"Salah Gue? Salah Temen-Temen Gue?" Ya, saya tau, lontaran itu sudah terlalu ketinggalan zaman. Tapi biarlah, saya memang ngefans sama Dian Sastro. Ga boleh protes. Pertengahan November ini, akhirnya saya kembali masuk ke wilayah Kabupaten Bandung untuk liputan. Di masa ini, hanya ada satu penjelasannya: BANJIR. Dan memang benar, aku pun kembali ke kabupaten dengan 31 kecamatan ini untuk meliput serangkaian bencana yang kebetulan terjadi berbarengan, longsor di Desa Sadu, Kecamatan Soreang, dan banjir bandang di Soreang juga. XX Menimbang banyak hal, akhirnya saya memilih untuk mendahulukan liputan longsor di Desa Sadu. Dan kebetulan pula narasumber melimpah karena silih berdatangan, mulai Kapolres, Bupati Bandung, Gubernur, dan para calon gubernur. Yup, bencana memang memancing perhatian publik, termasuk peluang emas untuk mendapatkan publikasi bagi siapa pun. Etis atau tidak, itu perdebatan tersendiri. Dan akhirnya sang bupati pun tiba. Namanya Dadang Naser, yang menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Barat sebelum mengikuti Pilkada dan akhirnya terpilih sewaktu berpasangan dengan Deden Rumaji. Sedikit info yang barangkali sudah jadi pengetahuan umum, beliau masih punya kaitan (meski bukan kaitan darah) dengan bupati sebelumnya, Obar Sobarna. Anyway, Dadang pun diwawancara terkait bencana yang datang keroyokan di Kabupaten Bandung. Mulai dari longsor, ada yang menyebut bahw aktivitas galian pasir dan batu di lereng bukit itu menjadi salah satu pemicu gerakan tanah hingga longsor menimbun jalan akses Soreang-Ciwidey dan menewaskan dua orang warga di dasar lereng bukit. Bupati pun menerangkan bahwa galian pasir tersebut memang ilegal. Dia sudah berkali-kali menegur melalui pemerintah daerah. "Tapi mereka selalu sembunyi-sembunyi beroperasi," kilahnya. Asal tahu saja, galian pasir itu ada di lereng tebing yang menghadap ke Jalan Soreang-Ciwidey, sehingga kendaraan mana pun yang tidak terlalu konsen ke jalan dan mengedarkan pandangan ke sekeliling (panoramanya memang bagus) pasti melihat aktivitas penambangan pasir. Sedikit janggal saja kalau dibilang sembunyi-sembunyi. Saat saya bersama dua wartawan lain sedang istirahat minum kopi di salah satu warung pinggir jalan, ada bapak yang bercerita kepada sebelahnya bahwa dia biasa mengambil pasir di sana. Dia mengklaim mendapat izin bupati untuk meneruskan kegiatannya asalkan bisa menjaga keselamatan saja. Nah, ini harus ditelusuri, benar atau main klaim saja. Pertanyaan lain yang dilontarkan kepada pak Dadang adalah soal banjir. Mumpung ketemu di lokasi :) Rupanya dia sudah paham arah dari pertanyaan ini. Nada bicaranya sedikit naik sambil berkata, jangan selalu menyalahkan pemerintah. "Yang buang sampah sembarangan siapa?" tanyanya dengan nada sengit. Dia pun menerangkan, bahwa rakyat juga harus sadar mengenai tabiat membuang sampah pada tempatnya. Berkaca pada kasus banjir bandang di Cingcin, dia mendapat laporan ada selokan yang tersumbat kasur. Yup, KASUR. Setelah kasur disingkirkan, air pun lancar kembali. Ajakan untuk bersama-sama, dengan jargonnya: SABILULUNGAN, pun dilontarkan. Mari saling menjaga lingkungan dan masyarakat harus sadar juga. For a second, pendapatnya ada benarnya. Salah satu penyumbang banjir di Bandung selatan adalah sampah domestik mulai dari tas plastik, televisi bekas, sampai bungkus produk sehari-hari. Inilah yang menyebabkan sedimentasi dan meracuni Sungai Citarum. Namun, barangkali bupati juga lupa menyebutkan, bahwa pemerintah juga punya andil terhadap perilaku tersebut. Layanan truk sampah Kabupaten Bandung sendiri saja masih minim (belum sampai terbatas). Berdasarkan link berita ini (http://bisnis-jabar.com/index.php/berita/kab-bandung-butuh-truk-sampah-swasta) diketahui bahwa produksi sampah Kabupaten Bandung mencapai 6.655 meter kubik per hari tapi hanya mampu ditangani 11 persen atau sekitar 700 meter kubik saja oleh 80 unit truk sampah. Dari 80 unit itu, hanya 50 yang layak beroperasi. Melihat prioritas pemerintah kabupaten, kelihatannya Dispertasih yang membawahi truk-truk sampah ini juga kelimpungan soal dana operasional. Sempat terjadi truk yang berhenti beroperasi karena kekurangan uang bensin (http://jabar.tribunnews.com/2012/10/30/tak-ada-uang-bbm-pengangkut-sampah-mogok). Sudah sedikit, dana seret pula. Hal itu akan kontras bila kita datang ke pusat pemerintahan di Soreang. Tepat di seberang kompleks Pemkab sedang didirikan gedung megah suregah di atas lahan sawah produktif. Dengan kondisi ini, wajarkah menyalahkan masyarakat dengan perilaku terhadap sampah. Siapa yang salah bila sampah mereka tidak tertangani sehingga membuat tempat pembuangan sementara yang selalu di tepi sungai. Kondisi ini saya temui di daerah Margaasih maupun Pacet (jalan dari Ciparay menuju Kertasari). Siapa yang bisa kontrol bahwa tumpukan sampah itu kemudian didorong sedikit demi sedikit ke badan sungai agar ada ruang untuk membuang sampah lagi. Mungkinkah mengajarkan perilaku membuang sampah pada tempatnya sementara tempat sampah mereka tidak terlayani truk sampah. Mungkinkah mengajarkan mereka untuk reduce/reuse/recycle sementara daerah perkotaan di Kabupaten Bandung menikmati layanan truk sampah? Kembali lagi soal banjir bandang, seharusnya dipahami zaman kiwari bahwa penyebabnya selalu sama: perubahan ahli fungsi lahan ekstrem di daerah hulu. Perubahan peruntukkan lahan itu yang tidak mau ditoleransi alam saat mencari keseimbangan, misalnya membawa air dari tempat tinggi ke tempat rendah. Betul, Kabupaten Bandung adalah daerah yang rendah di Cekungan Bandung sehingga Sungai Citarum pasti meluap setiap kali curah hujan meningkat. Benar pula bahwa sungai tersebut kewenangan Pemerintah Pusat, tapi bagaimana tanggung jawab pemerintah daerah menyiapkan warganya melalui mitigasi maupun persiapan lainnya termasuk layanan truk sampah. ...dan kalau sudah banjir, salah siapa? salah gue? salah temen-temen gue?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H