Aku membolak balik buku bergambar burung-burung Indonesia hadiah ulangtahunku. Betapa aku ingin melihatnya di alam liar. Sayangnya karena rumahku jauh dari hutan, keinginanku harus terkubur untuk beberapa saat.Â
Saat itu aku pun melihat sebuah pengumuman mengenai kegiatan pengamatan burung liar di taman kota di sosial mediaku. Wah, ternyata ada ya burung-burung yang tinggal di perkotaan juga. Karena aku penasaran dengan kegiatan tersebut, akupun segera mendaftar kegiatan tersebut yang akan diselenggarakan sebulan kemudian.
Sebulan kemudian Â
Aku mengarahkan teropong milik Ayu ke pepohonan yang rindang di kebun terbesar di Indonesia. "Yes, aku melihatnya, itu jenis Raja Udang yang lain dari yang tadi kita lihat," ucapku pada Ayu dan Dian, temanku dalam tim pengamat burung kali ini. Aku pun mengulurkan teropongnya ke Ayu, yang memastikan bahwa memang burung jenis Raja Udang yang dilihat aku tadi. Ternyata tidak hanya satu burung jenis Raja Udang di tempat ini kami temukan, padahal tempat ini berada di tengah kota. Kami pun kembali menyusuri kebun besar di tengah kota hujan untuk menemukan jenis burung yang lain.Â
Diantara kebun buah, kami melihat gerombolan burung jenis pipit. Jenis burung yang banyak ditemukan di perkotaan, terutama di pemukiman. Biasa disebut dengan burung gereja juga. Aku juga menemukan seekor bajing yang melompat lompat di sebuah pohon besar. Hari ini aku merasakan kegembiraan yang luar biasa bersama teman-teman baruku, karena hari ini pertama kalinya aku melakukan pengamatan burung di taman kota.Â
Sudah berminggu-minggu aku ingin melakukan kegiatan ini, dan hari ini keinginanku tercapai. Tengah asyik menjelajahi taman, tak terasa hari sudah mulai gelap, dan tiba-tiba terdengar suara hoot...hoot...hoot.... Segera saja kami berlarian ke arah suara tersebut, dan mengarahkan teropong ke rimbunan pepohonan yang diperkirakan tempat suara berasal.Â
Kami tahu suara tersebut merupakan suara burung hantu, burung yang sulit ditemui di alam saat ini. Sayangnya setelah hampir setengah jam kami mencari-cari, kami tidak menemukan burung hantu tersebut. Mungkin lain kali, kami pun berjanji akan datang lagi untuk mengejar si penjelajah kegelapan tersebut.
Tiga bulan setelahnya
Aku dan Tari berjalan setengah berlari di kegelapan malam setelah mendengar suara bergemerisik di kerumunan pepohonan. Tiba-tiba sesosok bayangan hewan terbang melintasi kami dan hinggap di gelapnya pepohonan.Â
"Itu dia, dia sudah pindah" teriak Tari sambil menunjuk ke gelapnya pepohonan. Aku pun menyorotkan senter yang aku pegang ke pepohonan yang ditunjuk Tari, tapi tidak menemukan apa-apa, tidak ada sedikitpun cahaya dari mata si penjelajah kegelapan, alias burung hantu yang biasanya bersinar dalam gelap. Aku dan Tari pun terus berjalan di kegelapan malam terutama di dekat pepohonan tempat yang kami duga sarang burung hantu.Â
Ada sekitar satu jam lebih kami berada di tempat itu, namun tidak melihat bayangannya atau mendengar suaranya lagi. Kami sudah mencoba memancingnya keluar dengan menyalakan suara burung hantu yang pernah direkam seorang fotografer burung, tapi tidak ada gerakan lagi. Akhirnya karena lelah mencari, kami pun memutuskan untuk pulang ke penginapan dan beristirahat.Â