Setelah puas menikmati batu, kami memutuskan untuk menengok Batu Aseupan. Oya, kalau ke sini jangan iseng duduk-duduk di bentukan kursi batu untuk eksis di sosial media ya. Soalnya, keberadaan situs ini masih dalam tanda tanya besar, alias belum selesai penelitiannya.
Dari kampung pertama, jarak ke Batu Aseupan paling jauh sekitar 500 meter melewati jembatan yang baru dibangun di tahun 2014 di atas sungai kecil berair jernih. Dari jembatan, jalan mulai menanjak menyajikan pemandangan indah di belakang punggung.
Batu Aseupan saat kunjungan sudah berada di lahan yang sudah dirapikan dan dibuatkan taman, saung serta empang dengan air mancur. Di bagian atasnya lancip dan membentuk segitiga, mengingatkan kita dengan bentukan piramida. Persis di dekat puncak batu terdapat gambar mata. Jelas gambar ini adalah hasil karya murahan pengunjung yang sangat tidak kreatif.
Di bagian belakang batu yang ternyata di sisi aliran air, ternyata tinggi juga. Sekitar 4 meter. Sekilas mengingatkan kita pada kata-kata “batu segede rumah”. Kali ini batu tersebut muncul di hadapan. Kalau diperhatikan, bagian belakang batu ini tampak juga seperti bangku kursi dan sandarannya. Meskipun tidak sedatar “bangku kursi” di Batu Kursi.
Menurut Bapak yang menjaga tanah milik pribadi persis di depan situs tersebut, batu ini mulai dibersihkan secara serius sekitar tahun 2013. Lalu tanahnya dibeli oleh sebuah perusahaan dan dihibahkan menjadi kawasan situs.
Gua Langkop atau Lengkob?
Setelah menyelesaikan tanjakan satu bukit, menyusuri jalan setapak yang menuju ke jalan raya, kami menemui simpangan. Ada tulisan “Situs Gua Langkop” dari papan triplek yang sudah terbelah seperti puzzle. Dari situ kami meneruskan jalan kaki menuju situs. Ternyata memang tanjakannya cukup maut, saudara-saudara!. Mungkin cukup licin juga untuk motor (pantes ojek mahal).
Setelah menitipkan cucunya, Mang Jaja memandu langkah kami menuju situs. Lokasinya mulai gelap karena berada di bawah kanopi pohon-pohon. Ada sebuah batu besar dengan celah seperti terbelah di sisi pinggirnya. Celahnya muat untuk tubuh satu orang dalam posisi miring. Kata Mang Jaja, batu tersebut disebut sebagai “Batu Adzan”. Meskipun dari bahan batuan tersebut, kami sangat melihat kemiripan dengan batu yang berada di komplek situs Cibalay (Lihat: Arca Domas dan 6 Situs di Kompleks Cibalay Kaki Gunung Salak).