Mohon tunggu...
Diella Dachlan
Diella Dachlan Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan

When the message gets across, it can change the world

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mencari Batu dan Gua Langkop di Kaki Gunung Salak

22 Maret 2017   15:22 Diperbarui: 23 Maret 2017   02:00 4755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situ Batu Aseupan di Desa Sukaharja (Foto: Diella Dachlan)

Setelah puas menikmati batu, kami memutuskan untuk menengok Batu Aseupan. Oya, kalau ke sini jangan iseng duduk-duduk di bentukan kursi batu untuk  eksis di sosial media ya. Soalnya, keberadaan situs ini masih dalam tanda tanya besar, alias belum selesai penelitiannya.

Dari kampung pertama, jarak ke Batu Aseupan paling jauh sekitar 500 meter melewati jembatan yang baru dibangun di tahun 2014 di atas sungai kecil berair jernih. Dari jembatan, jalan mulai menanjak menyajikan pemandangan indah di belakang punggung.

Batu Aseupan saat kunjungan sudah berada di lahan yang sudah dirapikan dan dibuatkan taman, saung serta empang dengan air mancur.  Di bagian atasnya lancip dan membentuk segitiga, mengingatkan kita dengan bentukan piramida.  Persis di dekat puncak batu terdapat gambar mata. Jelas gambar ini adalah hasil karya murahan pengunjung yang sangat tidak kreatif.

Di bagian belakang batu yang ternyata di sisi aliran air, ternyata tinggi juga. Sekitar 4 meter. Sekilas mengingatkan kita pada kata-kata “batu segede rumah”. Kali ini batu tersebut muncul di hadapan. Kalau diperhatikan, bagian belakang batu ini tampak juga seperti bangku kursi dan sandarannya. Meskipun tidak sedatar “bangku kursi” di Batu Kursi.

Menurut Bapak yang menjaga tanah milik pribadi persis di depan situs tersebut, batu ini mulai dibersihkan secara serius sekitar tahun 2013. Lalu tanahnya dibeli oleh sebuah perusahaan dan dihibahkan menjadi kawasan situs.

Pemandangan dari Batu Kursi menuju Batu Aseupan. Foto: Diella Dachlan
Pemandangan dari Batu Kursi menuju Batu Aseupan. Foto: Diella Dachlan
Setelah puas foto-foto dan melihat-lihat kawasan, kami bersiap meninggalkan lokasi. Tidak disangka-sangka, Bapak tersebut menawarkan kami potong jalan ke Gua Langkop melalui tanah pribadi. Tanah pribadi yang luasnya lebih dari satu hektar ini menempati lahan lereng tebing. Hebatnya, pemiliknya tidak membangun villa. Hanya tangga dari perkerasan beton dan taman dengan tanaman-tanaman perdu di undak-undakan tebing. Menurut sang Bapak, jalan kaki ke Gua Langkop dari sini paling sekitar 15 – 30 menit, meski harus menanjak.

Foto: Diella Dachlan
Foto: Diella Dachlan
Di tengah perjalanan masih di kawasan tanah pribadi tersebut, kami bertemu dengan susunan batuan pipih yang tak jauh dari mata air. Sayang sekali, keilmuan kami yang terbatas, tidak bisa menjustifikasi berapa umur batu tersebut dan apakah susunan batu tersebut masih dalam kerangkan peninggalan budaya masa lalu?. (kata sang Bapak, dari sejak tanah itu dibeli, susunan batunya sudah seperti ini)

Gua Langkop atau Lengkob?

Setelah menyelesaikan tanjakan satu bukit, menyusuri jalan setapak yang menuju ke jalan raya, kami menemui simpangan. Ada tulisan “Situs Gua Langkop” dari papan triplek yang sudah terbelah seperti puzzle. Dari situ kami meneruskan jalan kaki menuju situs. Ternyata memang tanjakannya cukup maut, saudara-saudara!.  Mungkin cukup licin juga untuk motor (pantes ojek mahal).

Foto: Diella Dachlan
Foto: Diella Dachlan
Lokasi gua ini masih berada di Desa Sukaharja, tepatnya di Kampung Tapos.  Kami ingin menemui Abah atau Mang Jaja, yang disebut-sebut sebagai juru pelihara lokasi tersebut. Beruntung, kami malah amprokan dengan beliau yang sedang menarik sepeda cucunya. Lantas, kami mengikuti beliau untuk ke rumahnya yang terletak paling ujung jalan kampung, sebelum jalan berubah menjadi jalan tanah dan menanjak untuk mencapai situs.

Setelah menitipkan cucunya, Mang Jaja memandu langkah kami menuju situs. Lokasinya mulai gelap karena berada di bawah kanopi pohon-pohon. Ada sebuah batu besar dengan celah seperti terbelah di sisi pinggirnya. Celahnya muat untuk tubuh satu orang dalam posisi miring. Kata Mang Jaja, batu tersebut disebut sebagai “Batu Adzan”. Meskipun dari bahan batuan tersebut, kami sangat melihat kemiripan dengan batu yang berada di komplek situs Cibalay (Lihat: Arca Domas dan 6 Situs di Kompleks Cibalay Kaki Gunung Salak).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun