Mohon tunggu...
Diella Dachlan
Diella Dachlan Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan

When the message gets across, it can change the world

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Calobak: 3 Situs Tua di Punggungan Gunung Salak

28 Maret 2017   21:31 Diperbarui: 30 Maret 2017   15:00 6372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situs Eyang Tolok yang merupakan situs ke-dua di Calobak

Kami memutuskan untuk mengejar ke karuhunke-tiga, sebelum cuaca bertambah mendung. Di jalan pulang nanti, baru akan benar-benar mengeksplorasi setiap karuhun. Rutenya seru dan menyenangkan. Di dekat kampung, kami melewati hamparan Poh-pohan (Pilea melastomoides).Warga Calobak sebagian besar adalah petani  Poh-Pohan, tanaman yang disantap sebagai lalapan ini.  

Poh-pohan hanya memerlukan waktu sebulan untuk bisa dipanen dan bisa ditanam di bawah tegakan pohon.  Sesekali kami bertemu dengan para petani yang sedang memanen Poh-pohan untuk dibawa ke pasar. Harga seikat besar sekitar Rp 7000-8000 kalau di pasar.  

Terpesona Rasamala
Terpesona Rasamala
Saya paling senang ketika bertemu dengan Pohon Rasamala (Altingia excelsa Noronha). Pohon ini begitu tinggi dan diameternya melebihi satu pelukan tangan saya. Pohon Rasamala yang kami temui ini umurnya mungkin lebih dari lima puluh tahun. Semakin tua ia semakin kokoh (dan semakin mahal, tentunya). Saya masih sering tertukar antara Rasamala dengan pohon kayu lainnya seperti puspa (Schima wallichii) dan kayu afrika (Maesopsis eminii) yang juga dapat ditemui di sepanjang jalan.

Jalan terus menanjak dan agak licin menuju ke karuhun ke-tiga ini. Kami juga bertemu dengan beberapa ekor monyet yang berlompatan di antara ranting. Tidak ada pengunjung lain hari itu ke Calobak, sehingga selain langkah kaki, irama nafas dan sesekali obrolan dalam Bahasa Sunda yang patah-patah, kami menikmati orkestra hutan dari paduan suara berbagai serangga dan gemerisik daun-daun yang tertiup angin. 

Selain plang bertuliskan Situs Calobak dan peraturan, tidak ada informasi apapun tentang situs ini
Selain plang bertuliskan Situs Calobak dan peraturan, tidak ada informasi apapun tentang situs ini
Menyingkap Kafan di Eyang Raksa Bumi

Jam 10 pagi, 1 jam lebih cepat dari perkiraan. Sambil mengatur nafas, kami terpana menyaksikan susunan batu-batu yang membentuk punden berundak. Hari itu dua buah bendera merah putih tertancap di susunan batu yang secara keseluruhan bernuansa hijau lumut karena memang tertutup lumut. Ah, apa yang terjadi di tempat ini sebelum Indonesia kita terbentuk?.

Setelah berdoa dan bersyukur atas kelancaran perjalanan hari ini, kami mulai menjelajahi kawasan. Bimo membawa alat pengukur. Tak lama kemudian Bimo dan Mang Sain tampak asik mengukur berbagai objek yang mereka temukan. Yang paling menarik adalah lokasi ini terletak di antara dua jurang tinggi di sisi kanan dan kirinya.

Situs ke-tiga yang berada paling atas dan paling jauh di Calobak
Situs ke-tiga yang berada paling atas dan paling jauh di Calobak
Luas kawasan punden berundak ini setidaknya mencapai 210 meter, dengan panjang 15 meter x 14 meter. Menurut Mang Sain, ini adalah dataran “terakhir”. Setelahnya, jalan akan menyempit dan menyusuri sisi-sisi jurang untuk mencapai ke Puncak Salak (siapa yang tertarik menguji keterangan ini?).

Situs ke-tiga di kanan kirinya terdapat jurang yang cukup tinggi
Situs ke-tiga di kanan kirinya terdapat jurang yang cukup tinggi
Di undakan pertama adalah susunan batu-batu pipih berukuran sekitar 40 cm x 30 cm dan di bagian ujung adalah susunan batu yang ditutupi oleh kain kafan putih yang bernoda lumut. Undakan pertama ini yang biasanya dijadikan tempat berdoa bagi pengunjung dengan menghadap ke susunan batu bertutupkan kafan.

Kami diijinkan menyingkapkan kain kafan yang menyelubungi batu untuk melihat susunan batu di bawahnya. Dengan mengucapkan berbagai doa dan agak merinding-merinding gimana gitu, kami menyingkap kain kafan tersebut. Di bawah kain terlihat “nisan”, yang terdiri dari susunan batu-batu yang terlihat seperti menhir, memanjang 1,5 meter dengan tinggi 85 cm.

Anehnya, setiap duduk di kawasan berdoa ini kami bertiga mengalami kantuk. Sehingga kalau mulai mengantuk, kami langsung berpindah tempat.  Kami juga melongok “puncak bukit”. Kali ini tidak berani meminta kain penutup batunya dibuka. Tetapi di “puncak”, kami menemukan foto dan kertas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun