Masih jelas diingatan saya, segala tingkah polah Angelina Sondakh ketika sedang menghadapi proses persidangan kasus korupsi. Caranya berbusana, caranya bertutur kata, hingga upayanya mengajak anaknya masuk ke ruang sidang, menunjukkan kepada publik bahwa dia tahu benar bagaimana caranya memainkan peranan wanita yang teraniaya. Saya sempat berfikir, dia sebetulnya punya bakat yang sangat bagus dalam berakting, jadi rasanya pilihannya untuk terjun ke dunia politik adalah pilihan yang salah. Kalau saja dia memilih menjadi aktris, mungkin saat ini dia tidak perlu meringkuk di dalam penjara.
Angelina sondakh adalah salah satu dari sedikit politisi wanita yang bisa “muncul” di arena politik negara ini. Walaupun ada jatah 30 % bagi kaum perempuan untuk menduduki kursi wakil rakyat, berapa persen sih yang betul-betul bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan akhirnya bisa dikatakan eksis? Tentu tidak banyak. Wakil rakyat yang artis pun, rasa-rasanya masih banyak yang hanya jadi pemanis dan penarik suara saja bagi partainya. Kemampuan mengemukakan opini dan beradu argumentasi tampaknya banyak yang belum teruji. Maka tidak heran apabila di panggung politik yang sedang gaduh saat ini,suara mereka nyaris tak terdengar.
Jangan salah, saya sangat setuju apabila perempuan terjun kedunia politik dan membawa aspirasi dari kaumnya. Tapi harus diakui, banyak politisi perempuan yang belum siap untuk meninggalkan atribut kewanitaannya dan malah menjadikan itu sebagai senjata.
Dunia politik adalah dunia yang kejam. Oleh sebab itu dibutuhkan mental (dan iman) yang kuat juga untuk dapat menjalaninya. Tidak terkecuali untuk kaum perempuan. Ketika perempuan minta diperlakukan dan diberi hak serta kewajiban yang sama dengan kaum laki-laki, maka itu pula yang harus dia tunjukkan. Buktikan bahwa tanpa wajah memelas, tanpa tangisan, tanpa harus menunjukkan kelemahan, perempuan bisa tetap berjuang, mempertahankan apa yang menjadi tujuannya. Sangat tidak adil, apabila perempuan berani membuat keputusan, tapi tidak mau mempertanggungjawabkan keputusannya itu. Akan sangat aneh, ketika perempuan meminta dunia untuk percaya pada kemampuannya, tetapi disaat yang tidak menguntungkan, dia berlindung dibalik tangis, dibalik anak-anaknya dan dibalik statusnya sebagai seorang ibu.
Beberapa perempuan memang sudah membuktikan kemampuannya dalam berpolitik. Tapi bagi negara ini, untuk bisa mendudukkan 30% perempuan yang memang mampu di panggung politik, tampaknya masih perlu prosespanjang.Untuk bisa menciptakan perempuan-perempuan yang berani bersuara, bahkan melawan arus kalau perlu, dibutuhkan perubahan sistem pendidikan yang sangat mendasar. Mulai dari pendidikan didalam keluarga hingga ke jenjangpendidikan formal. Saya masih ingat dengan pembelajaran ketika sekolah dulu.Ketika belajar membaca, maka ada kata-kata: Ayah pergi ke kantor, Ibu pergi kepasar. Ani memasak, Anto membetulkan sepeda.Ketika pelajaran kesenian, siswi akan diajari menari sedangkan siswa belajar pencak silat. Ketika pelajaran keterampilan, siswi belajar memasak dan menjahit sedangkan siswa belajar elektronika. Ketika pemilihan ketua OSIS, guru mengarahkan supaya yang terpilih adalah laki-laki dan perempuan biasanya diberi tugas sebagai sekertaris saja. Lalu bertahun-tahun kemudian, anak-anak ini, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, diceburkan dalam panggungpolitik dengan tugas, kewajiban dan harapan kemampuan yang sama. Menurut saya ini tidak masuk akal sekaligus tidak adil. Laki-laki sudah sudah diberi “bekal” dan latihan lebih banyak dari perempuan. Maka ketika pemerintah memberikan jatah kursi 30% tanpa banyak merubah sistem pendidikan, bagi saya itu hanyalah basa-basi.
Oleh sebab itu, perempuan yang mau masuk ke panggung politik, memiliki beban yang sangat berat. Disamping harus mengejar “ketertinggalan” karena proses pendidikan yang tidak memihak mereka sedari awal, perempuan juga harus mau melepaskan “atributnya” supaya betul-betul tidak dipandang sebelah mata.
Saya hanya berharap, perempuan yang berniat menjadi politisi, adalah perempuan yang memiliki potensi dan sadar dengan kemampuannya. Dan saya juga berharap, perempuan yang sadar dirinya tidak punya kemampuan menjadi politisi, setidaknya bisa sadar untuk tidak mau dijadikan alat untuk kepentingan sekelompok orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H