Pulau Onrust bikin penasaran. Ini sejak membaca kisah tentang Kartosuwiryo, pendiri DI TII dan menelusuri cerita di makam serdadu Jerman Megamendung. Â Konon serdadu Jerman yang berada di Indonesia pada masa pemerintahan Nazi pernah ditahan di pulau ini. Selain itu, pulau ini juga menjadi polemik tentang keberadaan makam Kartosuwiryo yang ditembak mati pada 5 September 1962. Meski versi lain menyebutkan makamnya ada di Pulau Ubi yang kini terendam oleh laut.
Kabar baiknya. Kini banyak operator jasa perjalanan untuk perjalanan  sehari mengunjungi 3 pulau, yaitu Pulau Cipir, Onrust dan Kelor.  Ketiga pulau ini ditambah dengan Pulau Bidadari masuk ke dalam Taman Arkeologi Onrust yang ditetapkan tahun  1972 oleh pemerintahan Ali Sadikin, gubernur Jakarta pada masa itu. Pulau Bidadari yang identik dengan resort itu sayang tidak masuk dalam paket wisata ini.  Pulau-pulau ini berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Akhir April (30/4/17), kami bergabung dengan operator perjalanan tiga pulau. Harganya cukup bersahabat di kantong yaitu Rp 75,000/orang untuk 3 pulau itu.
Titik kumpul rombongan adalah di Muara Kamal, Penjaringan, Jakarta Utara.Hati-hati, jangan sampai tertukar dengan Muara Angke.  Untuk menuju ke sana, kami naikTrans Jakarta  dari Blok M dan turun di halte Harmoni. Lalu ganti rute dariHarmonimenuju Kali Deres dan turun di halte Rawa Buaya. Dari Rawa Buaya, kami berganti mode angkutan dengan mobil carry berpelat hitam yang melayani rute ke tempat pelelangan ikan Muara Kamal. Biayanya sekitar 10 ribu per orang.
Jam 9 tepat,  rombongan bertolak ke Pulau Cipir. Jumlah peserta sebanyak 30 orang  tampaknya memadai dengan kapasitas perahu nelayan "Rahmat" yang kami tumpangi. Setelah 30 menit menikmati angin laut dan panorama gedung-gedung tinggi Jakarta dari kejauhan dan melewati bagan-bagan ikan, kami tiba di pulau pertama yaitu Pulau Kelor.
Sisa Benteng Martello di Pulau Kelor
Seperti namanya yang mengingatkan kita pada ungkapan "dunia tak selebar daun kelor", pulau Kelor ini memang tak lebar. Kalau lari keliling pulau, belum 5 menit sudah sampai ke titik awal, saking kecilnya.
Kami mengagumi ketebalan benteng Martello yang katanya dirancang untuk anti meriam ini. Ukuran batanya cukup besar yaitu 27 x 10 dengan tebal 5 cm.
Di bagian dalamnya masih ada sisa anak tangga dan ruang kecil yang sepertinya tempat persembunyian. Benteng ini fotogenik sekali. Tak heran kalau para pengunjung berlomba-lomba ber-swa foto mengabadikan setiap sudutnya. Pengunjung juga diperingatkan untuk tidak naik-naik ke atas benteng agar situs tua ini tetap terjaga.
Mencari Jejak Kartosuwiryo dan Serdadu Jerman di Onrust
Berikutnya adalah pulau yang paling ditunggu-tunggu: Pulau Onrust. Â Jaraknya kurang dari 10 menit berperahu dari Pulau Kelor. Â Kami akan berada di pulau ini selama 3 jam. Waktu yang amat singkat bagi kami untuk menyesap sejarah panjang selama 350 tahun pulau ini.
Kami mulai dengan mengunjungi reruntuhan karantina haji, museum arkeologi, lalu menelusuri ujung pulau untuk melihat komplek pemakaman Belanda dan berakhir di makam yang berada di ujung pulau.
Sepertinya polemik tentang makam Kartosuwiryo akan terus berlanjut. Ah, sejarah selalu menyimpan misteri dalam narasinya.
Awak kapal Tujuh Provinsi atauDe Zeven Provincien,yang memberontak tahun 1933 juga pernah dipenjarakan di sini dan makam awaknya masih dapat kita temui di ujung pulau.
Sedikit catatan pengamatan tentang penjara ini. Ini terlepas dari rapi dan indahnya bekas penjara ini setelah direnovasi, Â dan sedikit pun tidak mengurangi rasa hormat terhadap upaya yang dilakukan. Tapi saya agak kehilangan jejak "rasa penjara". Â Cerita penjara memang bukan cerita yang sumringah, tapi saya rasa inilah salah satu daya tarik cerita yang dapat dikemas bagi wisatawan yang menggemari sejarah, termasuk untuk merasakan suasana yang suram.
Onrust: Pulau Kecil dengan Sejarah Besar 3.5 Abad
Di museum arkeologi, kita mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang sejarah Pulau Onrust. Termasuk melihat benda-benda dari hasil penggalian arkeologi yang dilakukan selama 10 tahun (1979-1989).
Pulau ini juga pernah menjadi sebagai pangkalan armada laut Belana (1823-1883). Inggris tercatat juga pernah menyerang pulau ini pada tahun 1800-an untuk mengambil alih perdagangan rempah-rempah.
Tahun 1883 pulau ini dan pulau-pulau di sekelilingnya pernah hancur karena imbas Gunung Krakatau yang menyebabkan gelombang besar. Pulau Onrust pun pernah menjadi pusat karantina haji (1911-1933) serta tawanan politik dan kriminal (1933-1949).
Waktu berlalu terlalu cepat. Â Masih belum puas menyesapi kisah Pulau Onrust, tiba saatnya pergi ke pulau terakhir tujuan hari itu: Pulau Cipir.
Pulau Cipir lebih kecil dari Pulau Onrust, meskipun lebih besar daripada Pulau Kelor.Yang menarik dari pulau ini adalah sisa rumah sakit (1911-1933). Kita masih bisa melihat bekas kamar mandi, wc dan barak. Selain itu ada juga sisa bangunan stasiun cuaca (tahun 1905) dan meriam besar di dekat dermaga pulau.
Hal lain yang banyak dilakukan pengunjung di pulau ini adalah memancing dan bermain air di bagian pantai kecil yang berpasir.
Perjalanan menapaki masa lalu selalu mempunyai kesannya tersendiri. Â Hari itu kami belajar banyak tentang penggalan narasi besar sejarah Indonesia di gugusan kepulauan Seribu. Â Meskipun, satu hari memang terlalu singkat untuk mempelajari sejarah panjang di pulau-pulau kecil ini.
 Foto: Diella Dachlan, Bimo Tedjokusumo
Tulisan terkait:
Menapaki Jejak Serdadu Jerman di Megamendung
Teka-teki Makam Jerman di Megamendung (Bag. 1)
Referensi:
NII Sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia, Solahudin, 2011
Ke Pulau Kelor Lihat Benteng Martello
Taman Arkeologi Onrust, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DKI Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H