Teka-teki “Arca Domas”-lah yang mendorong kami untuk datang ke kompleks Situs Cibalay di kaki Gunung Salak, Bogor. Di tulisan sebelumnya (Lihat tulisan: Teka-Teki Makam Jerman), disebutkan ada tiga kawasan bernama Arca Domas. Selain ada di kawasan Situs Makam Jerman diDesa Sukaresmi, Bogor, Baduy Dalam, Banten dan di Situs Cibalay, Bogor.
Situs Cibalay sendiri adalah sebuah kompleks situs yang berada di Desa Tapos 1, Kec.Tenjolaya, Kabupaten Bogor, atau sekitar 40 menit hingga 1 jam berkendara dari Bogor Trade Mall.
Akhir pekan di awal Maret 2017, kami memutuskan untuk mengunjunginya. Kami menggunakan kereta, dari stasiun Bogor kami mengambil angkot no 05 jurusan Ciomas dan di pertigaan turun untuk menyambung angkot no 14 dan turun di Pancasan. Dari Pancasan, kami berganti angkot no 03 jurusan Ciapus. Karena angkot tersebut tidak berhenti di terminal Faten dan hanya sampai Pertigaan Ciapus, maka kami memutuskan untuk mencarternya hingga ke Cibalay.
Jika Anda naik kendaraan umum, dua rute yang bisa ditempuh adalah naik 03 jurusan Ciapus-Terminal Faten dari Bogor Trademall. Atau naik 02 dan 03 dari Jembatan Merah ke Terminal Bubulak Dermaga, lalu berganti angkot yang menuju ke Terminal Faten. Tapi rute ini agak jarang angkot dan kalau Anda mengambil rute ini, angkot kembali dari Terminal Faten ke Bubulak hanya sampai jam 2 siang. Dari terminal Faten, bisa sambung dengan naik ojek untuk mencapai kawasan. Patokannya adalah 1 kilometer sebelum (dari Tenjolaya) /sesudah (dari Bogor) Curug Luhur.
Motor bisa lewat, tetapi jalurnya terlihat licin kalau habis hujan. Pemandangannya cantik sekali, kalau Gunung Salak yang menjulang menjadi latar belakang jalur ini terlihat jelas.
Di kompleks Situs CIbalay ini, setidaknya ada sekitar 7 situs yang kami temui. Kecuali Situs Endong Kasang dan Pasir Manggis, karena hari keburu hujan. Ke-tujuh situs tersebut adalah situs Endong Kasang (paling dekat permukiman), situs Balekambang (sebelum gapura), situs Arca Domas (ini yang paling besar), situs Jamipaciing (nama orang), situs Batu Gores, situs Pasir Manggis (paling jauh) dan situs Cipangantehan (700m dari saung arca Domas).
Situs Balekambang adalah situs pertama yang kami datangi setelah berjalan sekitar 1 kilometer dari titik parkir kendaraan.Situs ini menempati area terbuka sebelum gapura masuk yang bertuliskan Situ Cibalay yang menuju anak tangga. Batuan di sini besar dan pipih. Setidaknya ada tiga batu pipih besar yang diletakkan dalam posisi berdiri. Agak sulit menemukan referensi tentang Situs Balekambang ini. Apakah batuan ini sisa reruntuhan dari punden berundak? Di internet, literaturnya tidak banyak yang memberikan pencerahan.
Di mana masa itu masyarakat digambarkan sudah mampu menanam padi, berternak dan membuat keramik. Bangunan Megaltik Tua terdiri dari menhir, dolmen yang tidak digunakan untuk penguburan, kursi batu, teras batu, punden berundak, tangga batu dan arca megalitik sederhana.
Sedangkan, Megalitik Muda berkembang pada Masa Perunggu-Besi, sekitar milenial pertama Sebelum Masehi. Bangunan Megalitik Muda terdiri dari peti kubur batu, dolmen yang digunakan sebagai kuburan, sarkofagus dan bejana batu. (Mulia, 1981, Soejono, 1993, Prasetyo dan Yuniawati, 2004 di Sudirman, 2008).
Jika diduga situs megalitikum di kawasan Cibalay ini berasal dari tahun 2000-3000 SM. Dari penjelasan dan definisi tentang pembagian megalitikum ini, apakah kita bisa mengatakan bahwa situs megalitikum di kawasan ini berasal dari zaman Megalitikum Tua?. Dugaan ini menguat, karena dari situs-situs yang kami kunjungi hari itu, tidak terdapat kuburan yang berarti ada tulang belulang manusia di bawahnya. Atau karena memang belum digali?.
Berikutnya, kami beranjak ke Arca Domas. Situs ini-lah alasan kami kemari.Dari keterangan di papan informasi situs Arca Domas, situs ini ditemukan oleh NJ Krom tahun 1914. Meskipun literatur lain, menyebutkan bahwa keberadaan situs ini sudah dilaporkan oleh De Wilde (1830), kemudian Junghuhn (1844) dan Muller (1856). Luas kawasan ini mencapai 25 hektar.
Bentuknya adalah punden berundak lima tingkat dan menempati kawasan sekitar 2,500 meter. Punden berundak merupakan struktur undak-undakan tanah bertingkat yang tebingnya diperkuat oleh batu kali umumnya berbentuk persegi panjang. Strukturnya mengingatkan kita pada situs megalitikum Gunung Padang di Cianjur.
Situs megalitik ini berkaitan erat dengan pemujaan arwah nenek moyang. Pembangunan bangunan megalitik ini berdasarkan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan mati. Ada kemungkinan punden berundak di lokasi ini berasal dari fase terakhir kerajaan Sunda Kuna yang pada masa itu walaupun sudah mengenal agama Hindu-Buddha, lebih menyukai Sang Hyang yang berasal dari kepercayaan Sunda Kuna. Bangunan megalitik umumnya menghadap ke gunung atau tempat tertinggi, hal ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa roh leluhur bersemayam di tempat tinggi.
Dari keterangan Kang Deni, juru rawat yang bertugas dari tahun 2005 dan menghabiskan masa kecilnya di situs ini ketika kakeknya bertugas, sejak tahun 1970-an pun lokasi ini sudah dikenal dengan nama Arca Domas. Meskipun, di kawasan ini belum pernah ditemukan arca (setidaknya sampai saat ini). Hal ini berbeda dengan Arca Domas yang berada di komplek situs Makam Jerman. Foto arca di Arca Domas di daerah tersebut diabadikan tahun 1863 oleh Isidore van Kinsbergen, fotografer Belanda yang bekerja untuk Batavian Society.
Akhirnya kami memutuskan untuk mengendapkan teka-teki ini hingga menemukan literatur terpercaya yang lebih dapat mencerahkan untuk dibagi.
Situs Arca Domas ini dipagari dengan pagar kawat. Di sekelilingnya tumbuh sejenis lumut hijau tebal yang memberikan kesan kuno dan misterius. Bentuk batuannya pun beranekaragam. Rata-rata berbentuk pipih dan berukuran besar.
Situs Arca Domas ini adalah salah satu yang paling sering digunakan untuk lokasi petilasan bagi mereka yang mempercayainya. Ada rombongan yang datang untuk tujuan berziarah, berdoa atau sekedar bertapa dan membakar dupa.
Bukan hanya Arca Domas, kawasan lain yang menjadi favorit untuk petilasan dan pertapaan adalah Situs Jamipaciing yang namanya konon diambil dari nama orang. Ada aliran sungai kecil dan pohon cempaka di kawasan ini, selain dupa dan kemenyan serta sesajen yang bertebaran. Selain itu pengunjung juga bertapa di Situs Cipangantehan. Cipangentehan ini juga menarik. Menurut Kang Deni, namanya diambil dari tanaman “teh” yang hanya tersisa kurang dari lima pohon di lokasi tersebut.
