Biasanya kalau saya di akhir pekan hingga malam tidak menelepon, maka beliau meminta saudara saya menanyakan, kenapa kok tidak menelepon. Iya, sudah tiga tahun bapak alamrhum, meninggalkan ibu. Sejak itu juga beliau merasa kesepian karena anak-anaknya sudah besar dan selama ini hanya bapak yang menjadi teman paling dekat.
Setelah ngobrol panjang lebar dan mengakhiri pembicaraan, saya terdiam. Berpikir, bahwa saya selama ini salah dan mungkin ucapan saya telah menyakiti hati seorang ibu. Saya bukan bayi yang harus diperhatikan dan selalu ditanyakan kenapa tidak ada kabarnya. Saya termasuk orang bodoh karena seharusnya saat ini sayalah yang memperhatikan ibu, tanpa diminta.
Seharusnya sayalah yang rajin menanyakan kabarnya, atau bahkan seharusnya saya rajin menanyakan apakah ibu sudah makan atau belum. Seperti saat saya masih kecil yang selalu diperhatikannya. Seharusnya saat ini saya harus ada di sampingnya seperti saat ibu selalu di samping saya berjuang membesarkan kami anak-anaknya. Seharusnya saat ini mendampingi beliau yang mulai menua.
Mereka para ibu tidak menunggu setahun pada tanggal 22 Desember ditelepon hanya untuk diucapkan selamat hari ibu. Apalagi bagi ibu saya yang ada di desa tidak paham peringatan hari ibu. Mereka para ibu tidak butuh puisi yang indah atau bunga hanya setahun sekali, namun kabar dari kita setiap saat sudah cukup bagi mereka untuk bahagia.
Beruntung bagi kita anak-anaknya direlakan pergi jauh, direlakan bersama keluarga lain. Jika para ibu tidak sayang sama kita, maka kita harus mengembalikan kasih sayang yang mereka berikan selama ini. Kita dilarang pergi dari rumah. Apakah kita sanggup? Begitu mulianya seorang ibu yang kadang tidak pernah kita sadari.
Saya sengaja tidak membahas sebesar apa kasih sayang seorang ibu kepada kita. Jika ditulis, tidak cukup halaman. Namun, saya membahas sebesar apa kita ingat pada ibu saat berada di tempat jauh. Â
Bukan lagi waktunya kita hanya mengenang perjuangan ibu saat masih mengandung hingga merawat kita menjadi manusia dewasa. Percuma kita kenang itu jika tanpa ada perbuatan nyata memperhatikan mereka. Sekarang ini sudah saatnya kitalah yang melakukan atau berbuat untuk ibu.
Dalam Islam pun di hadist sampai disebutkan, bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Hal ini menandakan betapa mulianya seorang ibu. Berbahagialah semua yang saat ini bisa berkumpul dengan ibunya.
Bercengkerama layaknya saat masih kecil. Mendapatkan petuah-petuahnya setiap hari. Belajar dan memahami kehidupan langsung dari sang guru. Kadang masih bertingkah layaknya anak-anak, tidur di pangkuannya sambil bercerita pekerjaan, curhat soal suami atau istri.
Betapa bahagianya semua yang saat ini bisa membuat senang seorang ibu dengan tingkah nakal, menggemaskan dan lucu cucu-cucunya. Betapa beruntungnya yang saat ini masih sering dimarahi agar jalan kita benar.
Namun jangan berkecil hati bagi yang jauh. Meski 15 menit bicara di ujung telepon setiap waktu ketika kita tinggal jauh dari ibu, adalah niat baik membahagiakannya. Meskipun tak sebesar pengorbanan mereka selama ini. Jika kita tidak bisa setiap hari membuatnya bahagia, jangan sekali-kali membuat ibu selalu khawatirkan kita. Teleponlah ibumu jika tinggalmu jauh, meski hanya lima menit.