Situs Pasir Kaca, makam Eyang Prenggong Jaya
Bangunan setengah permanen dengan dinding terbuat dari semen dan dinding anyaman bambu ini dalam keadaan tertutup. Bangunannya sekitar 4 x 4 meter. Â Kami coba mengintip ke dalam dari celah pintu. Gelap gulita. Samar-samar terlihat kain menutupi bangunan lain di dalamnya. Bangunan ini terletak di undakan-undakan batu yang terlihat baru. Di luar pagar batu terlihat sampah bekas pengunjung.
Batu datar sekitar 50 meter dari makam Eyang Prenggong Jaya
Yang menarik, sekitar 50 meter dari tempat ini malah terdapat batu besar datar yang terlihat seperti batuan tua yang kami temui di beberapa situs di seputaran Gunung Salak. Terdapat bekas bakaran dupa di sini dan gelas. Â Sempat terlintas dalam pikiran, seperti apakah tempat ini sebelum dibangun undak-undakan batu dan bangunan untuk meneduhi makam yang berada di dalamnya?.
Ke kiri ke Pasir Kaca dan ke kanan ke arah Curug Nangka dari menara pemancar
Setelah mengelilingi lokasi dan langit semakin mendung, menjelang tengah hari kami meninggalkan lokasi. Â Kembali di titik cabangan dekat pemancar, kami memutuskan untuk menjajal rute ke arah Curug Nangka.
Rutenya ternyata seru sekali!. Selain melewati hutan, semak-semak dan kerumunan daun yang membuat gatal, kami juga menemukan susunan batu-batuan terletak di antara lembah. Apakah itu situs? Entahlah, terlalu dini menyimpulkan.
Yang jelas, jalur turun ke Curug Nangka ini sangat menyenangkan, meskipun cukup menantang, karena melewati semak belukar. Di beberapa cabangan, kami membuat tanda untuk berjaga-jaga, jika kesasar. Di jalur ini menjelang akhir kami menemui lebih banyak monyet, pohon-pohon pinus yang disadap getahnya dan hutan bambu, hingga akhirnya kami sampai ke lokasi perkemahan. Total perjalanannya sekitar 1,5 jam dari titik percabangan terakhir, karena saya terlalu sering berhenti untuk lihat-lihat. hehehe
Kejadian paling aneh hari itu adalah kamera gawai tiba-tiba bergetar hebat ketika sedang mengambil gambar tiga ekor monyet di pohon. Hanya beberapa detik dan gambar yang dihasilkan adalah
noise alias titik-titik berwarna ungu dan merah. Ini pertama kalinya saya mengalami kejadian ini. Setelahnya selang beberapa detik, kamera normal lagi. Tidak berlama-lama dengan hal berbau klenik, kami menganggap hal ini adalah bagian dari pengalaman perjalanan.Â
Prenggong Jayadikusumah
Kami masih berpatokan pada nama yang diberikan oleh Kang Maki untuk tokoh yang dimakamkan di situs Pasir Kaca ini. Meskipun nama yang tertera di lokasi ini berbeda. Alasannya, nama ini sudah lebih dikenal oleh warga kampung budaya yang memiliki tradisi turun temurun untuk menceritakan para leluhurnya. Â Hal lain yang kami pelajari selama jalan-jalan ke situs di seputar Gunung Salak ini adalah bahwa satu tokoh bisa saja memiliki beberapa nama yang merujuk pada gelar atau gelar penghormatan.
Dari hasil penelusuran literatur, nama
Prenggong Jayadikusumah ini muncul di pantun Sunda. Pantun Sunda ini berkaitan dengan kepercayaan Sunda Kuna dan sering dijadikan medium untuk merasakan masa keemasan  sejarah dan kebudayaan masa lampau penduduk tatar Sunda (Sumardjo, 2006).
Salah satu cerita tentang Prenggong Jayadikusumah di internet adalah tentang pertentangan antara Pangeran Pajajaran dengan Parenggong Jaya, meskipun akhirnya dapat bekerjasama. Kisahnya yang tampak seperti dari sebuah pantun atau lakon pertunjukan, dikisahkan kembali di sebuah blog yang dari penuturan Ki Samid pada tahun 1971 di Cisolok Sukabumi. Â Kisahnya terlalu panjang untuk dituliskan di sini. Anda dapat membaca ceritanya di Prenggong Jaya di Kandaga Cerita Pantun.Â
Yang jelas, hari itu kami merasa sangat beruntung akhirnya bisa menyambangi situs Pasir Kaca tempat Eyang Prenggong Jaya bersemayam.Â
Lihat Travel Story Selengkapnya