Ada dugaan bahwa di seputar kawasan ini adalah pemukiman manusia jaman dahulu kala. Mereka bermukim di gua-gua di seputar Gunung Salak. Gua-gua ini tersembunyi, entah karena tertutup longsoran atau belukar atau mungkin tertutup ketika Gunung Salak meletus pada Januari 1699.
Misalnya Gua Macan. Menurut Kang Deni karena petapa di dekat gua ini mengaku bertemu macan dalam petilasannya, sehingga sejak saat itu gua ini disebut sebagai Gua Macan. Menuju ke gua ini agak sulit dan harus ditemani juru kunci. Lokasinya berada di tebing dan merupakan jalur longsor. Pintu masuk gua pun tertutup oleh batu-batu besar, sehingga sulit untuk masuk ke dalamnya dan tidak direkomendasikan, karena berbahaya.
Berbeda dengan Situs Batu Bergores. Meski letaknya agak tinggi, jalurnya sudah dibuatkan tangga tanah yang ditahan oleh batang bamboo. Jadi relatif aman untuk mengunjungi lokasi ini. Hal menarik lainnya adalah situs kebun kopi. Meski namanya situs, tidak ditemukan sisa reruntuhan atau batu di sini, tetapi pohon kopi. Pohon kopi ini menurut Kang Deni, sudah ada sejak jaman Belanda. Panennya setahun sekali, diambil dan dijual entah kemana.
Jejak perkembangan pemukiman di Gunung Salak pada era Belanda dari literature adalah penugasan Letnan Tanoejiwa dari tanah Sunda oleh VOC pada tahun 1687 untuk mengembangkan kawasan perkebunan dan permukiman di Gunung Salak, sebelum Gunung Salak meletus pada tahun 1699.
Kang Deni menghabiskan masa kecilnya di situs ini ketika kakeknya bertugas, meski bertugas secara resmi pada tahun 2005. Dalam kurun waktu 12 tahun ini ia kerap kali menemukan jejak situs ketika sedang membersihkan kawasan. Temuannya itu ia laporkan ke kantornya yaitu Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang (BPCB) yang berlokasi di Serang, Banten. BPC ini adalah unit teknis dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Wilayah kerjanya meliputi Provinsi Jawa Barat, Provinsi DKI Jakarta, dan Provinsi Lampung.
Satu hal yang pasti, Indonesia sepertinya kurang tenaga arkeologi dan jurnal ilmiah untuk berbagai penemuan arkeologi yang begitu kaya tersebar di nusantara. Publikasi ilmiah serta liputan media mendalam dengan bahasa popular berdasarkan fakta ini yang kita harapkan dapat membantu mengurangi, bahkan mematahkan informasi-informasi abal-abal yang tidak berdasarkan penelitian ilmiah. Kalau sekedar untuk memperkaya tradisi dan budaya tidak mengapa, tetapi kita tetap membutuhkan informasi yang menguak fakta untuk diwariskan kepada generasi penerus kita nanti.
Anda tertarik?
Teks : Diella Dachlan.
Foto: Diella Dachlan, Bimo Tedjokusumo
Referensi:
History and Culture, West Java Tourism Board
Mediation, Remediation, and the Dynamics of Cultural Memory, edited by Astrid Erll, Ann Rigney, 2009
Menguak Warisan Peradaban Megalitik Gunung Salak, Ahmad Fahir, Bidik Nusantara
Napaktilas Peninggalan Budaya, Group Facebook
Punden Berundak Pasamuan di Desa Pasir Eurih Kecamatan Ciomas Bogor, Bogor: Sebuah Penelitian Pendahuluan, Aditya Sudirman, 2008
Robert von Heine-Geldern (1885-1968), Erika Kaneko, 1972
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H