Pemicunya terletak pada adegan terakhir antara Peter dengan Tony di markas Avenger yang baru. Awalnya saya terbahak melihat rangkaian adegan di sana. Maaf demi menghindari spoiler, saya hanya bercerita sampai di sini, mungkin kalau sudah jadi langganan film akhir tahun di Global TV baru bisa dibahas bebas.
Lalu saya ingat mengenai perpisahaan lisensi film dari tokoh Marvel antara 20th Century dengan Sony yang menyebabkan tokoh Spider-Man tidak kunjung terlihat di film-film awal MCU. Dan kegemparan setelah keduanya bertemu tanpa melupakan fakta bahwa pemegang lisensi tokoh-tokoh tersebut adalah dua perusahaan yang berbeda.
Adegan terakhir di markas Avenger itu saya tangkap mewakili situasi yang berlangsung antara Marvel, 20th Century dan Sony. Iya, Spidey memang akhirnya terlibat dalam MCU tapi tidak akan pernah menjadi satu keluarga.
Entah kenapa perenungan saya itu kok mirip dengan detail pada adegan-adegan tersebut, seolah menguatkan. Dan ditambah lagi dengan adegan tambahan setelah credit roll berakhir, entah kenapa ada alasan yang kuat dibalik keputusan menampilkan Captain America yang menggemparkan (melibatkan lemparan popcorn dan botol air plastik).
Saya memaknai adegan tersebut menggambarkan rapuhnya kerja sama dua pemegang lisensi karakter Marvel dalam membangun MCU. Bisa jadi semua berakhir dalam semalam bila petinggi dua perusahaan tidak mendapat kata sepakat. Solusinya, menyiapkan plot cerita yang bisa mengakomodasi kemungkinan terburuk.
Dan pilihan yang diambil Peter seolah menggambarkan posisi Sony dalam hal itu.
We could still be friends, but not a family.
Getir itu yang saya rasakan, terlebih menyaksikan keruwetan di depan perlintasan kereta api di Patal Senayan.
Tapi anda tidak harus merasakan getir itu. Spider-Man: Homecoming tetap film yang layak ditonton. Saya rasa semua bakal setuju. Abaikan saya yang alay ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H