Mohon tunggu...
Diekdock
Diekdock Mohon Tunggu... -

Karyawan swasta pemilik blog ruangkita.co

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sakau!

5 Januari 2016   11:41 Diperbarui: 5 Januari 2016   11:41 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SIANG dan malam, bagiku selalu sama. Matahari datang dan pergi. Hanya ide-ide yang kita lakukan membuat beda antara siang dan malam. Ruang dan waktu akan terasa berbeda atau berubah tergantung dari kita. Alam tetap tak berubah dengan siang dan malamnya. Ah, bagiku kamar ini adalah ruang dan waktu yang sempurna.

Malam itu, awalnya semua tenang. Begitu tenang hingga menghanyutkanku, larut dalam suara detak di urat nadi. Kuiikuti iramanya. Malam yang benar-benar menggairahkanku. Setiap nafas menggelinjang sensasi. Pun setiap teguk yang usai.

Mataku masih terbuka lebar. Tiba-tiba, monyet-monyet itu berlompatan dari dari dinding kamarku. Mereka menari dengan beragam gaya. Ada yang goyang gergaji, ada yang salto dan ada yang hanya mengegrakkan jepol tangannya.

Hahahahahahahaha.....Aku dibuatnya tertawa lepas. Semerdeka jiwa yang terkurung hitungan angka-angka, ruang dan waktu. Aku semakin tertawa tiada koma saat melihat beberapa monyet itu memakai topeng dan mendekatiku. Dalam hatiku berkata, “sudah monyet pakai topeng lagi.”

Monyet-monyet yang terus membuatku tertawa tanpa henti itu mungkin juga merasakan kemerdekaan dari penatnya hari. Penatnya aturan yang selalu membatasi jiwanya. Kaku. Seolah mereka juga tertawa melihatku tertawa hingga perut sakit.

Tingkah menggelikan itu tak berlangsung lama hingga monyet-monyet itu diam tak bergerak. Diam mematung, kemudian taringnya mulai keluar. Aku pun terdiam kaget. Tiba-tiba mereka menjerit memekakkan telinga seolah menjadi pasukan perang berani mati menghadapi lawan. Mereka mendekatiku dengan muka penuh marah. Mereka bersiap menyerangku.

Aku loncat seketika ke pojok ruangan. Kudekap lututku sembunyikan wajah. Aku benar-benar takut diserang monyet-monyet yang penuh amarah dan dendam. Badanku bergetar ketakutan dan berteriak menangis. Tangisan saat seperti masih bayi dan kanak-kanak.

Monyet yang lucu itu berubah menakutkan. Mengancamku. Begitu cepatnya tawaku berubah menjadi tangisan. Rasa geli berubah cepat menjadi ketakutan, cemas dan gelisah. Seolah mencemaskan setiap perbuatan yang yang dinilai tidak baik oleh orang lain. Ketakutan ini seolah takut tidak bisa sama dengan orang lain menjadi yang terbaik.

Kemudian monyet-monyet itu pun berloncatan ke dinding, masuk dalam bingkai foto yang tergantung di dekat pintu kamar. Mereka meninggalkanku dalam sisa-sisa air mata. Sesenggukan. Lelah.

Belum hilang sempurna rasa takutku, tiba-tiba suara motor menderu-nderu. Lagi-lagi muncul dari dinding kamar. Motor trail dengan pengendara berhelm tanpa kutahu siapa dia berjalan memutar. Bak akrobat, dia bisa berjalan di dinding, bahkan hingga ke atas plafon kamar.

Dia memburuku, seperti mengejarku berpacu dengan target-target waktu yang ditentukan dalam setiap aturan kehidupan sosial. Memaksaku kembali berteriak hingga suara serak.

Suara deru mesin itu cukup memekakkan telinga. Aku semakin tersudut di ruanganku sendiri. pengendara itu tak kalah beringas seperti monyet-monyet sebelumnya. Bahkan, dia mengarahkan motornya ke aku. Dia siap melindasku dengan roda yang bergerigi.

Aku terguling. Seluruh ruangan kamarku menjadi terang. Tak lama berubah menjadi merah dan menghitam. Aku masih ketakutan. Pengendara itu telah hilang entah kemana. Suasana kembali menjadi hening.

Badanku lemas tak berdaya. Nyeri di setiap sendi menyadarkan penglihatan. Aku kembali terjaga dalam tak berdaya. Kubuka pelan-pelan mataku perhatikan sekeliling. Memastikan monyet-monyet dan pengendara motor gila itu pergi.

Samar kulihat seorang perempuan cantik bak bidadari berdiri di antara gantungan bajuku, di balik pintu. Rambunya terurai panjang hitam legam. Wajahnya putih berseri, meski tanpa polesan make up. Dia tersenyum kepadaku.

Aku makin terpana. Sejuta tanda tanya tentang siapa dia. Senyumnya damai, sedamai air di danau yang tak mengalir, pun tanpa ombak.

Aku semakin kaget ketika dia mulai melepaskan pakaiannya satu per satu. Tapi dia tetap di tempatnya, di balik pintu kamarku itu. Aku semakin terpana melihat keindahan tubuh bidadari itu. Kuperhatikan dari ujung kepala hingga ujung kaki.

 Tapi aku tak berdaya, hanya leherku yang bergerak karena menelan ludah. Mendesir darahku. Menyeruak nafsu birahiku. Menggodaku mengeluarkan segala hasrat. Bidadari itu seolah harapan yang selalu merayu hari-hariku.

Tak ada kata yang keluar dari mulutku. Bibirku terkatup rapat. Dingin. Begitu pun dia. Hanya tersenyum. Hendak kugerakkan kaki untuk mendekatinya. Namun, seolah badan ini lumpuh.

Badanku semakin menggigil. Gemeretak gigiku beradu memecah sunyi. Kepalaku semakin pening. Kembali kupejamkan mata. Kusia-siakan pemandangan indah karena ketakberdayaanku.

Saat kubuka pelan kelopak mata, bidadari cantik itu berubah menjadi pria tua berjanggut panjang yang memutih. Semakin kubuka mataku semakin jelas aku melihat wajahnya yang memancarkan sinar terang. Di kepalanya ada sorban yang terikat. Pria itu berjubah putih panjang hingga ke lantai.

Aku semakin takut saat pria tua itu mendekatiku. Nafasku tersengal. Jantungku terasa nyeri yang semakin lama semakin sakit. Aku merasakan seluruh tubuh semakin dingin dan suasana sunyi. Dia semakin mendekat.

“Siapkah kau ikut aku?” kalimat itu terlontar dari bibir pria yang tertutup kumis putih. Kali ini aku cium aroma harum semerbak. Wangi yang belum pernah tercium olehku. Namun, semakin dia mendekat, semakin sakit kurasakan di jantung dan kepalaku. Bibirku tak mampu menjawab. Meski kurasakan sangat dingin, keringat bercucuran.

Dia kembali berkata, “hentikan jika kau belum siap ikut bersamaku. Hentikan! Hentikan semua ini.” Saat pria itu berkata dengan suara lantang, tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

Aku kembali terjaga untuk kesekian kalinya. Seluruh badan terasa pegal semua. Aku kaget terbangun di lantai tanpa memakai baju, meringkuk di sudut kamar. Bukan di kasur tempat biasa aku baringkan badan kurusku ini. Basah keringat di tubuh dan lantai. Aku coba bangkit. Seluruh sendi terasa nyeri. Mata terasa berat, begitu juga kepala.

Kuperhatikan di sekelilingku. Di lantai dekat kasur, ada asbak yang penuh puntung rokok dan beberapa linting ganja yang tersisa ujungnya. Di sebelahnya masih berdiri tegak dua botol voodka. Di ujung meja, tampak bong dan pipet yang masih berserakan di antara plastik kecil serta korek api.

Kuperhatikan jam dinding dan kalender. Kucoba mengingat, tapi aku tak juga ingat berapa lama aku ada di kamar.  Aku duduk dan merenung, mencoba mengingat peristiwa yang kualami.

Keperhatikan sekeliling dinding kamar. Poster bergambar beberapa orangutan dengan tulisan ‘Save Orangutan’ masih tergantung. Poster pengendara motor trail yang sedang beraksi di event motocross masih menempel rapi. Begitu juga pakaianku di balik pintu.

Lalu darimanakah monyet-monyet itu? Siapakah pengendara motor itu?kemana perginya bidadari cantik itu? Dan, apakah pria itu malaikat maut? Seribu tanya membuat sakit kepalaku.

Aku berdiri ke kaca lemari. Aku bercermin. Kuperhatikan rambutku kusut. Di bawah kelopak mata tampak menghitam. Wajahku masih pucat. Perut terasa mual. Rasanya badan ini remuk tanpa daya. Kubuka korden jendela, ternyata hari sudah terang. Saat aku hendak melangkahkan kaki ke kasur, tiba-tiba aku terjatuh dan semua menjadi gelap gulita. (*)

 

‘Katakan TIDAK untuk Narkoba’

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun