Mohon tunggu...
diyah
diyah Mohon Tunggu... Freelancer - Dee

lulusan antropologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pemenuhan Hak Perempuan Tionghoa dalam Negara Demokrasi, Sebuah Catatan Sincia

11 Februari 2021   01:05 Diperbarui: 11 Februari 2021   15:39 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun silam, etnik Cina Benteng yang memiliki budaya yang unik dan khas, dapat menyelenggarakan pesta atau perayaan pada hari-hari khusus, misalnya perayaan Peh Cun (berarti 100 perahu atau mendayung perahu), yang biasanya diselenggarakan pada bulan Juni. 

Perayaan ini sempat dilarang diadakan pada masa pemerintahan Orde Baru dan pemerintah daerah setempat, dengan alasan perayaan tersebut bukanlah perayaan asli Indonesia. Dan baru beberapa tahun belakangan ini, etnik Cina Benteng dapat merayakan Peh Cun kembali. 

Dari kasus-kasus yang ada, dapat terlihat bahwa demokrasi di Indonesia masihlah menjadi proses, terutama dikaitkan dengan tindakan pelanggaran HAM, berupa tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap etnik, ras, atau agama tertentu. 

Dalam kurun waktu 2019, pelanggaran hak atas kebebasan beragama menunjukkan peningkatan menurut data Komnas HAM. Ada 21 kasus pelanggaran HAM baru yang terjadi dan dilaporkan ke Komnas HAM pada tahun tersebut. 

Jumlah kasus tersebut tidak termasuk kasus pelanggaran HAM yang sudah terjadi tahun sebelumnya dan belum diselesaikan. Seperti kasus pelanggaran HAM pada Mei 1998. 

Ada ratusan perempuan Tionghoa yang menjadi korban kekerasan, berupa pelecehan seksual dan perkosaan yang tidak jarang berujung dengan kematian.

Menurut data Komnas Perempuan tahun 2006, ada 1500 orang yang terbakar atau dibakar pada saat Mei 1998, dan ada 85 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan Tionghoa (data Tim Gabungan Pencari Fakta/TGPF). 

Data dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TruK) Divisi Kekerasan, menyebutkan ada 152 perempuan Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan pada Mei 1998 tersebut, dan 20 orang di antaranya meninggal dunia. Meskipun begitu kasus pelanggaran HAM ini masih sering dianggap tidak ada. Bukan hanya oleh masyarakat Indonesia, tetapi juga masyarakat Tionghoa lainnya. 

Bahkan yang lebih menyedihkannya lagi, beberapa survivor tidak diterima oleh pasangannya atau keluarganya, karena dianggap sebagai aib keluarga. Sampai saat ini penegakan hukum atas pelanggaran HAM terhadap perempuan Tionghoa tidak pernah terjadi.

Adanya anggapan terhadap perempuan yang diskriminatif karena di dalam budaya Tionghoa tradisional yang patriarkhal, anak perempuan dianggap tidak lebih berharga daripada anak laki-laki. 

Tradisi pengikatan jari kaki (foot binding) di Tiongkok hanya diberlakukan pada perempuan supaya mendapatkan kaki yang kecil, dan tidak bersuara keras ketika berjalan. Tradisi ini memang tidak dipraktikkan pada perempuan di perantauan seperti Indonesia, namun anak perempuan masih dianggap tidak seberharga seperti anak laki-laki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun