Siang itu rasa panas yang menyengat tidak menyurutkan langkah kami menuju ke sebuah bangunan tua yang sudah dijadikan bangunan cagar budaya. Lokasi bangunan tua tersebut ternyata berada di dalam sebuah rumah sakit, bernama Rumah Sakit Umum Dr.Ajidarmo Rangkasbitung. Ya, kami sedang berada di Rangkasbitung, Banten.
Rangkasbitung, ibu kota kabupaten Lebak ini merupakan salah satu daerah lama. Sejak masa pemerintahan kolonial Belanda, wilayah ini sudah menjadi basis pergerakan rakyat, dan menjadi kota terbesar kedua di Banten setelah Serang.
Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1945, sebelum kemerdekaan Indonesia, para pemuda Banten yang bergabung dalam Badan Keluarga Pembantu Peta (BPP) melakukan pertemuan di salah satu rumah tokoh di Rangkasbitung untuk membicarakan kemungkinan Indonesia merdeka dan mengirimkan pemuda ke Konferensi Pemuda di Jakarta, 9 Agustus 1945.
Rangkasbitung berasal dari kata Rangkas berarti Patah dan Bitung yang merupakan nama pohon bambu. Konon pada masa dulu, ada sebuah pohon bambu besar yang rindang dan mengeluarkan sumber air untuk digunakan oleh penduduk sekitarnya namun tidak pernah habis. Oleh karena itu, penduduk pun menganggap pohon bambu tersebut keramat. Penduduk kemudian mulai menyembah dan meminta apapun pada pohon bambu tersebut, sampai seorang kiai sampai di daerah tersebut. Sang kiai pun menasehati para penduduk untuk tidak menyembah dan meminta apapun pada pohon bambu karena dianggap musyrik.
Sayangnya tidak ada satupun penduduk yang mendengarkan sang kiai. Tiba-tiba, datanglah angin yang besar dan mematahkan pohon bambu bernama Bitung tersebut. Sejak itu pun wilayah tersebut dinamakan Rangkasbitung, atau pohon bambu Bitung yang patah. Â Â
Itu kisah legenda asal muasal Rangkasbitung. Kembali ke bangunan cagar budaya yang berada di Rangkasbitung, kami pun masuk kedalam rumah sakit untuk bisa mencapai halaman belakang, atau lebih tepatnya tempat parkir motor, untuk melihat bangunan cagar budaya yang dimaksud.
Bangunan tersebut masih berdiri, tapi berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Semuanya kotor, berantakan, tidak terurus sama sekali. Hal yang paling menyedihkan, terlihat ada bangkai tikus besar yang baunya terasa begitu menyengat ketika kami mendekati bangunan, dan tidak ada satupun yang peduli, padahal berada di halaman parkir sebuah rumah sakit. Â
Meskipun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, kami masih bisa membaca papan peringatan bangunan cagar budaya. Ternyata ini lah Rumah Multatuli. Multatuli (dari bahasa latin multa tuli, berarti "banyak yang sudah aku derita"), nama pena dari Eduard Douwes Dekker, seorang penulis Belanda yang pertama kali menuliskan tentang penderitaan rakyat Indonesia ketika pemerintahan kolonial Belanda berkuasa di Rangkasbitung, Lebak, Banten Selatan.
Melalui bukunya berjudul "Max Havelaar", terbit pada tahun 1860 di Belanda bercerita tentang pengamatan dan pengalamannya ketika menjadi Asisten Residen Lebak pada Januari sampai April 1856. Saat itu, sekitar pertengahan abad ke-19, di berbagai tempat di nusantara termasuk Lebak, pemerintah kolonial Belanda sedang menjalankan Sistem Tanam Paksa atau dikenal dengan Cultuurstelsel. Sistem Tanam Paksa ini memaksa petani-petani di Jawa untuk menanam tanaman dagang yang diperuntukkan dalam perdagangan dunia.
Tujuan sistem ini yaitu agar pendapatan pemerintah kolonial Belanda meningkat. Akibatnya petani pun dituntut untuk terus bekerja tanpa istirahat, tidak memiliki penghasilan dari hasil pertaniannya, sehingga penduduk semakin miskin dan mati kelaparan. Ditambah lagi umumnya pejabat pribumi Lebak mendukung Sistem Tanam Paksa ini semakin memperparah kehidupan rakyat Lebak.Â
Kondisi inilah yang dituliskan oleh Multatuli, sehingga dianggap berlawanan dengan pemerintahan, dan berakibat dengan singkatnya masa jabatannya sebagai Asisten Residen Lebak. Pada perkembangannya, buku Multatuli ini sangat terkenal di dunia, dan mendorong penghapusan Sistem Tanam Paksa.
Karya Multatuli yang besar gaungnya dan menginspirasi gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial ternyata tidak memberi pengaruh besar pada kehidupan si penulisnya. Multatuli atau E. Douwes Dekker meninggal dalam keadaan miskin dan pengangguran. Sementara itu rumah tinggalnya selama di Lebak juga tidak terurus dan terabaikan. Meskipun masih ada silang pendapat mengenai fakta sejarah bangunan tempat tinggal Multatuli tersebut, namun tidak selayaknya bangunan yang 'dianggap' sebagai rumah tinggal Multatuli dibiarkan begitu saja.
Namun letak atap yang tinggi, lantai yang masih menggunakan tegel, ukuran pintu yang besar, kusen-kusen kayu jati, masih menyisakan banyak pertanyaan kemungkinan rumah tersebut memang rumah lama. Hal yang diperlukan yaitu identifikasi detail mengenai rumah tersebut sebelum ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya, dan kemungkinan di rekonstruksi menjadi rumah pada masa Multatuli tinggal.
Sayangnya, rekonstruksi bangunan ini hanyalah menjadi wacana diskusi saja, yang kemudian menguap ketika berhadapan dengan realita. Saya menemukan berita mengenai diskusi rekonstruksi bangunan yang ditulis pada tahun 2010, dan diskusinya sudah dimulai sejak tahun 2006. Bahkan sudah dilakukan penelitian oleh Badan Pelestarian Peninggalan Pubakala (BP3) Provinsi Banten, namun sampai 2017 ini tidak ada satupun kegiatan yang mengarah pada rekonstruksi bangunan.Â
Bahkan bangunan pun tidak dipagar sama sekali dan dijadikan tempat sampah barang-barang yang sudah tidak dipakai oleh rumah sakit. Dari berita yang saya temukan, kemungkinan rekonstruksi belum bisa berjalan dikarenakan bangunan sudah menjadi bagian dari rumah sakit, alasan yang menurut saya terlalu diada-adakan. Kenapa? Karena rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit umum daerah, yang artinya merupakan aset dari pemerintah daerah, jadi tidak ada alasan untuk menolak rekonstruksi yang dikerjakan oleh pemrintah daerah sendiri.Â
Menurut saya, sekarang yang diperlukan adalah niat baik dan usaha keras dari semua pihak, memilih untuk tetap melestarikan bangunan bersejarah, atau melupakan sejarah dengan menghilangkan bangunan bersejarah. (Diyah Wara)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H