Di Indonesia setiap pengangkatan menteri baru identik dengan munculnya kebijakan baru. Memang tidak ada yang salah dengan kebijakan baru tetapi dampak baik buruknya harus dipertimbangkan terlebih dahulu secara matang bukan hanya sekedar “ini kebijakan saya loh”.
Begitu juga dengan wacana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi yang berencana akan membuat kebijakan Full Day School, tentu akan membuat pro dan kontra. Apalagi Mendikbud berencana memberlakukan wajib hadir delapan jam bagi guru di sekolah terutama bagi guru yang sudah mendapat sertifikasi atau tunjangan profesi.
Maksudnya memang baik untuk membuat pendidikan di Indonesia lebih baik, pelajarnya lebih cerdas, dan memiliki karakter. Tapi pernahkah Bapak Menteri mengajar hadir selama delapan jam di sekolah atau mengajar selama delapan jam di kelas?.
Guru bukan karyawan yang harus berada di tempat kerja selama delapan jam. Saat guru mentransfer ilmu kepada peserta didik, energi yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan karyawan biasa yang bekerja di kantoran. Pasalnya guru berkerja tidak hanya fisik yang bekerja tetapi juga otak.
Sementara karyawan di perusahaan swasta atau BUMN bekerja 8 jam perhari sebanding dengan pendapatan gajinya yang besar, sementara untuk guru, tidak semua guru mendapatkan penghasilan yang besar. Bahkan untuk guru honorer mereka hanya mendapatkan upah jauh di atas gaji asisten rumah tangga. Padahal mereka lulusan perguruan tinggi, di pundak merekalah penentu nasib bangsa beberapa tahun ke depan.
Jika Anda pernah mengajar atau presentasi satu jam saja maka Anda sudah akan merasa lemas dan capek. Apalagi guru yang bekerja dengan mahkluk hidup dengan segala tingkah laku dan karakter yang berbeda-beda. Mereka mempunyai bermacam-macam kebiasaan dari yang ngobrol dengan teman, sering nyletuk saat dijelaskan oleh guru, bergurau, sering keluar dengan alasan ke toilet, beli pulpen, merokok di toilet atau kantin, membawa obat terlarang di tas, dan lain sebagainya.
Apalagi karakter siswa sekarang berbeda dengan karakter siswa yang dulu. Ini tentu karena kebijakan pemerintah pusat atau daerah yang menurut saya keliru. Seperti kebijakan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang sudah ditentukan dan terkesan terlalu tinggi. Tidak boleh ada siswa yang tinggal kelas, kurikulum yang berbeda-beda antara satu sekolah dengan sekolah lain.
Mari kita tentok satu persatu, sebagai contoh adanya kebijakan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang menurut saya keliru. Contohnya pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah nilai di rapot harus dipatok 80 padahal tidak semua anak bisa membaca Al Qur’an, bahkan membaca Iqro pun masih terbata-bata. Tetapi karena KKM-nya harus 80 maka di rapot tertulis minimal 80.
Belum lagi pelajaran lain seperti halnya Bahasa Inggris yang KKM-nya harus 75. Padahal disuruh membaca Bahasa Inggris saja masih belum bisa, diminta untuk menulis dalam Bahasa Inggris belum bisa, apalagi diminta untuk berbicara dalam bahasa Inggris.
Kekeliruan berikutnya adalah keharusan siswa naik kelas baik siswa yang bermasalah karena kehadiran, sikap dan tingkah lakunya yang kurang baik, atau karena nilainya kurang pun harus naik kelas. Padahal saya setuju dengan kebijakan tinggal kelas untuk siswa dan siswi yang memang belum layak untuk naik kelas. Sehingga akhirnya seperti sekarang, masih ada anak SMP yang belum bisa membaca, aneh bukan?. Padahal waktu saya sekolah dulu anak SD kelas 3 itu sudah lancar membaca.
Belum lagi pelajaran hitung-hitungan yakni Matematika. Zaman saya sekolah dulu anak SD sudah hafal perkalian satu angka dari 1 x 1 sampai 9 x 9 itu sudah di luar kepala. Tetapi sekarang anak SMP kelas 9 pun masih ada yang gelagepan saat ditanya 4 x 6 berapa?. Ini sungguh ironi.
Selain itu kebijakan kurikulum yang tidak sama antara satu sekolah dengan sekolah lain. Bahkan satu sekolah pun menggunakan kurikulum yang berbeda yang satu menggunakan kurikulum 2006 satunya menggunakan kurikulum 2013. Ini tentu sangat lucu pendidikan di Indonesia. Kita ingin output yang sama baiknya tetapi inputnya berbeda-beda. Aneh bukan? Anak-anak kita jadi ajang ujicoba dari para elit yang menurutnya paling benar.
Belum lagi guru sekarang tidak berdaya mengatasi anak-anak yang kelakuannya di luar batas kewajaran. Seperti merokok di toilet, membawa obat-obatan terlarang, minum-minuman alkohol, membawa ponsel yang di dalamnya berisi gambar-gambar tidak senonoh, melakukan pelecehan kepada temannya, meminta uang dengan paksa kepada adik kelasnya, berkelahi dengan teman, dan masih banyak lagi lainnya. Karena sekarang guru tidak boleh mendidik dengan kekerasan. Kalau guru melakukan kekerasan maka guru tersebut akan berhadapan dengan hukum dengan alasan HAM (Hak Asasi Manusia).
Padahal guru-guru kita dulu, mereka mendidik siswanya dengan cara yang berbeda-beda. Mereka memukul, menampar, dan menjewer telinga dengan keras tentu untuk kasus yang sangat parah pada saat itu. Tidak mungkin siswa yang tidak melanggar dipukul, ditampar atau dijewer.
Mereka melakukan itu hanya untuk kasus-kasus yang berat untuk efek jera. Dan wkatu dulu tidak ada siswa yang melaporkan hal tersebut kepada orang tuanya karena akan ditambah lagi hukumannya oleh orang tua mereka. Berbeda dengan sekarang, dimana orang tua percaya dengan ucapan anaknya, mereka beranggapan anaknya paling benar walaupun sebenarnya anak tersebut bersalah. Tidak melihat dari sudut pandang yang lain seperti menanyakan kebenaran kepada temannya atau guru yang lain.
Kepala sekolah dan guru tidak boleh mengeluarkan siswa karena berbagai tingkah lakunya yang melanggar tata tertib sekolah, norma hukum dan agama tetapi bahasanya sekolah sudah tidak sanggup lagi dan mengembalikan kepada orang tuanya. Karena jika mengeluarkan siswa dengan kasus tertentu kita berhadapan dengan hukum apalagi kasusnya dipolitisir oleh oknum wartawan.
Guru itu harus memiliki sifat seperti malaikat yang tidak boleh marah, tidak boleh ringan tangan, tidak boleh ngomong yang tidak baik dan hal-hal keliru lainnya. Padahal guru itu manusia biasa yang punya rasa marah, kesal dan khilaf saat ada muridnya yang berkata kasar kepada teman, melanggar tata tertib sekolah, hukum dan agama.
Belum lagi pelajaran atau materi tentang agama, budi pekerti, sopan santun, tepo seliro, gotong-royong, menghargai orang lain hanya diberikan ala kadarnya. Maka jangan heran jika murid-murid sekarang sudah berkurang sopan dan santunya kepada orang lain, guru bahkan orang tuanya sendiri. Jangan heran kalau generasi sekarang sering tawuran, sering kebut-kebutan, seks bebas, minum-minuman, dan lain sebagainya karena mereka sudah tidak lagi takut kepada guru, orang tua, aparat, pemerintah bahkan Tuhannya.
Selain itu pemerintah juga harus memikirkan sekolah-sekolah yang ada di pedalaman atau pelosok dimana siswanya harus berjalan kaki berkilo-kilo meter, menyurusi sungai dan laut. Pemerintah juga harus memikirkan sekolah yang memiliki kelas siang, juga persoalan-persoalan lainnya seperti uang saku untuk siswa, makan untuk siswa, guru, dan lain sebagainya.
Mudah-mudahan pemerintah bisa mengkaji ulang terhadap rencana memberlakukan wajib hadir delapan jam bagi guru di sekolah terutama bagi guru yang sudah mendapat sertifikasi atau tunjangan profesi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H