Sekitar empat tahun yang lalu, saya pernah ngobrol dan foto bareng dengan Nadiem Makarim di Jakarta. Ada banyak hal yang saya tanyakan ke Nadiem diantaranya alasannya membuat startup Gojek. Jawaban dia cukup sederhana, karena alasan susah mencari ojek pada saat dibutuhkan.
Dia mengatakan bahwa Indonesia itu negara dengan jumlah populasi terbesar keempat setelah China, India dan Amerika Serikat. Ada banyak permasalahan yang ada di sekitar kita, tetapi dari permasalahan tersebut, beberapa diantaranya adalah peluang untuk menghasilkan sesuatu.
Seperti halnya Gojek, yang menjadi solusi bagi sebagian orang yang membutuhkan transportasi cepat diantara kemacetan ibukota dan atau kota-kota besar lainya.Â
Walaupun pada awal-awalnya sering terjadi penolakan dari tukang ojek pangkalan tetapi kini sudah jarang terjadi pertikaian dengan tukang ojek pangkalan karena kini sebagian ojek pangkalan juga ternyata tukang ojek online.Â
Tetapi sejak Rabu tanggal 23 Oktober 2019 lalu, dia diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia oleh Presiden Jokowi yang secara otomatis menjadi atasan saya karena saya adalah seorang pendidik, walaupun dia lebih muda dari saya harus tetap menghargai dia karena posisinya sebagai menteri.
Namun demikian ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan kepada Mas Menteri Nadiem Makarim yang mungkin belum diketahui :
Pertama, Perhatikan nasib guru honorer di seluruh Indonesia. Saya sendiri sebelum menjadi PNS pernah menjadi guru honorer dan mengabdi selama beberapa tahun. Permasalahan yang dihadapi oleh guru honorer adalah pendapatannya tidak sesuai dengan gelar dan pendidikannya.
Guru honorer mayoritas berpendidikan S1 dengan honorarium dari sekolah mulai 300 ribu hingga di bawah 1 juta, itupun dibayar setelah BOS (Bantuan Operasional Sekolah) cair.Â
Hal ini tentu berbeda dengan guru SMA atau SMK yang dikelola oleh Dinas Pendidikan Provinsi. Guru-guru honorer yang mengajar di SMA atau SMK mendapatkan gaji minimal UMR (Upah Minimal Regional).
Kedua, Bagaimana kejelasan nasib guru PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja)?. Sampai saat ini guru-guru yang lulus tes PPPK belum mendapatkan kejelasan kapan diberi SK dan penempatannya. Padahal usianya rata-rata sudah di atas 40 tahun bahkan ada yang mendekati 50 tahun.Â
PPPK memang tidak hanya guru, tetapi mereka sedang menunggu keputusan pemerintah tentang kelanjutannya. Mudah-mudahan pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan segera mengatasi hal tersebut. Â Â
Ketiga, Pemerataan Fasilitas Pendidikan. Fasilitas pendidikan di Indonesia masih belum merata. Ada sekolah yang memiliki fasilitas lengkap, tetapi tidak sedikit di daerah fasilitasnya seadanya.Â
Sehingga masih ada kesenjangan antara peserta didik yang ada di desa dengan di kota. Ini menjadi tantangan bagi Nadiem Makarim untuk bisa melakukan pemerataan fasilitas pendidik di Indonesia.
Keempat, Guru tidak disibukkan dengan berbagai macam perangkat. Salah satu hal yang membuat guru terkadang tidak konsen dalam mengajar adalah banyaknya perangkat yang harus dikerjakan oleh guru. Bahkan terkadang banyak kegiatan yang mengakibatkan peserta didik tidak mendapatkan haknya untuk didik oleh gurunya.
Guru cukup membuat perangkat yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran saja tidak dengan pembuatan perangkat lainnya yang terkadang bukan tugas guru. Guru harus mendidik muridnya sehingga diharapkan menjadi orang yang bertaqwa kepada Tuhannya, memiliki pengetahuan, ketrampilan dan karakter yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Kelima, Kurikulum yang sesuai dengan perkembangan zaman. Ada beberapa materi pelajaran yang diajarkan di sekolah menurut pendapat saya tidak sesuai dengan usia dan sudah ketinggalan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu sebaiknya materi-materi tertentu dievaluasi dan disesuaikan dengan perkembangan anak dan zaman.
Keenam, Peserta didik harus diberi pengetahuan tentang kewirausahaan. Mindset atau cara pandang sebagian guru selama ini hanya mengajarkan peserta didik setelah lulus sekolah untuk bekerja. Padahal kalau mereka bisa menggali potensi yang dimiliki oleh peserta didik, mungkin bisa lebih dari hanya sekedar pekerja tetapi owner atau pemilik walaupun hanya kecil-kecilan.Â
Sehingga pendidikan kewirausahaan harus disematkan dalam setiap mata pelajarn sehingga setelah keluar dari sekolah terutama SMA dan SMK, mereka bisa menjadi wirausahawan walaupun kecil-kecilan apabila tidak mendapatkan pekerjaan atau menghasilkan karya-karya inovatif dari dunia digital yang bisa menghasilkan dan bermanfaat bagi orang banyak. Â Â Â
Itulah pesan saya untuk Mas Menteri Nadiem Makarim, mungkin masih banyak hal-hal lain yang ingin disampaikan oleh guru-guru dari seluruh Indonesia. Mudah-mudahan pesan ini bisa dibaca oleh Mas Menteri dan menjadi catatan kecil untuk lebih memajukan pendidikan di Indonesia. Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H