi, kita mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang sejarah Pulau Onrust. Termasuk melihat benda-benda dari hasil penggalian arkeologi yang dilakukan selama 10 tahun (1979-1989).

Sebagian peserta trip Tukang Jalan di Museum Arkeologi Pulau Onrust
Sebagian peserta trip Tukang Jalan di Museum Arkeologi Pulau Onrust
Catatan sejarah Pulau Onrust dimulai ketika Pangeran Jayakarta  memberi ijin VOC (tahun 1610) untuk menjadi tempat perbaikan kapal dan penyimpanan rempah-rempah. Dari catatan, benteng mulai dibangun pada tahun 1656 selama 20 tahun dengan Johan Listinghsebagai arsiteknya.

Pulau ini juga pernah menjadi sebagai pangkalan armada laut Belana (1823-1883). Inggris tercatat juga pernah menyerang pulau ini pada tahun 1800-an untuk mengambil alih perdagangan rempah-rempah.

Tahun 1883 pulau ini dan pulau-pulau di sekelilingnya pernah hancur karena imbas Gunung Krakatau yang menyebabkan gelombang besar. Pulau Onrust pun pernah menjadi pusat karantina haji (1911-1933) serta tawanan politik dan kriminal (1933-1949).

Waktu berlalu terlalu cepat.  Masih belum puas menyesapi kisah Pulau Onrust, tiba saatnya pergi ke pulau terakhir tujuan hari itu: Pulau Cipir.

Bimo penasaran dengan lubang pondasi bekas benteng Martello di Pulau Onrust
Bimo penasaran dengan lubang pondasi bekas benteng Martello di Pulau Onrust
Sisa benteng di Pulau Onrust
Sisa benteng di Pulau Onrust
Jejak Rumah Sakit di Pulau Cipir

Pulau Cipir lebih kecil dari Pulau Onrust, meskipun lebih besar daripada Pulau Kelor.Yang menarik dari pulau ini adalah sisa rumah sakit (1911-1933). Kita masih bisa melihat bekas kamar mandi, wc dan barak. Selain itu ada juga sisa bangunan stasiun cuaca (tahun 1905) dan meriam besar di dekat dermaga pulau.

Hal lain yang banyak dilakukan pengunjung di pulau ini adalah memancing dan bermain air di bagian pantai kecil yang berpasir.

Pengunjung berpose di sisa bangunan rumah sakit haji di Pulau Cipir
Pengunjung berpose di sisa bangunan rumah sakit haji di Pulau Cipir
Sisa bangunan rumah sakit di Pulau Cipir
Sisa bangunan rumah sakit di Pulau Cipir
Menjelang jam 3 sore, cuaca di ufuk Jakarta berubah menjadi gelap. Di daratan Muara Kemal sudah terlihat garis abu-abu yang menandakan hujan. Tepat jam 15.30 atau berada sekitar 1 jam di pulau ini, kami bertolak meninggalkan Pulau Cipir.

Perjalanan menapaki masa lalu selalu mempunyai kesannya tersendiri.  Hari itu kami belajar banyak tentang penggalan narasi besar sejarah Indonesia di gugusan kepulauan Seribu.  Meskipun, satu hari memang terlalu singkat untuk mempelajari sejarah panjang di pulau-pulau kecil ini.

Peserta Trip Tiga Pulau. Foto: Tukang Jalan
Peserta Trip Tiga Pulau. Foto: Tukang Jalan
Tulisan : Diella Dachlan
 Foto: Diella Dachlan, Bimo Tedjokusumo

Tulisan terkait:

Menapaki Jejak Serdadu Jerman di Megamendung

Teka-teki Makam Jerman di Megamendung (Bag. 1)

Referensi:

NII Sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia, Solahudin, 2011

Ke Pulau Kelor Lihat Benteng Martello

Taman Arkeologi Onrust, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DKI Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun