Mohon tunggu...
Diella Dachlan
Diella Dachlan Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan

When the message gets across, it can change the world

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

(Flores) Tips Mengunjungi Wae Rebo

27 September 2012   11:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:36 8256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak di Denge, sinyal telepon mulai langka. Jadi jangan heran ketika melihat baik anak-anak muda ataupun orang tua berjinjit dengan tangan melambai-lambai di atas memegang telepon untuk mencari sinyal. Atau gaya unik lainnya yang menempel di batu (ada satu batu dekat gereja, spot populer mencari sinyal). Sebaiknya memulai trekking pagi-pagi. Idealnya jam 7 pagi. Karena udara sejuk dan matahari belum bersinar terik atau malah ada resiko turun hujan. Kalau Anda ingin menyewa jasa porter, masyarakat Wae Rebo kini sudah menyeragamkan tarif dan mengatur jadwal kerja porter. Biayanya Rp 75,000 per hari, atau Rp 150,000 untuk pulang pergi. Beban bawaan dibatasi hingga 7 kilogram.  Hal ini untuk tetap menjaga Keselamatan porter yang harus menempuh medan cukup berat serta juga barang bawaan yang dibawanya. Menurut warga, jarak trekking dari Deng ke Wae Rebo adalah 9 kilometer dan ditempuh dengan jarak berkisar antara 2-4 jam. Namun, beruntung saat itu saya dibantu oleh jam tangan Garmin. Total jaraknya adalah 6,6 kilometer mulai dari SD sebelum masuk ke hutan dan hingga pintu gerbang kampung Wae Rebo. Jarak tempuh saya waktu itu adalah 2,5 jam. (agak ngebut karena malu sama Pak Piyus, porter saya yang sangat baik dan juga lucu) Jarak paling buat ngos-ngos-an adalah antara Denge hingga ke Wae Lumba. Soalnya batu besar, tanjakan dan kadang jalan licin juga. Kita akan melewati sungai kecil. Jalur Wae Lumba ke Poco Roko juga lumayan menegangkan, karena untuk orang yang takut ketinggian seperti saya, menyusuri bibir jurang yang kelihatan sangat tinggi itu amatlah menakutkan.

1348745948642255519
1348745948642255519
Ini salah satu tanah longsor yang mudah ditemui sepanjang jalur trek ke Wae Rebo

Berkali-kali saya merasa seperti cicak yang menempel di tebing, atau kadang seperti suster ngesot yang hanya bisa mengesot pelan-pelan dengan punggung menempel selengket-lengketnya dengan tebing. Atau kadang seperti gerobak, karena perlu ditarik oleh Pak Piyus melewati longsoran tanah dan batu-batu yang mudah longsor.

Di Poco Roko, ini titik tertinggi setelah menyusuri dan membelah hutan. Kalau panas dan terik, di sini cukup panas. Sudah ada pagar untuk menjaga keamanan dari jurang yang tinggi, juga ada bangku kayu. Tetapi duduk nelongso di tanah cadas sambil memperhatikan aneka gaya warga yang memang menunggu tiba di spot ini untuk mencari sinyal telepon. Di Poco Roko, tebing batu ini menjadi pusat komunikasi antara warga Wae Rebo dengan dunia luar. Urusan keluarga hingga masalah bisnis dipecahkan di sini. Jika di kota, mall, kendaraan umum dan taman kota menjadi ruang-ruang publik, maka menuju Wae Rebo ini, hutan menjadi ruang publik bersama yang amat ramai. Transportasi barang dengan kaki dan bahu untuk memanggul adalah pemandangan biasa. Menitipkan pesan antar desa melalui orang yang melewati jalur ini juga menjadi hal biasa.

13487460301697270467
13487460301697270467

Ini Mama Lome, rekan seperjalanan saya ketika menuju Wae Rebo. Karung dan kantung plastik berat dititipkan ke Pak Piyus karena beliau terlalu lelah.

Ada satu kata-kata yang diucapkan oleh Petrus dan Pak Yosef yang sulit saya lupakan. “Kami tahu potensi adat dan budaya desa kami. Memikul beban 10 kg dan berjalan 2-4 jam tanpa akses jalan serta tidak ada sinyal komunikasi bukanlah bagian dari budaya kami. Kami ini juga bagian dari masyarakat Indonesia yang perlu pembangunan. Tolong jangan lupakan itu” Ini untuk menggambarkan kerinduan masyarakat Wae Rebo terhadap akses jalan yang lebih baik dari Denge hingga setidaknya Wae Lumba, atau lebih baik lagi jika mencapai Wae Rebo. Bukan jalan aspal mulus, tetapi cukup layak untuk tidak lagi perlu mengangkut beban dengan cara memikul. Biaya Administrasi Ketika saya bertemu dengan salah satu generasi ke-18 di Wae Rebo, Pak Yosef Katup yang juga aktif dalam Lembaga Pariwisata Waerebo, meminta untuk menginformasikan administrasi hasil urun rembug masyarakat kampong Wae Rebo. Menurut Pak Yosef, masih banyak tamu yang terkaget-kaget ketika datang berkunjung ke Wae Rebo tanpa adanya informasi mengenai biaya administrasi. Suasana kadang menjadi kurang nyaman karena hal ini. Kadang ada anggapan bahwa adanya biaya administrasi ini seperti membuat komersil budaya. Padahal kata Pak Yosef, hal ini sudah merupakan kesepakatan bersama masyarakat Wae Rebo, serta pengelolaan uang tersebut adalah untuk biaya bahan makanan dan memasak makanan yang dibuat oleh para ibu serta pemeliharaan infrastruktur kampung seperti bahan bakar genset dan sumber air.  Secara berkala, hasil pengumpulan biaya administrasi itu akan dibuka bersama-sama oleh masyarakat dan diumumkan jumlahnya serta dibagi untuk pengelolaan kampung. Biaya menginap di rumah adat Wae Rebo adalah Rp 225,000/orang sudah termasuk tiga kali makan. Jika tidak menginap, maka tamu dapat membayar Rp 100,000. Yang tidak boleh dilupakan adalah setiap tamu yang datang ke Wae Rebo harus melalui upacara Waelu. Dimana para tetua adat akan memohonkan ijin pada para leluhur untuk menerima tamu serta memohon perlindungan hingga sang tamu meninggalkan kampung dan kembali ke tempat asalnya. Saat berkunjung, saya merupakan satu-satu-nya tamu hari itu. Sempat terharu dan merinding ketika Bapak Isidorus, 84 tahun, melafalkan doa pada upacara Waelu. Setelahnya Pak Yosef menerjemahkan. Kurang lebih artinya bahwa saya bukan lagi anak Bandung atau Jakarta, tetapi anak kandung Wae Rebo yang sedang pulang menengok kampong halaman. Untuk Waelu, tamu akan diharapkan memberikan sejumlah uang secara sukarela. Tidak ada jumlah pasti, seikhlasnya. Dan benar-benar harus ikhlas. Belanja Kopi dan Sarung Tenun

1348746136298281214
1348746136298281214

Kursus kilat dari Mama Nina tentang cara menumbuk kopi

Menghirup kopi asli yang ditanam di kebun-kebun di hutan di seputar kampong Wae Rebo, bagi pencinta kopi, akan sulit menahan keinginan untuk tidak membelinya.

Saya membeli kopi dengan harga Rp 50,000/kg. Kopi yang baru selesai dijemur dan ditumbuk. Bahkan mama Nina memberikan kursus singkat cara menumbuk kopi. (badan ikut bergerak sesuai ayunan kayu ketika menumbuk). Kalau tertarik dengan sarung tenun buatan tangan yang dikerjakan para mama di depan rumah-rumah mereka, harganya sekitar Rp 200,000 – 300,000 tergantung tingkat kesulitan pembuatan motifnya. Selama di Wae Rebo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun