Mohon tunggu...
Didno
Didno Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger Youtuber

Guru yang suka ngeblog, jejaring sosial, nonton bola, jalan-jalan, hobi dengan gadget dan teknologi. Info lengkap didno76@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Laksamana R.E. Martadinata Pahlawan Nasional Dari Jawa Barat

28 Oktober 2012   13:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:17 4345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau anda pernah jalan-jalan ke Puncak Bogor, anda pasti akan melihat sebuah pesawat helicopter yang berada di dekat Masjid Atta’awun. Helicopter tersebut dijadikan monumen oleh pemerintah untuk mengenang jasa Laksamana R.E. Martadinata.

Laksamana R.E. Martadinata memiliki nama lengkap Raden Eddy Martadinata lahir di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 29 Maret 1921. Dia mengenyam pendidikan HIS di Lahat tahun 1934, kemudian melanjutkan ke MULO di Bandung pada tahun 1938, Setelah itu melanjutkan ke AMS di Jakarta tahun 1941 dan sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Pelayaran Tinggi.

R.E. Martadinata tidak sempat menyelesaikan Sekolah Tehnik Pelayaran karena pada waktu itu terjadi pendudukan Jepang. Selanjutnya ia masuk Sekolah Pelayaran Tinggi yang diselenggarakan oleh Jepang. Selama mengikuti pendidikan, ia tampak menonjol sehingga diangkat menjadi Guru Bantu pada Tahun 1944, dan ia diangkat sebagai Nahkoda Kapal Pelatih.

Ia menghimpun pemuda bekas siswa Pelayaran Tinggi dan mereka berhasil merebut beberapa buah kapal milik Jepang di Pasar Ikan Jakarta. Selanjutnya mereka menguasai beberapa kantor di Tanjung Priok dan Jl Budi Utomo Jakarta. Setelah pemerintah membentuk BKR, pemuda-pemuda pelaut bekas pelajar dan guru Sekolah Pelayaran Tinggi serta pelaut-pelaut Jawa Unko Kaisya yang dikoordinir oleh M. Pardi, Adam, Martadinata, Surjadi Untoro dll membentuk BKR Laut Pusat yang dalam perjalanannya berubah menjadi TKR Laut, diubah lagi menjadi TRI Laut dan bulan Februari berganti lagi menjadi ALRI.

R.E. Martadinata menikah dengan Soetiarsih Soeraputra dikarunia 5 putri 2 putra yaitu : 1. Soehaeny Martadinata 2. Siti Khadijah Martadinata 3. Siti Judiati Martadinata 4. Irzansyah Martadinata 5. Siti Mariam Martadinata 6. Vittorio Kuntadi Martadinata 7. Roswita Riyanti Martadinata

Ketika menjabat sebagai Kepala Staf Operasi V (Bagian Perencana), Martadinata mencurahkan perhatian dalam penyelesaian keruwetan ALRI. Salah satunya adalah soal kedudukan dan pembagian tugas antara MBU. ALRI di Yogyakarta dengan Markas Tertinggi (MT). ALRI yang berkedudukan di Lawang, yang dibentuk berdasarkan spontanitas pemuda-pemuda pelaut di Jawa Timur ia menginginkan agar perwira-perwira senior di Yogyakarta dan di Lawang dapat menyatukan diri dalam wadah Markas ALRI yang tunggal. Januari 1947 dibentuk Dewan Angkatan Laut (DAL) yang diserahi tugas menyelesaikan masalah tersebut.

Penugasan berikutnya adalah mendirikan Sekolah Angkatan Laut (SAL) di Kalibakung - Tegal dan dilanjutkan dengan penugasan sebagai Kepala Pendidikan dan Latihan di Sarangan - Magetan tahun 1948 yang kemudian dikenal dengan nama Special Operation (SO). Martadinata diberi tugas oleh KSAL Soebyakto untuk menyelenggarakan sekaligus memimpin SO karena menurut KSAL Soebyakto, S.O merupakan lembaga pendidikan lanjutan untuk para perwira laut, Pendidikan tersebut diselenggarakan khusus untuk mempersiapkan para perwira laut yang akan bertugas memimpin armada kapal-kapal cepat. Kapal tersebut dirancang bisa menembus Blokade Belanda, agar pasukan Republik tetap memperoleh senjata dan amunisi untuk meneruskan perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan. Pendidikan S.O mengambil tempat di Telaga Sarangan, Lereng Gunung Lawu, Jawa Timur.

Ketika berlangsung Agresi Militer Belanda II, Ia ditunjuk sebagai Wakil Kepala Staf AL Daerah Aceh (ALDA) yang bertugas untuk mengendalikan kegiatan staf yang mencakup dua bidang yakni melaksanakan pendidikan dan mengkoordinasi kegiatan "Armada Penyelundup" senjata dari luar negri untuk membantu perjuangan. Bulan Oktober 1949 ia kembali ke Jawa dan diangkat menjadi Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya tahun 1950. Saat itu sudah tercapai gencatan senjata antara RI dan Belanda. Sesuai kesepakatan, Belanda menyerahkan peralatan perangnya kepada Angkatan Perang RI, salah satu diantaranya Kapal Perang HrMS Morotai yang kemudian diubah namanya menjadi RI Hang Tuah dan R.E. Martadinata diangkat menjadi Komandannya. RI Hang Tuah merupakan Kapal Perang terbesar saat itu, digunakan untuk operasi-operasi militer menumpas pemberontakan gerombolan Andi Azis di Ujung Pandang dan RMS di Maluku.

Martadinata kemudian berkesempatan mengikuti pendidikan United States Navy Post Graduate School di AS pada tahun 1953. Selesai mengikuti pendidikan di AS, ia mendapat tugas khusus selama tiga tahun sepanjang tahun 1957-1959 di Italia untuk mengawasi pembuatan 2 kapal korvet (Almirante Clemente Class) yang dipesan RI yaitu RI Soerapati dan RI Imam Bondjol. Pada kurun waktu tersebut Martadinata juga sekaligus bertugas mengawasi pembuatan kapal pesanan ALRI di Yugoslavia. Sekembalinya dari Italia, ia diangkat menjadi Hakim Perwira pada pengadilan Tentara di Medan Jakarta dan Surabaya.

Pada tahun 1959, terjadi pergolakan di dalam tubuh ALRI yaitu adanya ketidakpuasan terhadap kepemimpinan KSAL yang pada saat itu dipimpin oleh Laksmana Madya Soebyakto, beberapa perwira yang dimotori oleh Mayor Laut Yos Soedarso dan Mayor KKO. Ali Sadikin (kemudian disebut sebagai Gerakan 1959) menghadap Presiden Soekarno untuk menyampaikan permohonan penggantian KSAL dengan damai dan tanpa kekerasan. Pada awalnya Presiden Soekarno tidak menyetujui permohonan tersebut namun setelah melihat bahwa Gerakan tersebut mendapat dukungan hampir sebagian besar staff ALRI maka Presiden Soekarno memanggil Laksamana Madya Soebiyakto untuk mendiskusikan Gerakan 1959.

Dalam pembicaraan tersebut Presiden menyampaikan rencana penggantian KSAL dan ketika Presiden menanyakan siapakah calon yang cocok untuk menjadi KSAL maka Laksmana Madya Soebiyakto mengusulkan Kolonel Laut R.E. Martadinata - yang pada saat itu masih memimpin satuan ALRI mengawasi pembuatan kapal pesanan ALRI di Italia - sebagai penggantinya karena dianggap netral. Setelah menjabat, maka dengan sekuat tenaga ia berhasil mendamaikan kembali golongan-golongan yang saling berlawanan sehingga ALRI tetap utuh dan bersatu.

Ketika menjabat KSAL yang kemudian dirubah menjadi Menteri/Panglima Angkatan Laut, Angkatan Laut Republik Indonesia memiliki kekuatan yang disegani di kawasan Asia Pasifik seiring dengan meningkatnya konfrontasi dengan Belanda berkaitan dengan perebutan Irian Barat. Dengan dicanangkannya TRIKORA, maka ALRI membeli peralatan tempur dari Rusia dengan jumlah yang cukup banyak antara lain: 1 Cruiser (Sverdlov Class), 8 Destroyer (Skory Class), 8 Frigate (Riga Class), 12 Submarine (Wishkey Class) dan kapal kapal pendukung lainnya yang berjumlah hampir lebih dari 100 buah kapal. Selain itu dibeli pula pesawat udara IL-28 (torpedo bomber) serta Helikopter MI-4.

Pada tahun 1965, terjadi kembali pergolakan di dalam tubuh ALRI yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan Perwira Progresif Revolusioner (GPPR). Gerakan ini mengikuti pola Gerakan 1959 yaitu menghadap Presiden Soekarno untuk menyampaikan laporan terjadinya kemerosotan kinerja Angkatan Laut karena dikelola oleh para perwira yang tidak profesional serta ketidakpuasan dengan kepemimpinan R.E. Martadinata sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut. Karena gerakan ini dianggap sebagai pelanggaran militer dan sesuai saran dari Letnan Jenderal Ahmad Yani yang ketika itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, maka hampir kurang lebih 150 perwira yang terlibat dalam gerakan tersebut dimana termasuk diantaranya J.E. Habibie (Mantan Dubes RI di Belanda) dan Pongky Soepardjo (Mantan Dubes RI di Finlandia) dikeluarkan dari dinas Angkatan Laut

Ketika terjadi pemberontakan G.30.S/PKI tahun 1965, dalam kapasitas sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut, R.E. Martadinata segera memberikan reaksi mengutuk gerakan tersebut dan menyatakan ALRI bekerjasama dengan AD untuk menumpas G.30.S/PKI. Tindakannya tersebut ternyata tidak disenangi oleh Presiden Soekarno sehingga jabatannya sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut dicopot dan digantikan oleh Laksamana Muda Mulyadi. Martadinata kemudian diangkat menjadi Duta Besar dan Berkuasa penuh RI untuk Pakistan.

Dalam rangka menyambut hari ulang tahun ABRI ke-21, R.E. Martadinata kembali ke Indonesia mendampingi 3 tamu dari Pakistan yaitu Kolonel Laut Maswar bersama istri serta Nyonya Rouf, istri dari Deputy I Kepala Staff Angkatan Laut Pakistan. Pada tanggal 6 Oktober 1966, mereka mengadakan perjalanan menaiki helikopter Alloutte II milik ALRI dengan dikemudikan pilot Letnan Laut Charles Willy Kairupan yang ternyata helikopter yang dikemudikannya menabrak bukit dan dalam kecelakaan tersebut seluruh penumpang dan pilot termasuk Laksamana Laut R.E.Martadinata tewas. Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional karena pengabdiannya untuk negeri ini.

Laksamana R.E. Martadinata perlu kita teladani tidak hanya untuk masyarakat Jawa Barat, tetapi untuk masyarakat Indonesia, karena berani berkata benar kepada atasan bahkan Presiden sekalipun. Walaupun harus kehilangan jabatannya.

Referensi : Wikipedia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun