Ada berapa situs-situs tua yang berserakan di Gunung Salak?. Jika memang benar dugaan Gunung Salak adalah tempat bersemedi raja dari berbagai jaman, termasuk Kerajaan Pakuan Pajajaran yang tercatat berada dalam kurun waktu 222 tahun yaitu dari 1357-1579 dengan 9 raja yang teridentifikasi. Bukannya tidak mungkin kalau jumlah petilasan di Gunung Salak mencapai puluhan, bahkan ratusan.
Petilasan ini konon umurnya lebih tua daripada kerajaan-kerajaan tua di tatar Sunda itu sendiri. Hal ini menilik dari susunan batu-batu besar di kawasan ini yang mencirikan jaman megalitikum tua.
Perjalanan tak sengaja yang awalnya untuk mencari Arca Domas, malah membuat kami keasyikan untuk menelusuri situs-situs tua di Gunung Salak. Kali ini gilirannya untuk menjejaki Situs Calobak, atau yang juga disebut penduduk setempat sebagai Pasir Keramat.Dari berbagai informasi, situs Calobak ini termasuk ke dalam punden berundak.
(Lihat tulisan: Arca Domas dan Kompleks Situs Cibalay Gunung Salak,
Mencari Batu dan Gua Langkop di Kaki Gunung Salak)
Plang situs Calobak terletak sekitar 1,5 kilometer sebelah kiri dari perempatan Ciapus, kalau dari arah Bogor. Kalau naik angkutan umum. Bisa naik 03 jurusan Ciapus dari Bogor Trade Mall (BTM). Dari plang, kami naik ojek sekitar 3 kilometer ke rumah Mang Sain yang terletak di RT 4 Kampung Calobak, Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Ini adalah kampung terakhir sebelum jalan menuju ke situs.
Dengan Bahasa Sunda patah-patah, karena Mang Sain kurang fasih berbahasa Indonesia dan Bahasa Sunda saya tak kalah minim, kami baru tahu kalau sebutan “situs”amat asing bagi penduduk setempat. Mereka hanya mengenal lokasi-lokasi ini dengan nama Karuhun, Kabuyutan, Karamat, petilasan atau langsung merujuk pada nama-nama Karuhun (tetua) yang menjadi nama tempat tersebut.
Ada tiga situs di kawasan ini. Situs pertama disebut penduduk sebagai situs Eyang Esi. Letaknya sekitar 1,5 kilometer dari Kampung Calobak setelah menyeberangi sungai kecil berair jernih yang secara bercanda oleh Mang Sain disebut sebagai Sungai Ciapus Alit (kecil). Ini merupakan anak sungai Citiis sungai yang cukup besar yang terletak di jalan raya, yang juga disebut sebagai Sungai Ciapus Ageung (besar).
Situs ke dua adalah Eyang Tolok,terletak sekitar 15 menit berjalan kaki dari situs kedua. Dan situs terakhir yang paling besar serta yang paling atas dan paling besar adalah situs Eyang Raksa Bumi. Situs Eyang Raksa Bumi ini menurut juru pelihara, letaknya sudah separuh jalan menuju salah satu puncak Gunung Salak.
Kami memutuskan untuk mengejar ke karuhunke-tiga, sebelum cuaca bertambah mendung. Di jalan pulang nanti, baru akan benar-benar mengeksplorasi setiap karuhun. Rutenya seru dan menyenangkan. Di dekat kampung, kami melewati hamparan Poh-pohan (Pilea melastomoides).Warga Calobak sebagian besar adalah petani Poh-Pohan, tanaman yang disantap sebagai lalapan ini.
Poh-pohan hanya memerlukan waktu sebulan untuk bisa dipanen dan bisa ditanam di bawah tegakan pohon. Sesekali kami bertemu dengan para petani yang sedang memanen Poh-pohan untuk dibawa ke pasar. Harga seikat besar sekitar Rp 7000-8000 kalau di pasar.
Jalan terus menanjak dan agak licin menuju ke karuhun ke-tiga ini. Kami juga bertemu dengan beberapa ekor monyet yang berlompatan di antara ranting. Tidak ada pengunjung lain hari itu ke Calobak, sehingga selain langkah kaki, irama nafas dan sesekali obrolan dalam Bahasa Sunda yang patah-patah, kami menikmati orkestra hutan dari paduan suara berbagai serangga dan gemerisik daun-daun yang tertiup angin.
Jam 10 pagi, 1 jam lebih cepat dari perkiraan. Sambil mengatur nafas, kami terpana menyaksikan susunan batu-batu yang membentuk punden berundak. Hari itu dua buah bendera merah putih tertancap di susunan batu yang secara keseluruhan bernuansa hijau lumut karena memang tertutup lumut. Ah, apa yang terjadi di tempat ini sebelum Indonesia kita terbentuk?.
Setelah berdoa dan bersyukur atas kelancaran perjalanan hari ini, kami mulai menjelajahi kawasan. Bimo membawa alat pengukur. Tak lama kemudian Bimo dan Mang Sain tampak asik mengukur berbagai objek yang mereka temukan. Yang paling menarik adalah lokasi ini terletak di antara dua jurang tinggi di sisi kanan dan kirinya.
Kami diijinkan menyingkapkan kain kafan yang menyelubungi batu untuk melihat susunan batu di bawahnya. Dengan mengucapkan berbagai doa dan agak merinding-merinding gimana gitu, kami menyingkap kain kafan tersebut. Di bawah kain terlihat “nisan”, yang terdiri dari susunan batu-batu yang terlihat seperti menhir, memanjang 1,5 meter dengan tinggi 85 cm.
Ada sebuah saung terbuat dari kayu pohon Menyan di situ. Atapnya yang terbuat dari fiber mulai kelihatan rusak. Di dalamnya terdapat satu bilik yang berisi peralatan makan. Tidak ada air disini, sehingga Mang Sain berinisiatif membuatkan drum air untuk menampung air hujan.
Kami berada di tempat ini hingga tengah hari. Setelahnya turun, karena awan gelap mulai membuat tempat ini menjadi lebih gelap.
Punden berundak yang biasanya di Jawa Barat membentuk lima tingkat, di ketiga situs di Calobak ini tidak terlalu jelas perbedaan tingkatnya. Mungkin karena tanahnya mulai longsor dan susunan batuannya terlepas. Atau teori lain, jangan-jangan masih ada batas undakan yang terkubur di bawah tanah. Setelah asyik mengukur di situs Eyang Raksa Bumi,Mang Sain berinisiatif meminta Bimo mengukur di dua situs lainnya. Tampaknya ia senang sekali memiliki data baru dimana ia pun ikut terlibat.
Di situs Eyang Tolok, misalnya. Luas area panjang 2.65 meter dan lebar 2.10 meter ini sama sekali tidak jelas batas antara tingkatan dan sekilas tampak langsung membentuk bukit kecil. Susunan “nisan”nya adalah 10 menhir yang berjajar di “puncak” punden dan ditutupi kain berwarna hitam, yang tidak kami pahami artinya.
Nama Calobak
Dulu di Kampung Calobak tidak ada air, sehingga warga mengambil air dari mata air kampung tetangganya yang bernama Bobojong untuk kemudian mengalirkannya ke kampung. Kata Mang Sain, nama Calobak menurut kakek dan tetua di kampungnya berasal dari bahasa Sunda Calubek, yang menggambarkan airnya sedikit dan berasal dari sumber air yang berbentuk liang.
Terutama situs ke-tiga yang seringkali kotor oleh sisa sampah pengunjung yang malas membawa turun sampahnya. Selain itu tidak ada fasilitas kamar mandi. Selepas kampung, maka pilihan untuk pengunjung situs adalah menahan “hajat” atau buang hajat di hutan.
Sayang sekali, tempat seunik Calobak dengan ketiga situs kunonya dari peradaban karuhun kita di masa lampau, belum terkelola dengan baik, malah cenderung terbengkalai. Ironinya: justru di saat peradaban masyarakat sudah modern. Duh!.
Foto: Diella Dachlan, Bimo Tedjokusumo
Referensi:
Menguak Warisan Peradaban Megalitik Gunung Salak , Ahmad Fahir, 2016
Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi, Saleh Danasasmita, 2003, Kiblat Buku Utama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H