Hampir semua orang mengetahui film Mandarin terkenal “Journey to The West”, dimana ada tokoh biksu Buddha, Tong Sam Kong mencari kitab suci dengan mengadakan perjalanan ke barat ditemani siluman kera (Sun Go Kong), siluman babi, dan siluman kerbau. Nah, tokoh biksu tersebut ternyata memang tokoh yang nyata.
Sebenarnya ada beberapa biksu Buddha yang melakukan perjalanan ke India, namun yang terkenal di nusantara yaitu Fa Xi’an (Fashien), yang melakukan perjalanan melalui Sriiwijaya, dan Xuanzang yang melakukan perjalanan melalui Asia Tengah (Jalur Sutera).
Film yang diproduksi pada tahun 2016 ini, merupakan produksi dua negara yaitu China, dan India, menceritakan perjalanan Xuanzang, Biksu Buddha pada masa Dinasti Tang (618-907), ke Barat (India) untuk mempelajari naskah asli ajaran Buddha. Sejak usia 13 tahun Xuanzang atau Chen Hui telah menjadi Biksu.
Dan Xuanzang merasa ada yang kurang dalam ajaran Buddha yang diterimanya selama dalam biara. Karena itu, keinginannya untuk mempelajari ajaran Buddha di tempat asalnya menjadi cita-citanya. Perjalanan Biksu Xuanzang ini menempuh jarak 26000 km, yang dilakukan selama empat tahun, dan melintasi seratusan negara kecil dalam jalur perdagangan yang dikenal dengan Jalur Sutera.
Selain mempelajari ajaran Buddha lebih dalam, Xuanzang juga mengumpulkan banyak artefak Buddha untuk dibawa ke China, terutama naskah-naskah.
Naskah-naskah berbahasa Pali tersebut diterjemahkan dalam Bahasa Mandarin, sehingga menjadi pedoman dalam pengajaran, dan penyebaran ajaran Buddha di China.
Perjalanan Xuanzang bukanlah perjalanan yang mulus-mulus saja. Bahkan disaat pertama kali akan keluar Chang’an (tempat tinggalnya yang merupakan ibukota negara saat itu), Xuanzhang mengalami hambatan. Pada saat Xuanzang memulai perjalanannya, saat itu peraturan pelarangan orang China untuk keluar dari negeri China tengah dijalankan.
Perjalanan Xuanzang sesungguhnya merupakan perjalanan ilegal karena tidak ada surat ijin untuk melakukan perjalanan, dan dilakukan ketika Xuanzang tengah mengunjungi kota lain selain Chang’an untuk meminta derma, dan memberkati orang-orang di luar Chang’an.
Karena merupakan perjalanan ilegal, Xuanzang pun dianggap sebagai buronan. Lukisan dirinya di sebarkan ke seluruh negeri, sehingga menyulitkan Xuanzang untuk bepergian dengan bebas.
Pada suatu negeri bahkan Xuanzang di’tahan’ untuk tidak meninggalkan negeri untuk mengajarkan Buddha di negeri tersebut dan menjadi pendeta utama. Xuanzang pun melakukan tindakan mogok makan selama berhari-hari untuk memprotes tindakan raja yang ‘menahan’ nya.
Akhirnya sang raja pun melepaskan Xuanzang untuk melanjutkan kembali perjalanannya. Xuanzang juga pernah mengalami kehausan ketika berada di Gurun Gobi, sedangkan tempat minumnya terbawa badai angin dan air minumnya pun lenyap bersama panasnya Gurun Gobi.
Saat Xuanzang sudah dalam keadaan sekarat ketika tiba-tiba kuda yang menemaninya membangunkannya, dan membawanya ke suatu danau dengan air yang jernih, tempat kuda-kuda liar minum.
Pada saat Xuanzang tiba di Nalanda, ternyata kedatangannya sudah ditunggu oleh biksu utama di tempat tersebut, yang bermimpi didatangi Buddha Maitreya, dan Manjusi mengatakan bahwa akan datang seorang biksu dari Timur, untuk mendalami ajaran Buddha di Nalanda, yang nantinya akan membawa ajaran Buddha kembali ke Timur dan menyebarkan secara luas disana. Xuanzang pun menghabiskan beberapa tahun di Nalanda sampai tiba waktunya dia merasa sudah cukup, dan kembali ke China.
Sebelum Xuanzang kembali ke China, Xuanzhang sempat menyelamatkan sepasang suami isteri yang dikutuk oleh pendeta Hindu, karena sebelumnya sang laki-laki mencintai sang perempuan dari kasta yang berbeda.
Sang perempuan yang berasal dari kasta Brahmana pun diusir oleh keluarganya karena dianggap sudah ternoda dengan mencintai laki-laki dari kasta yang lebih rendah.
Sejak itu si laki-laki pun memakai topeng, dan hanya bisa dibuka apabila kesalahannya sudah diampuni oleh si pendeta Hindu. Xuanzang pun datang menemui pendeta Hindu dan meminta pengampunan atas laki-laki dan perempuan tersebut.
Sang pendeta mengatakan akan mengampuni apabila si laki-laki menyucikan diri di Sungai Gangga pada satu waktu tertentu. Keesokan harinya ketika Xuanzhang dan pasangan suami isteri itu sedang ke Sungai Gangga untuk menyucikan diri, tiba-tiba badai datang dan menenggelamkan satu kapal yang berisi rupang Buddha milik Xuanzang. Segera si laki-laki tersebut berenang dan menyelamatkan rupang tersebut, dan bersamaan dengan peristiwa tersebut, terbukalah topengnya. Xuanzang pun paham bahwa Buddha telah menyelamatkan mereka.
Dari film ini, kita bisa lebih memahami ajaran Buddha. Cinta kasih, ketabahan, dan kesabaran merupakan hal utama dalam ajaran Buddha.
Pada saat Xuanzang kehilangan arah dalam perjalanan ke Barat, hampir saja Xuanzang menyerah, namun terus diucapkannya doa-doa meminta perlindungan kepada Buddha, dan semangatnya kemudian tumbuh kembali.
Buddha juga tidak membeda-bedakan manusia, tidak menyalahkan perbuatan manusia, tidak menghakimi apa yang sudah dilakukan manusia dan menerima sesuai dengan porsinya, tidak berlebih.
Seperti ketika Xuanzang menolak diberi buah yang manis, dan besar oleh seorang perempuan, melainkan lebih memilih buah yang lebih kecil dan agak asam karena buah yang besar dan manis tersebut dapat dijual dan hasil penjualan akan lebih bermanfaat bagi kehidupan si perempuan.
Tidak hanya memahami ajaran Buddha, melalui film ini, keimanan kita untuk tetap berada di jalan dharma akan semakin menguat. Kelemahan hati, kesengsaraan, dan kesedihan hanyalah suatu fase dalam kehidupan yang harus dilalui saja, bukan untuk memperburuk kehidupan kita.
Hal yang kita bisa lakukan hanyalah melakukan sebaik-baiknya apa yang ada di depan kita tanpa melanggar ajaran Buddha. Karena itu, film ini cocok sekali ditonton oleh umat Buddha dimanapun.
Film ini juga merupakan film sejarah yang harus ditonton oleh para penikmat film sejarah, dan traveler, karena perjalanan Xuanzang telah membuka jalan baru bagi orang Timur yang mau ke Barat, sehingga dapat disebut Perjalanan ke Barat ini merupakan catatan sejarah tumbuhnya traveler, terutama untuk berwisata religi. Xuanzang menghabiskan sisa hidupnya di China dengan mengajarkan Yogacara Buddhism.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H