Arkeologi tidak hanya mengurusi benda-benda yang terkubur, melainkan juga berbagai jenis peninggalan dan situs-situs.
Arkeologi sering dianggap sebagai cabangan dari disiplin ilmu Sejarah. Pada batasan tertentu, hal ini dapat dianggap benar. Sejarah adalah studi tentang masa lampau, menggunakan dokumen dan temuan sebagai bukti. Sejarawan lalu merekam serta menginterpretasikan peristiwa sejak awal hingga masa kini.
Sedangkan arkeologi adalah studi tentang masa lampau menggunakan objek dan berbagai benda dari hasil penggalian sebagai sumber utama data. Hal ini memungkinkan untuk mempelajari manusia tanpa adanya bentuk tertulis, atau membutuhkan jejak bukti dari masyarakat yang mengenal literasi (literate civilization). Hampir seluruh benda dapat digunakan untuk mempelajari masa lampau: pondasi dari bangunan dapat memberi petunjuk bagaimana rumah tempat manusia dulu tinggal, sisa-sisa alat menunjukkan alat-alat apa yang digunakan pada masa lampau. Sisa-sisa tulang binatang dan tumbuhan dapat menunjukkan makanan apa yang mereka makan dulu.
Apa yang arkeologi tidak dapat tunjukkan kepada kita adalah nama orang dan apa yang telah mereka lakukan, bagaimana mereka mempengaruhi satu sama lain, apa yang mereka pikirkan dan percayai. Hal-hal ini hanya dapat diungkapkan melalui bukti-bukti sejarah.
Karenanya, arkeolog tentu saja tidak lantas berdiri sendiri. Sebagaimana berbagai disiplin ilmu lainnya, ilmu arkeologi juga “tumpang tindih” dengan ilmuwan lainnya. Misalnya, arkeolog akan perlu berkolaborasi dengan dengan ahli geologi untuk mempelajari jenis batuan. Atau berkolaborasi dengan ahli biologi yang mempelajari jenis-jenis tumbuhan dan hewan, dengan dokter yang mempelajari berbagai jenis penyakit yang diderita orang.
Tiga tipe orang yang mempraktekkan arkeologi. Mereka adalah arkeolog profesional, arkeolog amatir yang antusias dan pelajar arkeologi. Hal ini berbeda-beda di setiap negara. Ada negara yang hanya membolehkan arkeolog profesional dan tidak membolehkan dua jenis arkeolog lainnya untuk berpartisipasi dalam sebuah penggalian.
Bagaimana dengan di Indonesia? Saya belum menemukan peraturannya. Mungkin ada yang tertarik untuk membantu mencari tahu?.
Yang jelas, dengan minimnya jumlah arkeolog, saya merasa semakin perlunya arkeologi lebih dibumikan. Keberadaan individu peminat atau komunitas-komunitas yang senang menelusuri sejarah, jalan-jalan ke lokasi-lokasi peninggalan kuno adalah sebuah potensi.
Dalam kasus Situs Kumitir, informasi tentang perusakan datang dari salah satu peminat sejarah. Yang mungkin perlu dipertimbangkan para ilmuwan arkeologi ini adalah menggandeng komunitas ini atau membuat sesi-sesi edukasi wisata ke lokasi situs-situs kuno. Bahkan, lebih jauh lagi, Arkenas dapat mempertimbangkan untuk membuat kursus-kursus singkat tentang dokumentasi situs yang dapat diikuti oleh para peminat arkeologi. Sehingga arkeologi bukan lagi ilmu yang ekslusif, tidak menjanjikan secara ekonomi atau sangat berjarak dalam kehidupan sehari-hari.