Mohon tunggu...
Dieea Arista
Dieea Arista Mohon Tunggu... -

Sedang menimba ilmu di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Pendidikan Ganesha.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mari Bicara Kematian

30 November 2013   22:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:28 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini, mari kita bicara mengenai kematian. Bukan sesuatu yang menyeramkan dan harus dihindari bukan? Kematian itu sesuatu yang pasti datang, namun tidak dapat dipastikan kapan datangannya. Sebulan ini, saya sedang berduka. Duka kehilangan dua guru terbaik saya. Beberapa minggu yang lalu, saya mendapat kabar lewat sms dan whatApps dari teman-teman saya. Mereka memberitai mengenai kepulangan salah satu guru terbaik kami. Beberapa hari sebelum kabar ini datang, saya juga mendapat kabar kalau beliau sedang dioperasi dan harus dirawat di rumah sakit. Saya sendiri tidak tahu pasti apa penyakitnya. Beliau adalah guru olahraga di yayasan tempat saya menuntut ilmu. Berperawakan besar dengan perut buncit. Rambut beliau selalu dicukur bersih, namun dibiarkannya kumis tumbuh tipis. Beliau murah senyum dan doyan tertawa. Selera humor beliau tinggi. Jarang sekali beliau terlihat serius, meski dalam situasi sekrodit apapun. Tapi masalah selalu mampu diatasi. Beliau selalu mampu menyelesaikan masalah dengan tenang, namun penuh pertimbangan. Beliau adalah satu-satunya guru yang paling dekat dengan santrinya, setidaknya begitu menurut saya. Beliau biasa menghabiskan waktu bersama para santri di sekolahan, jandom, makan bareng seadanya, dan tidur bareng di sekolah. Sebelum tidur beliau biasa bercerita panjang lebar, mendiskusikan banyak hal, dan menanyakan perkembangan tiap santrinya. Begitulah beliau, sangat peduli terhadap santri-santrinya. Setiap perkembangan santrinya pasti beliau tahu. Yang mulai nakal akan beliau tegur dengan sindiran-sindiran dan candaan. Bahkan yang sudah menjadi alumni pun tidak luput dari perhatian beliau. Beliau adalah guru yang luar biasa menurut saya. Sederhana dan  tidak sok ngiyai. Itu pendapat saya mengenai beliau, untuk segala catatan kelam sebelum saya mengenal beliau, saya tidak tahu dan tidak mau tahu. Itu sebabnya, saat mendengar berita kepergiaan beliau, saya gemetar. Tidak percaya dan ketakutan. Saya takut memikirkan nasib sekolah saya. Walau beliau bukan pimpinan, tapi segala yang beliau lakukan lebih dari tugasnya. Saya juga takut memikirkan nasib adik-adik saya di sana, siapa lagi yang akan mengawasi dan menegur mereka? Siapa yang akan memberi masukan tiap kali ada anak yang kebinggungan. Biasanya kita semua rajin minta pendapat beliau. Lalu bagaimana dengan nasib para alumni tanpa beliau. Saya hanya mampu mendoakan, semoga bapak mendapat tempat yang terbaik dan segala yang terbaik bagi keluarga yang ditinggalkan.

Selanjutnya, rabu siang saat kuliah menulis II. Kembali sebuah kabar duka bertandang. Salah satu dosen dan ketua jurusan terbaik berpulang. Saya mungkin tidak cukup mengenal beliau. Hanya beberapa kali mendapat mata kuliah yang beliau ajarkan. Tapi itu cukup untuk membuat saya yakin bahwa beliau dosen dan ketua jurusan yang baik. Saya juga sudah sering mendengar cerita mengenai kebaikan beliau dari kakak-kakak tingkat. Belakangan saya semakin yakin bahwa beliau adalah ketua jurusan terbaik. Ini saya lihat dari beberapa status facebook mahasiswa dan dosen. Masing-masing mengenang moment bersama beliau, masing-masing mengungkapkan betapa mereka kehilangan sosok beliau. Beliau yang dinilai bertanggungjawab, hangat, ramah, dan sederhana. Bahkan ada salah satu status dosen yang terus membuat saya menangis jika mengingatnya. Dosen tersebut mengungkapkan bahwa alm. mengajak untuk bekerja lebih giat dalam akreditasi jurusan karena mengasihani nasib mahasiswa nantinya saat sudah lulus, agar ijazah mahasiswa lebih dinilai di dunia kerja. Sungguh, ungkapan ini terus membuat saya bergetar dan meneteskan air mata haru. Betapa dalam keadaannya yang sedemikian beliau masih memikirkan nasib kita, anak didiknya. Jarang saya temui pendidik seperti beliau. Zaman telah banyak merubah tujuan. Tuntutan hidup telah mendesak para pendidik, untuk lebih berfokus pada kepentingan pribadi daripada tugas mencetak anak didik berkualitas.

Yaa, setiap yang hidup pasti akan kembali. Hanya masalah waktu, hanya tinggal menunggu giliran. Kadang kita hidup tanpa menyadari keberadaan “kematian”. Kita tertawa, bersenang-senang, jatuh cinta, sibuk kerja, sibuk mengurusi urusan duniawi. Kita gak sadar kalo giliran kita bisa datang kapan saja. Dan saat itu tiba, saat raga kita kembali ke tanah maka tidak ada lagi yang tersisa. Hanya kenangan. Akan seperti apa nantinya kita dikenang, akan seperti apa nama kita disebutkan, apa yang mampu kita tinggalkan? Badan ini dipinjamkan. Setiap tarikan napas, adalah satu tarikan napas lagi mendekati kematian. Kita harus membuat lebih banyak karya, lebih banyak memanfaatkan hidup, lebih banyak mengambil kesempatan. Hidup ini cuman sekali. Akan sangat sayang untuk kita buang begitu aja. Kita gak mau kan, nantinya hanya jadi sebatang nisan usang. Yang awalnya ditanggisi dan banyak dikunjunggi, lalu kemudian semakin jarang, semakin jarang, sampai pada akhirnya dilupakan…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun