Seorang sahabat pernah berkata "Indonesia yang kaya budaya adalah surgaarkeologi, menggali di belakang rumah saja bisa ketemu benda sejarah".
Ketika kami mengunjungi Karadenan Kaum, Kec. Cibinong, Kab. Bogor (27/8/16)untuk melihat jejak peninggalan Raden Syafe'i, tokoh penyebar agama Islam diPriangan Barat (Bandung, Bogor dan Banten) pada abad 16, seloroh sahabat sayaitu terjadi pada Raden Dadang Supadma.Â
Raden Dadang Supadma, nara sumber kami hari itu, merupakan keturunan ke-41Raden Syafei. Beliau adalah tokoh dibalik gagasan penelusuran silsilahketurunan Raden Syafei sejak tahun 2013. Dari beliau dan Raden Suparta, kamibelajar banyak tentang siapa itu Raden Syafei serta jejak peninggalannya.
Termasuk tentang penemuan batu kepala makam yang tak disengaja itu.
"Saya sedang membersihkan komplek makam (di belakang Mesjid) dari pohontumbang sekitar dua bulan lalu (Juni 2016), lalu ketemu batu makam ini. Rupanyaselama ini terkubur" cerita Raden Dadang Supadma, sambil menunjukkan batubermotif dari ujung makam.Â
Menurut beliau, peneliti sejarah dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaansetempat menduga batu nisan ini berasal dari abad ke-17, dengan pola ukir yangmirip dengan Cirebon.Â
Raden Dadang Supadma ragu untuk memastikan identitas beberapa makam kuno didalam komplek pemakaman tersebut. Warga percaya salah satu makam itu adalahmakam Ratu Edok, yang merupakan istri Raden Syafe'i.Â
 Sejauh apa kebenarannya? Perlu penelitian panjang untuk menjawabnya.
Copot Pintu Ketika Maulid Nabi
Raden Syafei, yang merupakan keturunan dari Pangeran Sajeri, kerajaanPajajaran, adalah tokoh yang menyebarkan ajaran Islam. Hingga kini, meski sudahbanyak tersebar, tapi kita masih dapat menemui keturunannya di desa ini,seperti Raden Dadang Supadma dan Raden Suparta, yang menjadi ketua RT.
Sejak tradisi perkawinan antar saudara tidak lagi menjadi keharusan, padaakhir tahun 1970-an, keturunan Raden Syafe'i semakin besar, beragam dantersebar. Sebagian menggunakan nama "Raden" di awal namanya untukmenunjukkan garis keturunan, meski banyak yang tidak tahu asal muasalpenyematan nama "Raden" tersebut. Penelusuran silsilah oleh RadenDadang Supadma masih terfokus pada keturunan inti Raden Syafe'i dan terbataspada lokasi yang dapat dijangkau.Â
Di rumah Raden Suparta inilah, kami disuguhi dokumentasi tentang tradisiMaulid dan Gunting Rambut Bayi di Karadenan Kaum.
"Maulid di kampung kami lebih ramai daripada Lebaran. Wargabergotongroyong menyiapkan makanan secara prasmanan, Â lalu ada sholawatnabi dan Ngadon Ngagunting (gunting rambut bayi), arak-arakan dan rebana"kata Raden Dadang Supadma.
Uniknya, di kampung ini, ada tradisi membawa makanan dari rumah warga kemesjid dengan pintu. Ya, pintu rumah. Untuk itu warga yang bersedia akanmencopot pintu rumahnya, dihias dan digunakan sebagai usungan makanan. Tidaksemua warga mencopot pintunya, sebagian lagi menggunakan baki atau tampah untukmengantarkan makanan ke mesjid.
Biaya untuk merayakan Maulid ini cukup besar. Bisa mencapai lebih dari 50juta rupiah!. biaya ini ditanggung bersama secara gotong royong oleh warga.Menurut Raden Dadang Supadma, ada 5 RT di Karadenan Kaum, namun konsentrasiketurunan Raden Syafe'i paling banyak di 3 RT atau sekitar 180 KK.
Menjelang Maulid Nabi, tradisi budaya lainnya di Karadenan Kaum adalahmemandikan keris dan ritual tolak bala.
Ritual tolak bala adalah pembacaan doa dengan menghadap ke seluruh arah mataangin. Dilakukan setiap kamis malam selama bulan Safar dan ditutup denganritual Sedekah Kupat. Tujuannya untuk mencegah penyakit dan perlindungan.
Sedangkan upacara memandikan keris pada acara Maulid Nabi, prosesinya sudahdimulai sejak 3 bulan sebelumnya.
"Keris direndam dengan air kelapa selama tiga bulan. Meskipun sekarangsudah ada cairan pembersih kimia yang prosesnya bisa dilakukan hanya dua minggusebelum Maulid, tapi kami tetap gunakan air kelapa untuk merendam keris"tutur Raden Dadang Supadma.
Pada tahun 2015, warga membangun Musium (begitu tulisannya) Keris di lantaidua bangunan Mesjid Al-Atiqiyah.Â
Keris yang tersimpan di bangunan itu sekitar 50 buah. Keris tetap milikwarga tetapi dititipkan di musium. Menurut Raden Dadang Supadma, jumlah ituhanya sebagian kecil atau sekitar 30 persen keris milik warga.
Sangat mengasyikkan melihat berbagai jenis keris dengan bentuk dan pola logam yang beranekaragam.Â
Karena tidak ada satupun dari kami yang paham benar tentang aneka jeniskeris, sebagian dari kami sibuk menebak-nebak asal dan fungsi  keris yangmenarik perhatian kami.Â
Perdebatan Tahun Pendirian Al-Atiqiyah
Selain keris, hal lain yang menarik perhatian kami adalah dua batu besar,yang menurut Raden Dadang Supadma adalah bekas lantai mesjid.Â
Renovasi total Mesjid Al-Atiqiyah tidak lagi menyisakan jejak bentuk aslimesjid ini. Juga, tidak ada dokumentasi catatan dan gambar tentang seperti apabentuk mesjid ini di masa lalu.
Tahun pendirian mesjid pun menjadi perdebatan. Sebagian sumber mengatakanmesjid berdiri pada tahun 1550.
 Hal ini bertentangan dengan keyakinan Raden Dadang Supadma dan wargaKaradenan Kaum.
 "Menurut tetua kami, di salah satu pilar mesjid ini dulu tertulishuruf 1667 dalam huruf Arab. Cerita ini diwariskan turun temurun hingga sayadan generasi selanjutnya" kata Raden Dadang Supadma.
Ia melanjutkan.
"Kalau dihubungkan dengan silsilah, tahun 1550 masih jaman Pajajaran.Padahal Raden Syafe'i adalah cucunya Pangeran Sangiang dari Kerajaan Pajajaran.Jadi secara hitungan tahun gak masuk".Â
Kendati masih banyak hal yang bisa diperdebatkan dalam penuturan tentangKaradenan Kaum yang kami simak hari itu, tetap saja kunjungan singkat di hariMinggu di bulan Agustus ini sangatlah menarik.Â
Hal yang menjadi perenungan adalah betapa kayanya ragam tradisi dan budayakita. Hal lain adalah mulai melatih diri untuk merekam dan mendokumentasi kunjunganseperti ini. Budaya bertutur secara turun temurun adalah bagian dari tradisikita yang perlu pendokumentasian tulisan, foto dan akan lebih baik lagi jikaditunjang dengan penelitian untuk menyatukan keping-keping sejarah peradabanyang membentuk bangsa Indonesia.Â
Perenungan lainnya adalah bagaimana agar tradisi dan budaya ini dapatlestari, bertahan dari tekanan zaman, termasuk tekanan sosial dan agama yangkadang bertentangan dengan tradisi dan ritual sebuah masyarakat.
Perenungan ini akan semakin panjang dan membuka ruang-ruang diskusi baru.Sungguh menyenangkan bisa mendapatkan pengalaman ini dan berbagi bersamateman-teman baru dari Ngopi Jakarta.
Teks dan Foto: Diella Dachlan, Gafi, Ali, Dok. Ngopi Jakarta
Tulisan ini juga dimuat di https://ngopijakarta.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H