"Ari kudu dicandung mah, cadu," itulah prinsip Ibu Inggit Ganarsih, ketika suaminya, Soekarno akan menikah lagi dengan perempuan Bengkulu, bernama Fatmawati. Ketidakinginan untuk di poligami, membuatnya memilih pergi dari sisi suaminya, dan kembali ke Bandung, tempat semuanya berawal.
Ucapan dan kisah Ibu Inggit Ganarsih ini dapat kita temukan pada rentetan panel mengenai beliau mulai berkenalan sampai meninggal, di kediamannya di Jalan Inggit Ganarsih, Bandung, yang dulu bernama Jalan Ciateul.
Rumah yang merupakan kediaman pertamanya ketika baru menikah dengan Soekarno ini, awalnya sudah dijual kepada orang lain, namun berhasil di beli kembali tanahnya atas inisiatif Bung Hatta dan teman-teman Soekarno lainnya, pada tahun 1950.
Pada tahun 2015, rumah ini kemudian di pugar sehingga mirip dengan bangunan awal, dan dijadikan rumah bersejarah Inggit Ganarsih.
Rumah bergaya art deco ini memiliki beberapa ruangan terdiri dari ruang tamu, ruang tengah, kamar tidur, kamar baca, kamar kerja, gudang, dapur, kamar mandi, dan kamar pembantu. Konon, di kamar baca lah Soekarno atau sering dipanggil Engkus, oleh Ibu Inggit menghabiskan banyak waktunya untuk membaca buku-bukunya dan menulis.
Sayangnya meskipun rumah tersebut sudah dikembalikan ke bentuk asalnya, perabot dalam rumah sama sekali tidak ada yang tersisa. Menurut keterangan juru pelihara rumah tersebut, perabot yang masih tersisa seperti meja belajar, lemari, kursi, dan meja, masih tersimpan baik di kediaman salah satu cucu nya.
Karena itu apabila kita berniat mengunjungi rumah ini, maka kita hanya bisa melihat panel-panel cerita tentang hidup ibu Inggit dan foto-foto lama nya bersama keluarga, teman, kerabat, dan tentunya Bung Karno.
Adapun ibu Inggit menikah dengan Bung Karno pada saat berumur 35 tahun dan berstatus janda. Sedangkan Bung Karno berumur 22 tahun dan masih bersekolah di sekolah teknik, yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung atau ITB.Â
Lucunya, di surat pernikahan mereka yang tertempel di salah satu dinding rumah, berdampingan dengan surat cerainya, umur ibu Inggit menjadi 25 tahun, sedangkan Soekarno menjadi 24 tahun.
Ketika Bung Karno masih kuliah, ibu Inggit lah yang membiayai pendidikannya, dari hasil jualan jamu, hasil bumi, dan lain-lainnya. Ibu Inggit lah yang setia mengunjungi Engkus ketika dipenjara, membawakan nya selalu buku-buku dan koran, sehingga Soekarno dapat membaca dan mengetahui berita-berita yang tengah terjadi di Indonesia ketika dirinya berada di penjara.
Kemudian ketika Bung Karno dibuang ke Ende, Nusa Tenggara Timur, dan menderita sakit malaria, ibu Inggit lah yang menemani dan setia merawatnya hingga sembuh dan kembali ke Jakarta. Sayangnya perjuangan ibu Inggit ini jarang dituliskan dalam sejarah.
Rumah bersejarah ini buka setiap hari dari jam 09.00 sampai jam 17.00. Tidak ada biaya masuk ke rumah ini alias gratis (Diyah Wara)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H