Kami memutuskan untuk mengejar ke karuhunke-tiga, sebelum cuaca bertambah mendung. Di jalan pulang nanti, baru akan benar-benar mengeksplorasi setiap karuhun. Rutenya seru dan menyenangkan. Di dekat kampung, kami melewati hamparan Poh-pohan (Pilea melastomoides).Warga Calobak sebagian besar adalah petani Poh-Pohan, tanaman yang disantap sebagai lalapan ini.
Poh-pohan hanya memerlukan waktu sebulan untuk bisa dipanen dan bisa ditanam di bawah tegakan pohon. Sesekali kami bertemu dengan para petani yang sedang memanen Poh-pohan untuk dibawa ke pasar. Harga seikat besar sekitar Rp 7000-8000 kalau di pasar.
Jalan terus menanjak dan agak licin menuju ke karuhun ke-tiga ini. Kami juga bertemu dengan beberapa ekor monyet yang berlompatan di antara ranting. Tidak ada pengunjung lain hari itu ke Calobak, sehingga selain langkah kaki, irama nafas dan sesekali obrolan dalam Bahasa Sunda yang patah-patah, kami menikmati orkestra hutan dari paduan suara berbagai serangga dan gemerisik daun-daun yang tertiup angin.
Jam 10 pagi, 1 jam lebih cepat dari perkiraan. Sambil mengatur nafas, kami terpana menyaksikan susunan batu-batu yang membentuk punden berundak. Hari itu dua buah bendera merah putih tertancap di susunan batu yang secara keseluruhan bernuansa hijau lumut karena memang tertutup lumut. Ah, apa yang terjadi di tempat ini sebelum Indonesia kita terbentuk?.
Setelah berdoa dan bersyukur atas kelancaran perjalanan hari ini, kami mulai menjelajahi kawasan. Bimo membawa alat pengukur. Tak lama kemudian Bimo dan Mang Sain tampak asik mengukur berbagai objek yang mereka temukan. Yang paling menarik adalah lokasi ini terletak di antara dua jurang tinggi di sisi kanan dan kirinya.
Kami diijinkan menyingkapkan kain kafan yang menyelubungi batu untuk melihat susunan batu di bawahnya. Dengan mengucapkan berbagai doa dan agak merinding-merinding gimana gitu, kami menyingkap kain kafan tersebut. Di bawah kain terlihat “nisan”, yang terdiri dari susunan batu-batu yang terlihat seperti menhir, memanjang 1,5 meter dengan tinggi 85 cm.