Tapak kaki menjejak di batuan pinggir sungai
Gua di dekat Batu Tapak yang sering dijadikan sebagai tempat bertapa
Mata Air Tua Jalatunda dan Taman Sri BagendaKami kembali ke arah semula ketika pertama datang untuk melihat mata air kuno bernama Jalatunda. Lokasinya berada di tengah permukiman. Selain sumur tua berukuran 2 meter x 1 meter dengan kedalaman 1 meter, di lokasi tersebut terdapat susunan batu tua dengan 8 susunan batu dan 3 menhir. Dalam Bahasa Sansekerta jalaberarti “air” dan tunda artinya mulut. Menurut keterangan dari plang situs di lokasi, mata air ini kemungkinan berkaitan dengan situs keagamaan atau upacara adat.
Situs Taman Sri Bagenda. Tempat ini tidak terlalu terawat. Banyak sampah
Tak jauh dari lokasi ini, sekitar 200 meter, terdapat
Taman Sri Bagenda. Dari papan informasi, taman dengan kolam sekitar 40 meter dan lebar 9 meter ini, dulunya adalah tempat rekreasi. Di desa yang kita kenal dengan Pasir Eurih sekarang ini, dulunya diduga terdapat keraton kerajaan yang merupakan tempat tinggal salah satu istri dari Prabu
Siliwangi yang bernama Dewi Kentring Manik Mayang Sunda (Dahlan, 2009, hal 59). Apakah taman ini berhubungan dengan keberadaan beliau? Kami belum menemukan jawabannya. Di sini pun terdapat susunan batu menhir, persis di sisi kolam.
Lokasi ini tampak kotor. Di ujung kolam sampah berserakan. Di sisi lainnya terdapat bangunan plastik milik rumah tangga di sebelahnya. Rupanya digunakan sebagai tempat cuci piring. Duh, sayang sekali.
Punden Berundak Majusi
Menuju jalan kembali ke Bogor, mata kami tertumbuk pada plang “Situs Punden Berudnak Majusi”.Kami memutuskan untuk melihatnya. Kami melewati permukiman dan bertanya-tanya tentang keberadaannya. Hingga kami sampai pada sebuah pemakaman tua yang bentuknya seperti undak-undakan dengan susunan batu yang terlihat tua dan berlumut.
Memasuki kawasan Situs Majusi
Tak jauh dari tempat itu, terlihat ada dua buah batu besar. Seorang warga yang melintas mengatakan bahwa situs Majusi bukan itu, melainkan di sisi kiri yang membentuk ceruk lembah dan seluruhnya tertutup oleh semak belukar. Terdorong rasa penasaran, Bimo melompat turun dan menyibakkan semak belukar tersebut.
Mencari jejak punden berundak Majusi yang tersembunyi di balik belukar
Bimo mendapati adanya susunan batu berlumut yang mengingatkan kita pada susunan batu punden berundak di Calobak dan Cibalay. Kabar dari ibu tersebut, lokasi tempat situs ini adalah tanah milik pribadi dan pemiliknya hendak menjual. Terlepas dari kebenaran berita ini, alangkah sayangnya kalau lokasi bersejarah ini sampai terjual lalu dibangun. Tidak ada plang yang menandakan keberadaan situs di lokasi ini, kecuali plang yang berada di sisi jalan, yang memancing rasa penasaran kami untuk mendatanginya.
Susunan batu di Punden Berundak Majusi setelah belukar disibak
Bayangkan, di lokasi yang notabene masih sangat dekat dengan Kota Bogor dan Ibu Kota Jakarta, sudah terdapat puluhan mungkin ratusan situs kuno peninggalan peradaban sebelum kita. Belum di tempat lain.
Seandainya, kita memiliki lebih banyak arkeolog dan sejarahwan untuk menyibak misteri masa lalu ini dan merunutnya. Serta, yang paling penting juga adalah perhatian pemerintah, informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan masyarakat yang melestarikan berbagai peninggalan budaya ini. Tentu tak berlebihan jika kita mengatakan bahwa Indonesia tercinta adalah surga arkeologi dan sepotong surga yang jatuh ke bumi.
Teks: Diella Dachlan
Lihat Travel Story Selengkapnya