Mohon tunggu...
diyah
diyah Mohon Tunggu... Freelancer - Dee

lulusan antropologi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Tokoh Boedi Oetomo di Banyumas, Dokter Goembrek

21 Mei 2020   09:47 Diperbarui: 22 Mei 2020   20:59 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Dokter Goembrek (Sumber : Kemendikbud)

Rumah bergaya kolonial dengan halaman yang luas itu masih kelihatan terawat. Pohon buah di halamannya membuat suasana rumah tersebut terasa teduh, dan sejuk. Saya membayangkan pada masa dulu pasti rumah ini menjadi salah satu rumah yang apik, dan baik dilingkungan nya. Bayanganku tidak salah, karena ketika mendekati rumah tersebut, terlihat kusen pintu, dan jendelanya dari kayu yang di cat dengan warna kuning gading, dan lantainya yang terbuat dari tegel, sehingga akan menyejukkan bagi yang menginjaknya. 

Pemakaian kayu, dan tegel pada sebuah rumah pada masa pemerintahan kolonial Belanda menunjukkan status pemilik rumah yang bukanlah rakyat biasa. Karena saya penasaran dengan pemilik rumah tersebut, saya pun terus mendekati rumah itu, dan ternyata ada pemilik rumah di bagian belakang. Seorang bapak tua, kira-kira berusia 70 tahunan menyambut saya dan teman saya. Beliau juga mengajak kami untuk duduk di ruang tamunya yang ternyata dulu merupakan bagian serambi dari rumah yang kami lihat. Ternyata, rumah yang kami datangi itu merupakan rumah peninggalan salah seorang tokoh Boedi Utomo, bernama Dokter Goembrek.

Dokter Goembrek bernama lengkap Raden Mas (RM) Goembrek, lahir di Kebumen 21 Juni 1885, namun di dalam data STOVIA, sekolah dokternya, tercatat bahwa lahirnya pada tahun 1886. Orangtua dokter Goembrek yaitu ayahnya bernama Raden Mas Padmokoesoemo, keturunan dari bupati pertama yang mendirikan Purworejo, dan ibunya bernama Raden Adjeng Marsidah keturunan dari bupati Cilacap. Pada saat Goembrek masih kecil, ibunya meninggal, dan ayahnya kemudian menikah dengan adik ibunya. Kata ‘Goembrek’ sendiri diambil dari kalender jawa, yaitu wuku ke-6, Gumbreg. Didalam tulisan ini, nama Goembrek yang dipakai, sesuai dengan referensi dari tulisan kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan catatan dari Gedung Stovia atau Museum Kebangkitan Nasional. 

Menyelesaikan pendidikannya di ELS Purwokerto, Goembrek diharapkan ayahnya mengikuti ujian klein ambtenaar (pegawai rendah) setelah tamat ELS, namun Goembrek memilih mengikuti kakaknya RM Arnad bersekolah di STOVIA di Batavia. Sejak tahun 1902, Goembrek bersekolah di Stovia, dan bergabung dengan organisasi Boedi Utomo. 

Sejak itu, Goembrek pun mulai tumbuh rasa nasionalismenya dan terus mendukung pergerakan Boedi Utomo dengan meminta dukungan dari para bupati yang masih memiliki ikatan kekerabatan dengannya. Seusai menyelesaikan pendidikannya di STOVIA, Goembrek bertugas di berbagai tempat di Hindia Belanda sesuai dengan ikatan dinasnya. Bekerja sebagai dokter pemerintah Hindia Belanda, tidak menjadikan Goembrek lupa akan identitas nya sebagai ‘bumiputera’. Ketika menjalankan tugasnya sebagai dokter, Goembrek selalu melayani dan memeriksa kesehatan rakyat ‘bumiputera’ dengan sungguh-sungguh.

Gambar Dokter Goembrek (Sumber : Kemendikbud)
Gambar Dokter Goembrek (Sumber : Kemendikbud)

Ketika Dokter Goembrek bertugas di Banyumas, Dokter Goembrek tinggal di rumah yang saya datangi ini. Bersama isterinya, Raden Ajeng Samsidah, sepupunya sendiri, yang dinikahi pada tahun 1920, dan beberapa orang asisten, menurut bapak Jono, pemilik rumah saat ini, rumah Dokter Goembrek selalu sibuk menerima pasien dari masyarakat ‘bumiputera’ di sekitar Banyumas. Bahkan bagian rumahnya ada yang dijadikan tempat pasien menginap bagi yang datang dari luar kota atau yang akan melahirkan. Dokter Goembrek menjadi dokter penyakit apapun saat itu, termasuk perempuan yang akan melahirkan, namun spesialisasinya Dokter Goembrek yaitu penyakit yang disebabkan cacing pita, dan sanitasi.  

Pak Jono mengajak kami berkeliling rumahnya sambil bercerita tentang Dokter Goembrek. Ternyata rumah ini sudah bukan milik Dokter Goembrek lagi setelah beliau wafat, dan tidak meninggalkan keturunan sama sekali, sedangkan isterinya sudah lebih dulu wafat. Pak Jono, pemilik rumah sekarang ini tidak ada hubungan keluarga sama sekali dengan Dokter Goembrek. 

Namun Pak Jono bisa menceritakan sedikit mengenai rumah tersebut, karena ruangan dalam rumah tersebut masih seperti pada waktu dokter Goembrek ada, hanya bagian serambi yang sudah dirubah menjadi ruang tamu, dan ruang belakang yang sudah diubah menjadi tempat usaha sablon pak Jono. 

Pada bagian depan rumah, terdapat ruang tamu untuk menerima pasien atau tamu sang dokter, namun lebih sering pasien yang datang ke rumah tersebut. Pasien tersebut akan diperiksa oleh Dokter Goembrek di salah satu kamar di bagian depan. Kamar tersebut masih berisi perabot seperti meja, dan kursi milik Dokter Goembrek. 

Rupanya ketika rumah tersebut dijual, perabot rumah pun ikut disertakan karena tidak ada yang mewarisi. Lantai tegel bermacam-macam bentuk dan corak terlihat berada di hampir seluruh ruang, kecuali serambi yang sudah diubah menjadi ruang tamu. Ruang tamu depan sekarang dibiarkan kosong karena sering digunakan untuk olahraga senam.

Memasuki ruang demi ruang rumah tersebut, saya pun membayangkan pada masa Dokter Goembrek masih ada dan menerima pasiennya. Pasti sang Dokter akan sangat sibuk, karena pada beliau bertugas, ada banyak penyakit dan masalah kesehatan yang dialami penduduk ‘bumiputera’ terutama terkait dengan sanitasi. 

Bagaimana Dokter Goembrek menjadi semacam ‘dewa penolong’ bagi masyarakat ‘bumiputera’ terutama bagi yang tidak memiliki uang untuk membayar jasa pemeriksaan dan pelayanan sang Dokter. Perjuangan dan dedikasinya untuk menyehatkan rakyat ‘bumiputera’ dilakukan dengan bekerja sebagai dokter di rumah sakit pemerintah dari masa ke masa. Dokter Goembrek tidak pernah membuka praktek swasta, namun pasien selalu datang ke rumahnya, dan Dokter Goembrek tidak pernah mengenakan biaya pada pasiennya yang datang. Hal ini diceritakan oleh Pak Jono dari cerita para keluarganya yang menjual rumah peninggalan Dokter Groembrek.

Sayangnya sampai saat ini nama Dokter Groembrek tidak terlalu dikenal oleh dunia kedokteran Indonesia, terutama di Banyumas, tempatnya bermukim, dan meninggal pada tahun 1962. Nama Dokter Groembrek hanya menjadi nama satu jalan di Banyumas, dan potretnya terpampang di Gedung STOVIA yang sekarang menjadi #MuseumKebangkitanNasional. Tidak ada pula gelar pahlawan nasional, dan pemberian cagar budaya untuk benda atau peninggalan tokoh luar biasa ini.  

Karena itu berkaitan dengan peringatan #HariKebangkitanNasional tiap tanggal 20 Mei, yang bertepatan dengan hari kelahiran Boedi Oetomo, sudah seharusnya pemerintah dan masyarakat untuk lebih menghargai para tokoh Boedi Oetomo lainnya, misalnya dengan cara memberikan nama tersebut pada rumah sakit di daerah masing-masing, memberikannya gelar pahlawan nasional atau memberikan penghargaan cagar budaya pada peninggalan tokoh tokoh Boedi Oetomo termasuk Dr.Goembrek. 

Bahwa sejarah kebangkitan nasional seharusnya tidak hanya bertumpu pada cerita dan benda peninggalan tokoh seperti Dr.Ciptomangunkusumo, Dr.Soetomo, Soewardi Soeryaningrat dan Douwes Dekker saja, melainkan juga tokoh lainnya yang mendukung pergerakan Boedi Oetomo, sehingga perjalanan sejarah #kebangkitan nasional Indonesia menjadi lebih utuh, dan merepresentasikan banyak tokoh nasional yang mendukung kebangkitan nasionalisme rakyat Indonesia (Didy).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun