Secara turun temurun, masyarakat Indonesia sudah terbiasa menggunakan berbagai macam bahan tambahan alami untuk mengawetkan atau menambah warna pada makanan. Misalnya untuk mendapatkan warna kuning, biasanya dipakai kunyit, untuk kue berwarna hijau digunakan daun suji atau pandan, sedangkan untuk mengawetkan bahan makanan dapat digunakan garam.
Sayangnya, kemudian banyak pedagang makanan, yang berpikir untuk mendapatkan bahan makanan lebih murah dan gampang didapat, tapi dapat dijual dengan harga yang sama atau lebih mahal, sehingga keuntungan yang banyak cepat didapat. Akhirnya para pedagang makanan ini pun menggunakan bahan kimia yang lebih murah dan gampang didapat, bahkan bahan kimia untuk tekstil. Bukan hanya alasan itu, warna yang dihasilkan pewarna tekstil dianggap lebih cerah, dan menarik mata.
Di Bali pada tahun 2017 lalu, ketika menjelang perayaan Hari Galungan, Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BB POM) Denpasar Bali, menemukan penggunaan pewarna tekstil jenis rhodamine B, pada kue-kue yang dijual pada pasar tradisional seperti bolu kukus, apem, dan jipang, dan kue-kue yang biasa digunakan untuk sembahyang.
Di bulan Juni, tepatnya pada bulan puasa, BB POM Padang, bahkan menemukan cendol yang menggunakan zat pewarna jenis rhodamine B juga, untuk keperluan buka puasa (kompas.com). Â
Sedangkan zat pewarna tekstil jenis methanol yellow masih kerap ditemukan di tahu kuning, atau ikan bumbu kuning, yang dijual di pasar-pasar tradisional. Beberapa jajanan anak-anak di sekolah, seperti sosis, atau minuman sirup, juga masih teridentifikasi menggunakan pewarna tekstil, dengan alasan lebih murah dan mudah didapatkan.
Tidak hanya itu, pembuatan jajanan anak-anak di sekolah juga teridentifikasi tidak sehat, yaitu dengan penggunaan minyak goreng berkali-kali, sampai warnanya hitam, untuk jajanan gorengan atau yang perlu di goreng. Â
Bukan hanya zat pewarna tekstil yang perlu diwaspadai ketika mengkonsumsi makanan yang tidak kita buat sendiri, melainkan juga kandungan dalam makanan olahan yang diawetkan, atau siap saji. Kasus terakhir, BP POM baru saja menemukan adanya cacing berbahaya dalam makanan olahan berupa ikan makarel atau tuna yang diawetkan dalam kaleng.
Karena itu, sebagai konsumen yang bijak dan cerdas, kita harus waspada dengan penggunaan bahan-bahan pewarna tekstil atau kandungan dalam makanan yang beredar di luar rumah kita. Misalnya untuk ikan, daging, atau ayam potong, yang kita beli dari pasar, pastikan kita membeli produk yang segar, tanpa bahan pengawet. Kita harus mengerti bahwa ciri-ciri bahan makanan yang berformalin yaitu kenyal, tidak dihinggapi lalat, berbau formalin menyengat dan tahan selama 3 hari dalam suhu kamar.
Kita juga harus memerhatikan keemasan bahan makanan atau minuman yang dijual, tidak hanya kelihatan bersih karena dilapisi plastik atau di tempatkan di wadah yang tertutup dari debu, tapi juga kita harus mulai memperhatikan bahan yang di kandungnya seperti ikan makarel atau tuna kalengan tadi, serta kritis terhadap proses pembuatan dan pengemasan akhirnya.
Jadi ketika kita akan membeli suatu bahan makanan atau minuman kalengan di pasar atau di toko, kita harus melihatnya dengan teliti. Kita harus membaca dengan cermat kandungannya, dipastikan label nya masih tercantum dengan baik, kadaluarsanya tercantum dengan jelas, keemasannya masih baik, tidak penyok, atau berlubang, dan untuk yang beragama Islam, harus dipastikan bahwa terdapat tulisan halal di produknya.
Berkaitan dengan bahan pengemas, sebaiknya tidak menggunakan Styrofoam atau plastik, karena mengandung bahan berbahaya ketika di panaskan. Selain berbahaya bagi kesehatan, juga berbahaya bagi lingkungan tentunya karena Styrofoam hanya bisa hancur dalam waktu lebih dari 500 tahun. Sayangnya masih banyak restoran ternama yang menggunakan bahan styrofoam untuk mengemas makanannya.