Mohon tunggu...
Didit Putra
Didit Putra Mohon Tunggu... Editor - Komunikasi, Jurnalisme, Media sosial dan teknologi. Eks jurnalis yang sekarang belajar sebagai PR-guy.

Mantan jurnalis untuk Harian Kompas setelah bertugas hampir 15 tahun, beralih ke dunia korporasi dengan dua tahun di Xiaomi Indonesia dan saat ini sedang berkarya di Erajaya Group sebagai Corporate Communications Manager. Akan banyak menulis soal pengalaman yang sudah dikumpulkan selama ini, baik terkait jurnalisme, media sosial, teknologi dan sekitarnya. Bisa disapa di Twitter lewat akun @eldidito atau e-mail ke eldidito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Getir Terasa Setelah Spider-Man: Homecoming Ditonton

8 Juli 2017   15:51 Diperbarui: 9 Juli 2017   23:29 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada perasaan hangat di dada sewaktu menyaksikan sebagian besar konten film Spider-Man: Homecoming di XXI Plaza Senayan hari Jumat (7/7/2017). Saya berkesempatan untuk menonton aksi Peter Parker saat masih bocah atas undangan Dell yang ditujukan pada media.

Perasaan hangat itulah yang bisa dirasakan karena terasa erat dengan masa remaja kita semua. Memasuki usia belasan tahun, masuk ke dunia luas di luar rumah, bertemu banyak orang, punya ekspektasi berlebih terhadap sesuatu. Pada akhirnya, belajar memahami diri sendiri dan menjadi lebih dewasa.

Dan suasana ini dengan sukses dihadirkan oleh sutradara lewat bahasa gambar, gerak tubuh, dan musik dalam film SH. Fase remaja saat semua belum serius semua divisualisasikan dengan warna cerah tone menyenangkan. Adegan pengundang gelak tawa diumbar mulai dari kebingungan Spidey memahami kekuatannya, reputasinya yang masih di tingkat bawah, hingga dinamika kehidupannya sebagai pelajar.

Sebagai pahlawan super pemula yang masih culun, kita pun dibuat terbahak oleh kecanggungannya dalam memanfaatkan kostum canggihnya. Tapi pada saat yang sama diajak memahami bahwa inilah jalan yang harus ditempuh setiap pahlawan super yang nantinya berkiprah menyelamatkan dunia dari ancaman berskala global.

Dan omong-omong soal itu, karakter Vulture sebagai tokoh antagonis juga sukses dihadirkan sebagai karakter yang "berisi" karena dia punya niat jahat tapi juga manusia yang memiliki kehidupan di luar aksi kriminalnya. Dia hanya merampok, bukan ingin menghancurkan Bumi. Dalam strata ancaman, dia tidak bisa dibandingkan dengan Loki atau Ultron.

Dia hanya penjahat dengan bantuan teknologi. Bukan sesuatu yang sulit dihadapi oleh pahlawan super sekelas Iron Man atau Thor. Tapi justru itu, dia menjadi lawan yang cocok untuk pahlawan super pemula kita.

SH adalah upaya ketiga dari Sony untuk memasarkan tokoh ini setelah sebelumnya diperankan Tobey Maguire dan Andrew Garfield. Banyak orang yang pesimistis dengan film ini, terlebih melihat banyak pakem yang tidak sesuai seperti Bibi May yang dianggap kurang tua dan terlalu bergantung pada Iron Man.

Saran saya, persetan dengan pendapat itu dan segera tonton di bioskop. Filmnya menyenangkan dan menghibur hingga detik akhir sebelum credit roll dimulai. Kepastian bahwa Spidey bakal tergabung dalam MCU memastikan para penggemarnya melihat aksi pahlawan ini berada di semesta yang penuh warna dari tokoh lain.

Perenungan pribadi

Setelah beramah tamah dengan teman dan pengundang, saya pun berjalan kaki untuk kembali ke kantor. Film tadi memberikan hiburan yang menyenangkan bagi Jumat sore saya.

Sampai kemudian kebiasaan buruk saya sebagai introvert muncul: mencoba mencari makna lain dari rangkaian adegan di film SH.

Pemicunya terletak pada adegan terakhir antara Peter dengan Tony di markas Avenger yang baru. Awalnya saya terbahak melihat rangkaian adegan di sana. Maaf demi menghindari spoiler, saya hanya bercerita sampai di sini, mungkin kalau sudah jadi langganan film akhir tahun di Global TV baru bisa dibahas bebas.

Lalu saya ingat mengenai perpisahaan lisensi film dari tokoh Marvel antara 20th Century dengan Sony yang menyebabkan tokoh Spider-Man tidak kunjung terlihat di film-film awal MCU. Dan kegemparan setelah keduanya bertemu tanpa melupakan fakta bahwa pemegang lisensi tokoh-tokoh tersebut adalah dua perusahaan yang berbeda.

Adegan terakhir di markas Avenger itu saya tangkap mewakili situasi yang berlangsung antara Marvel, 20th Century dan Sony. Iya, Spidey memang akhirnya terlibat dalam MCU tapi tidak akan pernah menjadi satu keluarga.

Entah kenapa perenungan saya itu kok mirip dengan detail pada adegan-adegan tersebut, seolah menguatkan. Dan ditambah lagi dengan adegan tambahan setelah credit roll berakhir, entah kenapa ada alasan yang kuat dibalik keputusan menampilkan Captain America yang menggemparkan (melibatkan lemparan popcorn dan botol air plastik).

Saya memaknai adegan tersebut menggambarkan rapuhnya kerja sama dua pemegang lisensi karakter Marvel dalam membangun MCU. Bisa jadi semua berakhir dalam semalam bila petinggi dua perusahaan tidak mendapat kata sepakat. Solusinya, menyiapkan plot cerita yang bisa mengakomodasi kemungkinan terburuk.

Dan pilihan yang diambil Peter seolah menggambarkan posisi Sony dalam hal itu.

We could still be friends, but not a family.

Getir itu yang saya rasakan, terlebih menyaksikan keruwetan di depan perlintasan kereta api di Patal Senayan.

Tapi anda tidak harus merasakan getir itu. Spider-Man: Homecoming tetap film yang layak ditonton. Saya rasa semua bakal setuju. Abaikan saya yang alay ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun