Menarik untuk membahas apa yang dituliskan dalam buku "Matinya Kepakaran" yang dituliskan oleh Tom Nichols.
Dalam salah satunya babnya, Tom membuat judul "Sebagai Pelanggan, Mahasiswa Selalu Benar" yang menyebutkan bahwa salah satu yang mendukung matinya kepakaran saat ini, justru karena semakin menjamurnya Perguruan Tinggi.
Tom menyebutkan bahwa Perguruan Tinggi yang seharusnya melahirkan para pakar justru malah menjadi salah satu sumber yang mendukung matinya kepakaran (baca: intelektual).
Menurut saya, hipotesa yang dikemukakan oleh Tom Nichols tersebut patut kita renungkan, baik bagi akademisi (dosen dan pengelola perguruan tinggi) maupun mahasiswa.
Tom Nichols, menyebutkan faktor penting yang menyebabkan Perguruan Tinggi menjadi salah satu sumber yang mendukung matinya intelektualitas bagi mahasiswa adalah saat ini, sudah terlalu banyak adanya Perguruan Tinggi, bahkan menyebutnya sudah overload.
Sebagai contoh, menurut data dari laman forlap.ristekdikti.go.id, jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia pada tahun 2018 mencapai  4.670, yang terdiri dari Universitas Sebanyak 581, Insstitut sebanyak 214, Sekolah Tinggi sebanyak 2.525, Akademi sebanyak 1.054, Akademi Komunitas sebanyak 19 dan Politeknik sebanyak 277.
Overload Perguruan Tinggi ini berefek pada menurunnya kualitas dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Institusi Perguruan Tinggi seolah hanya menawarkan ijazah bagi mahasiswanya, tanpa mempehatikan kualitas pendidikan yang diselenggarakan.
Hal demikian dapat terjadi karena memang saat ini pendidikan tinggi merupakan kebutuhan yang diperlukan bagi seseorang dalam memperoleh pekerjaan.
Kebanyakan pekerjaan membutuhkan lulusan Perguruan Tinggi atau sarjana sebagai persyaratan untuk dapat diterima bekerja.
Jadilah, kebanyakan mahasiswa yang menempuh pendidikan tinggi hanya bertujuan untuk memperoleh ijazah Perguruan Tinggi bukan untuk memperdalam ilmunya.
Sebagai bukti, banyak ditemukan lulusan perguruan tinggi yang bekerja tidak sesuai dengan bidang ilmu yang ditempuh (lulusan Fakultas Hukum bekerja di bank sebagai Teller, atau lulusan Fakultas Pertanian bekerja di pabrik sebagai admin).
Melonjaknya permintaan untuk dapat menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi menyebabkan banyak Perguruan Tinggi yang dibuka untuk dapat memenuhi permintaan dari calon-calon mahasiswa.
Akan tetapi, banyaknya Perguruan Tinggi yang dibuka serta ketatnya persaingan antar Perguruan Tinggi menyebabkan banyak Perguruan Tinggi yang mengabaikan kualitas pendidikan dan lebih menawarkan kemudahan dalam memperoleh ijazah ini.
Tawaran kemudahan dalam memperoleh ijazah inilah yang berefek pada mutu kualitas pendidikan tinggi kita yang rendah.
Yang justru melahirkan lulusan-lulusan Perguruan Tinggi yang instan, tak mempunyai kompetensi keilmuan pendidikan tinggi, serta hanya melahirkan intelektual "cepat saji" asalkan dapat ijazah.
Jika demikian terus kita lakukan (baik oleh akademisi dan mahasiswa) maka kita hanya tinggal menunggu matinya intelektualitas mahasiswa di Indonesia.
Semoga hal ini tak terjadi......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H