Karya Multatuli yang besar gaungnya dan menginspirasi gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial ternyata tidak memberi pengaruh besar pada kehidupan si penulisnya. Multatuli atau E. Douwes Dekker meninggal dalam keadaan miskin dan pengangguran. Sementara itu rumah tinggalnya selama di Lebak juga tidak terurus dan terabaikan. Meskipun masih ada silang pendapat mengenai fakta sejarah bangunan tempat tinggal Multatuli tersebut, namun tidak selayaknya bangunan yang 'dianggap' sebagai rumah tinggal Multatuli dibiarkan begitu saja.
![Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/09/24/20170923-110257-59c7c2294fc4aa24cd0842c2.jpg?t=o&v=555)
Namun letak atap yang tinggi, lantai yang masih menggunakan tegel, ukuran pintu yang besar, kusen-kusen kayu jati, masih menyisakan banyak pertanyaan kemungkinan rumah tersebut memang rumah lama. Hal yang diperlukan yaitu identifikasi detail mengenai rumah tersebut sebelum ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya, dan kemungkinan di rekonstruksi menjadi rumah pada masa Multatuli tinggal.
Sayangnya, rekonstruksi bangunan ini hanyalah menjadi wacana diskusi saja, yang kemudian menguap ketika berhadapan dengan realita. Saya menemukan berita mengenai diskusi rekonstruksi bangunan yang ditulis pada tahun 2010, dan diskusinya sudah dimulai sejak tahun 2006. Bahkan sudah dilakukan penelitian oleh Badan Pelestarian Peninggalan Pubakala (BP3) Provinsi Banten, namun sampai 2017 ini tidak ada satupun kegiatan yang mengarah pada rekonstruksi bangunan.Â
Bahkan bangunan pun tidak dipagar sama sekali dan dijadikan tempat sampah barang-barang yang sudah tidak dipakai oleh rumah sakit. Dari berita yang saya temukan, kemungkinan rekonstruksi belum bisa berjalan dikarenakan bangunan sudah menjadi bagian dari rumah sakit, alasan yang menurut saya terlalu diada-adakan. Kenapa? Karena rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit umum daerah, yang artinya merupakan aset dari pemerintah daerah, jadi tidak ada alasan untuk menolak rekonstruksi yang dikerjakan oleh pemrintah daerah sendiri.Â
Menurut saya, sekarang yang diperlukan adalah niat baik dan usaha keras dari semua pihak, memilih untuk tetap melestarikan bangunan bersejarah, atau melupakan sejarah dengan menghilangkan bangunan bersejarah. (Diyah Wara)