Mohon tunggu...
Dini Nurilah
Dini Nurilah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

hanya seorang pelancong, yang terlalu bosan dengan kesemrawutan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia-nya Bung Pram Tidak Ada yang Berubah Sama Sekali

5 Februari 2014   12:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:08 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca tulisan bung Pram tentang Indonesia membuatku terdiam. Apakah hanya di zamannya saja yang penuh ketidakbenaran dan kesewenangan itu? apakah hanya di zaman itu yang dipenuhi kegelisahan hidup? Apakah hanya di zaman itu seorang cendekia, sastrawan, seniman, dan sejarahwan menuliskan Indonesia se’asing’ itu? tidakkah zaman kita juga masih setidak benar zamannya? Tapi, mengapa tak kutemukan tulisan dan pemikiran yang radikal seperti beliau. Tentang kemanusiaan dan Indonesia. Yang ada hanya kata – kata perubahan dengan polesan untuk kemahsyuran dan nilai dirinya, dia, si penulis itu. Untuk rakyat banyak? Untuk kemaslahatan publik? Kuharap iya. Tapi, tak ada yang tahu isi hati manusia. Aku juga, mungkin.

Dia menuliskannya, katanya “seni untuk rakyat” seseorang pernah mewawancarainya ketika beliau masih di P.Buru, orang itu bertanya “Apakah Bung masih berkukuh pada seni untuk rakyat?” yang dijawab olehnya “Jadi untuk siapa lagi? Setidak – tidaknya bukan untuk diri sendiri, sekalipun dari diri sendiri”. Bagaimana seorang Indonesia begitu mencintai ke-Indonesiaannya. Pada sesama orang Indonesia. Pada bangsa yang namanya Indonesia. Pada tanah air, bernama Indonesia ini. Adakah dari kita pernah berpikir tentang Indonesia sebagai diri kita, sebagai sesama kita? Bukan masalah tanah dimana kau dilahirkan dan modal dimana kau mendapatkan makan. Ini tentang kemanusiaan, manusia sebagai pribadi. Yang memiliki kesadaran berbangsa satu.

Dalam tulisannya yang berupa diary selama di P.Buru ini, beliau mengkisahkan mereka. Orang – orang yang mungkin tidak akan tercatat oleh sejarah. Dan memang tidak. Jiwa – jiwa yang direbut paksa hak hidupnya. Sekalipun dia seorang guru SD atau pemuda yang masih duduk di bangku SMP. Tulisnya, penjaga – penjaga itu dalam tugas ‘proyek kemanusiaan’ mengembalikkan mereka yang katanya melenceng, menjadi warga negara yang baik sesuai standar Pemerintahan saat itu. Dengan menggunakan nama pancasila. Adakah saya salah jika mengatakan, lahirnya negara adalah pe-legal-an atas pembunuhan dan kekerasan pada kemanusiaan? Jika tidak, bolehkah saya bertanya dimana pemimpin bangsa? Jika ini cara yang beliau izinkan untuk menertibkan rakyatnya, saya bertanya ‘berapa harga satu nyawa seseorang yang tidak berdosa?’ bahkan ibu – ibu tak berdaya dan anak – anak kecil yang tak tahu apa – apa itu pun harus menanggungnya. Apakah engkau akan berkata “Ini harga yang tepat untuk menjaga Indonesia yang berpancasila” apakah kalian setuju, hei para founding father? Untuk inikah pancasila?

Lalu, bertahun – tahun kemudian rangkaian tulisan bung Pram hanya dijadikan ‘sarapan’ sejarah. Cerita, kisah, di masa lalu. Kemana nyawa – nyawa yang hilang itu?  apakah dunia tidak bertanya? siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah bangsa ini tidak ingin mengetahuinya? Maaf, hanya saja membaca dan membayangkan kisahnya. Iya, aku hanya dapat membayangkannya yang bahkan banyak hal yang tidak dapat aku bayangkan. Pembunuhan, penyiksaan dan kesewenangan mereka, yang merasa menjadi dewa untuk sesama bangsanya. Akal ini tidak dapat menerimanya. Adakah manusia yang mengaku bertuhan dapat melakukannya? adakah manusia yang mengaku berpancasila melakukannya? Adakah pembenaran tentang ‘proyek kemanusiaan’ itu benar – benar membuat mereka tak melihat sesamanya sebagai seorang manusia, seorang bapak seseorang, anak seseorang, ibu seseorang, saudara seseorang atau bahkan tetangganya sendiri? aku tidak dapat menerimanya.

Bung, zamanku sekarang ini juga tidak jauh berbeda. Penjahat – penjahat kemanusiaan itu tambah banyak dengan topeng – topeng yang lebih beraneka ragamnya. Ini lebih menakutkan. Sekarang bukan hanya kekerasan fisik, hunusan pedang atau tembakan pistol yang memerangi kemanusiaan. Tapi ini tentang pemikiran yang membuat bangsa semakin tidak rasional. Banyak dewa – dewa baru yang tak masuk di akal. Namanya Kapitalisme. Namanya modal. Dan namanya individualisme. Peradaban bukan hanya tentang kemajuan yang memang bernilai positif, tapi kesadaran berbangsa yang semakin redup digerogoti dewa – dewa baru itu. Kata kemanusiaan hanya hiasan kosong. Karena, manusianya banyak yang tidak lagi manusia. Karena, mereka yang seharusnya dibela dan membela pun kini sama – sama memakai topeng muslihat. Jangan berbicara kebangsaan dan kesatuan berbangsa. Urusi perut masing – masing dahulu. Kehidupan ini hutan rimba, siapa yang lebih kuat, lebih berpunya, dan lebih berkuasa dialah yang bertahan. Jangan berbicara Indonesia. “Kita Indonesia” hanya tentang pertandingan sepakbola dengan bangsa lain. Tapi, ketika kompetisi itu melawan klub – klub sebangsanya “Jangan berbicara Indonesia. Ini klub-ku” kata mereka. Sungguh konyol bukan.

Dari setumpuk permasalahan yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan zamanmu dulu. Satu hal yang harus diperhatikan, tentang kesadaran berkebangsaan satu ini. Kupikir bangsaku semakin jauh dari kata satu itu. Budaya yang menemani generasiku tumbuh bercampur aduk dengan budaya mereka yang asing itu. Pola pikir dan karakter pemuda yang terbangun adalah tentang kehidupan pribadi masing – masing. Berawal dari cara pendidikan dalam keluarga, yang tidak selalu mengajarkan tentang ‘nilai kehidupan dan kemanusiaan’. Yang lebih banyak mengingatkan tentang kesuksesan dan kehidupan yang layak bagi masing – masing. Lalu sistem pendidikan formal, yang selalu tentang nilai dan nilai pelajaran. Bukan tentang memahami apa yang dipelajari. Sistem pendidikan yang seharusnya mengajarkan manusia menjadi manusia seutuhnya. Tapi yang ada adalah pendidikan tentang ‘mencetak’ generasi bangsa untuk mengisi puzle – puzle sistem yang memang tidak benar – benar amat itu. Ini zamanku, yang katanya modern dan era globalisasi. Tapi sistem pendidikan tidak mendidik manusia menjadi manusia berkualitas kemanusiaan.

Tapi, zamanku semua orang boleh berbicara, boleh mengkritik, boleh memaki. Siapapun itu. Boleh menuliskan apapun. Boleh memiliki paham apapun. Selama tidak menyalahi aturan negara. Konsep demokrasinya serupa ya, dengan zamanmu, Bung. Hanya saja, mungkin dulu aturan itu terlalu ketat hingga terdengar tak masuk diakal. Tapi sekarang, aturan itu dibuat hanya untuk diabaikan. Lalu, bagaimana seharusnya Bung? Adakah sistem negara ini yang harus di rombak. Sistem pemerintahannya, atau sistem pendidikannya,  atau kesadaran bangsa? Atau pemimpinnya? Atau apa? Bung, banyak pertanyaan untuk zamanku, untuk bangsaku.

Ingin kutanya, adakah kini kegelisahan ketika mendengar kata “Indonesia” bagimu, bangsaku?

Salam Pembebasan!

LPPMD Unpad angkatan 26

Dini Nurilah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun