Mohon tunggu...
Wardatul 'Uyun
Wardatul 'Uyun Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hijab Stylist at: http://www.youtube.com/TheHasanVideo

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kompasiana Mendidik Kompasianer Lebih Bersabar

22 Juni 2012   03:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:41 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13403360191696683401

Boleh Marah Tapi Marahlah Dengan Anggun

Engkau yang sedang marah,  berhati hatilah dengan pelampiasan kemarahanmu.Janganlah engkau merasa aman karena engkau hanya melampiaskannya sebentar, tidak lama dan setelah itu engkau bersabar lagi dan meminta maaf. Marahlah, tapi gunakanlah tenaga dari kemarahanmu untuk menaikan kelasmu [Mario Teguh]

Sejak bergabung dengan Kompasiana pertengahan Januari lalu, saya hanya berkutat sebagai silent reader, setia menikmati suguhan penulis Kompasianer yang produktif menelurkan tulisan dengan tanpa merating, tanpa meninggalkan jejak. Seterusnya begitu hingga setengah bulan kemudian, terbesit di hatiku untuk menayangkan tulisan. Maka tepat tanggal 1 February 2012 pukul 20:21 kupostingkan tulisan pertamaku, sebuah fiksi cinta picisanyang ku copy paste dari folder lama.

Ke-2, ke-3, hingga ke -5 kalinya masih saja ku posting tulisan-tulisan jadul yang saya sendiri sudah lupa alur ceritanya. Hingga akhir bulan Mei, kupaksakan diri untuk menulis, sekedar catatan yang berserak dikisahku. Lalu menanjak ke tulisan opini yang untuk pertama kalinya mendapat getokkan stempel Ha-El dari bang Mimin. Sejak saat itu, saya percaya bahwa setiap manusia punya kemampuan menulis. Menyampaikan, dan menuangkan segala ide, kesah, keluh dan kisah untuk disampaikan ke pembaca. Sama halnya ketika kita berbicara, menulis bukanlah bakat melainkan kebiasaan yang terus diasah dan dipertajam. Begitulah, saya dan anda sekalian pasti sudah membuktikan, bukan?

Bagaimanapun menulis di media selalu mencuatkan banyak komentar dan perbedaan. Khususnya ketika kita menuangkan opini, sudah pasti kontroversi dan silang pendapat menjadi bumbu WAJIB dalam ranah ini. Dan kebetulan, saya yang terlahir dan dibesarkan dengan lingkup kritis dan demokratis, selalu tergelitik untuk menuangkan ide, menuliskan pikiran dan segala opini yang memenuhi lobus frontal otak kiri. Sudah pasti, ketika berpendapat selalu ada pro dan kontra, sayangnya walau saya kritis tapi menjadi terbebani jika harus berdebat hebat.

Ya, mendebat lawan dan mempertahankan pendapat. Tidak salah memang. Karena pada hakekatnya setiap kepala pasti beda isi beda pendapat. Yang salah adalah ketika kita menyerang dengan tajam kata lalu menjatuhkan dan merendahkan lawan untuk kemudian menganggap kita paling benar. Sehingga timbul perang MAYA. Dimana sesama Kompasioner sebegitu mudahnya saling menghujat Kompasianer lainnya demi kepentingan ego sendiri. Menyulut api kemarahan dan membakar indahnya persahabatan. Well, mengutip suhu Mario Teguh, boleh marah tapi marahlah dengan anggun. Sebab pada kenyataannya kemarahan bukan solusi final untuk menyelesaikan masalah.

Dalam dunia perfesbukan, twitteran dan sebagainya, “berdebat dengan kawan maya sepertinya sudah lumrah” sehingga muncul istilah “twitter war” yang bahkan sering terjadi dikalangan artis lokal, nasional hingga manca negara. Begitupun di Kompasiana, kembali ke belakang ketika hanya menjadi silent reader, saya sedikit kaget ketika membuka tulisan-tulisan saling menyerang dan tanpa sungkan menyebut nama user yang menjadi objeknya. Sungguh, kepala ini kontan menjadi ikut cenut-cenut dan tak nyaman ketika harus disuguhi hidangan brutal dari para Kompasianer yang perang tulisan. Tak tahu harus berpihak pada siapa dan membela yang mana. Kalau sudah begitu, cukup kututup lapak, berburu postingan lain yang lebih membawa manfaat dan menginspirasi.

Tak terbesit sedikitpun jika saya ternyata harus terlibat didalamnya. Ketika tulisan saya dihujat walau tak sedikitpun saya bermaksud menggugat pembaca dan menyebarkan permusuhan. Selama ini saya selalu berusaha netral dan menuliskan dengan hati berdasarkan realita. Itu saja. Dan jika ada yang meninggalkan jejak yang menyesak didada, sebisa mungkin saya anggap sebagai angin lalu. Berusaha untuk tidak termakan amarah. Padahal jika di fesbuk, mudah saja solusinya. Jika ada teman yang berkomentar nyinyir dan melukai perasaan. Maka cukup dengan diam, tak usah lagi dibicarakan, tekan tombol “unfriend” atau “blocked”. Selesai sudah masalah. Tapi di KOMPASINA ternyata tidak begitu. Tidak ada ajaran untuk mem-blocked sesama kompasianer. Walau ada fasilitas hapus teman, tapi kita masih bisa saling berkomentar. Ini yang susah sungguh untuk menjadi kompasianer sejati. Menjadi pribadi yang benar-benar lapang dada dan rendah hati.

Mungkinkah ini misi indah Bang Mimin untuk mengakurkan sesama Kompasianer? Sehingga penggunanya tidak lagi lari dari masalah dan lebih menghindari konflik daripada harus bersitegang dengan pendapatnya. Apapun motifnya, terimakasih ku ucapkan pada Bang Mimim atas kebijakannnya untuk tidak menerapkan stempel “UNBLOCK” pada penghuninya. Semoga ini menjadi cermin bagi sesama Kompasianer utuk berkaca: bahwa betapa ruwetnya permusuhan, selalu ada jalan keluar untuk berdamai. Bukan berarti harus disudahi dengan kata sakti “UNBLOCK”. Selesai.

Well, Kompasiana boleh MAYA. Dimana kebanyakan pengikutnya hanya bersitatap muka lewat tulisan dan tinggalan jejak ataupun colekan rating belaka. Tapi ingat, ketika kita menebarkan permusuhan dan kebencian, sakit yang ditimbulkan tidak lagi MAYA melainkan NYATA adanya. Dus, melalui tulisan ini, saya ingin menggandeng tangan segenap user kompasiana untuk salingmemupuk persahabatan yang membawa damai.Saya Didowardah, maafkanlah jika satu-dua kali secara tak sengaja telah menyakiti sekalian pembaca Kompasiana. Teruslah menulis, karena lewat tulisan, pikiran dan ide kita bisa dibaca banyak orang, yang mudah-mudahan membawa manfaat dan kebaikan. Dan jika harus ada perbedaan. Teruslah berdebat, tapi tetaplah meninggikan nilaimu dengan kata-kata manis yang tak meninggalkan luka.

Ya, Boleh Berdebat, Tapi Berdebatlah Dengan Santun...

Engkau yang sedang berbeda pendapat, berhati-hatilah dengan tajam lidahmu.

Jangan engkau merasa paling benar sehingga menuang paksa semua kata-kata hujatan yang merendahkan nilaimu di mata kawan, lawan dan Tuhan...

Berdebatlah, tapi pilihlah kata-kata paling manis yang tak meninggalkan luka..

Sehingga meninggikan nilai kita sebagai manusia, dan memuliakan kita dimata sesama..

Berilah penghargaan pada lawanmu jika kita ingin dihargai..

Jangan pernah menyulut api permusuhan dengan tutur kata yang menyinggung perasaan..

Sebab sejatinya hidup terasa lebih indah dengan perbedaan..

Perbedaan yang menuntun kita ke ranah yang lebih baik..

Perbedaan yang mendamaikan dan mendewasakan.. [Dido Wardah]

SALAM DAMAI

picture's taken from ......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun