Ada sebuah saung terbuat dari kayu pohon Menyan di situ. Atapnya yang terbuat dari fiber mulai kelihatan rusak. Di dalamnya terdapat satu bilik yang berisi peralatan makan. Tidak ada air disini, sehingga Mang Sain berinisiatif membuatkan drum air untuk menampung air hujan.
Kami berada di tempat ini hingga tengah hari. Setelahnya turun, karena awan gelap mulai membuat tempat ini menjadi lebih gelap.
Punden berundak yang biasanya di Jawa Barat membentuk lima tingkat, di ketiga situs di Calobak ini tidak terlalu jelas perbedaan tingkatnya. Mungkin karena tanahnya mulai longsor dan susunan batuannya terlepas. Atau teori lain, jangan-jangan masih ada batas undakan yang terkubur di bawah tanah. Setelah asyik mengukur di situs Eyang Raksa Bumi,Mang Sain berinisiatif meminta Bimo mengukur di dua situs lainnya. Tampaknya ia senang sekali memiliki data baru dimana ia pun ikut terlibat.
Di situs Eyang Tolok, misalnya. Luas area panjang 2.65 meter dan lebar 2.10 meter ini sama sekali tidak jelas batas antara tingkatan dan sekilas tampak langsung membentuk bukit kecil. Susunan “nisan”nya adalah 10 menhir yang berjajar di “puncak” punden dan ditutupi kain berwarna hitam, yang tidak kami pahami artinya.
Nama Calobak
Dulu di Kampung Calobak tidak ada air, sehingga warga mengambil air dari mata air kampung tetangganya yang bernama Bobojong untuk kemudian mengalirkannya ke kampung. Kata Mang Sain, nama Calobak menurut kakek dan tetua di kampungnya berasal dari bahasa Sunda Calubek, yang menggambarkan airnya sedikit dan berasal dari sumber air yang berbentuk liang.
Terutama situs ke-tiga yang seringkali kotor oleh sisa sampah pengunjung yang malas membawa turun sampahnya. Selain itu tidak ada fasilitas kamar mandi. Selepas kampung, maka pilihan untuk pengunjung situs adalah menahan “hajat” atau buang hajat di hutan.
Sayang sekali, tempat seunik Calobak dengan ketiga situs kunonya dari peradaban karuhun kita di masa lampau, belum terkelola dengan baik, malah cenderung terbengkalai. Ironinya: justru di saat peradaban masyarakat sudah modern. Duh!.
Foto: Diella Dachlan, Bimo Tedjokusumo